Tumpukan sampah plastik seakan mengucapkan selamat datang. Merah. Kuning. Hijau. Hitam. Tidak melambai layaknya tangan. Dia diam. Basah. Tepat di jalan masuk ke Rumah Susun (rusun) Amplas yang tak beraspal.
Kabut asap yang menyelimuti Medan, Selasa (6/10), belum begitu terasa. Masih belum tengah hari. Tapi, warna abu-abu dan kusam begitu terasa melihat fisik rusun milik Pemerintah Kota Medan tersebut. Tak hanya cat gedung yang buram, wajah-wajah penghuninya pun cenderung muram.
“Sebagian penghuni ada yang jual botot (barang bekas),” terang Adelina Napitupulu soal tumpukan plastik di depan rumah susun tadi.
Adelina duduk di kursi plastik di depan salah satu petak rumah susun yang menghadap ke belakang. Tepat di depannya, sekira tiga meter, tampak parit yang tak mengalirkan air. Cairan hitam hasil dari pembuangan para penghuni rusun tampak mengental.
“Saya peduli dengan mereka (penghuni rusun). Jadi ketika saya mendapat aduan soal ketidakadilan, saya jadi gelisah,” aku perempuan separo baya tersebut.
Dia pun mulai bercerita soal pasokan air di rumah dua lantai yang berhias pakaian tergantung tersebut. Meski sudah berjuang sejak 2008 lalu, hingga demonstrasi dan sebagainya, hingga kini pasokan air ke rusun itu belum juga ada. Selama ini warga hanya mengandalkan tiga buah sumur yang mereka bangun sendiri.
“Itulah dia, tiba-tiba kemarin (beberapa hari yang lalu) ada bantuan pasokan air bersih. Di situ, di rumah seberang parit itu. Kok bisanya, rusun ini tidak kebagian?” tanyanya.
Adelina mengakui kalau dia tidak tinggal di rusun. Dia tinggal di sebelah. Di seberang parit. Di sebuah rumah yang berada di Gang Rambutan, Jalan Seser, Medan Amplas. Di rumah yang sejatinya baru saja mendapat bantuan pasokan air dari Dinas Perumahan dan Pemukiman.
“Rumahku aman, tapi kok rusun ini tidak? Ada apa ini? Kenapa warga yang terpisah parit meski berada di lingkungan dan kelurahan yang sama beda perlakuannya?” katanya.
Mendadak dari rumah yang menjadi latar duduk Adelina keluar seorang perempuan. Namanya Ari Kristiani. Wajahnya tampak capek. Di belakang perempuan itu tampak beberapa anak kecil.
“Kami kan warga Medan juga, kenapa kami tak dapat bantuan ya?” cetusnya.
Perempuan beranak empat itu langsung bercerita soal berbagai bantuan yang tak pernah mereka terima. Bantuan Langsung Tunai (BLT). Beras miskin alias Raskin. Pun, berbagai bantuan tak pernah sampai ke mereka. Padahal, kalau dihitung dari kondisi perekonomian, mereka termasuk orang yang tak mampu.
“Tapi, kalau pendataan misalnya kayak untuk pemilihan wali kota, kami didatangi,” sebutnya sembari kembali ke dalam rumah dan membawa kertas bukti sudah didata untuk jadi pemilih.
“Ni lihat, saya terdata kan sebagai pemilih,” sambungnya.
Sempat tersiar kabar kalau penghuni di rusun yang berada di Jalan Pabrik Soda tersebut merupakan pendatang yang admistrasinya tak jelas. Hal ini langsung dibantah Adelina.
“Penghuni di sini punya kartu keluarga. Punya Kartu Tanda Penduduk. Kalau tidak kan tidak tercatat sebagai pemilih. Siapa yang mengatakan penghuni di sini pendatang tak jelas? Saya tantang dia untuk mengecek sendiri. Mereka semua ini warga Kelurahan Medan Amplas Lingkungan 3,” tegas Adelina.
Sebagai tetangga dan menjadi sosok yang dipandang di Rusun Amplas, Adelina berharap Pemko Medan peduli dengan warganya. Setidaknya, masalah air bersih yang paling utama. Perbedaaan perlakuan telah membuat mereka begitu kecewa.
“Pas bantuan itu ada, waktu penggalian pipa, saya tanyakan sama mereka, ‘kenapa rusun tidak dapat?’ Mereka bilang, ‘rusun kan punya pemerintah, masak dapat bantuan dari pemerintah?’ Ini kan lucu. Kalau begitu, ini kan aset pemerintah, kenapa bisa air bersih saja tak disediakan. Memangnya warga rusun ini apa?” jelas Adelina.
Ari Kristiani yang berada di sampingnya ikut emosi. Tidak marah. Dia tampak sedih. “Anak saya yang kecil itu (menunjuk seorang anak di depan pintu rumahnya) jantungnya bocor. Sudah periksa ke Puskesmas. Tapi, disuruh minta surat tak mampu dari kepling. Tapi, kata kepling nanti-nanti dulu,” ungkapnya.
Setelah itu Ari terdiam. Beberapa ekor angsa tampak minum di genangan air pinggir sumur yang terus aktif digunakan warga. Ada yang mencuci. Ada yang menggosok gigi. Ada pula yang mengambil air.
“Jangan berharap bantuan, sekarang untuk bermimpi dapat bantuan pun kami tak berani,” ungkapnya sembari menggendong anaknya yang memiliki penyakit jantung bocor itu.
Adelina berdiri. Dia menunjukkan sumur yang berjarak beberapa meter saja dari tempat duduknya. “Kalau musim kemarau, sumur itu kering. Warga harus membeli air. Satu ember sebesar kaleng bekas cat harganya seribu rupiah. Bisa bayangkan itu. Sudah miskin, kok makin dipersulit ya?” katanya.
Akhirnya, Adelina dan Ari meminta Pemko Medan untuk peduli. Bagaimanapun Rusun Amplas adalah milik pemko dan penghuninya pun warga Medan.
“Mereka tak tahu lagi mau mengadu ke siapa, cukup lama mereka minta diperhatikan, tapi hasilnya belum ada juga…,” kata Adelina.
Dan, Medan telah melewati tengah hari. Kabut asap mulai tampak. Kabut itu seperti menutupi dinding-dinding Rusun Amplas yang berwarna tak jelas. “Tolong ya…,” pungkas Ari. (*)