30 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Tugas Berburu Boy 25 Sampai Lafayette

New Hope-Dahlan Iskan

SAYA lagi mampir Paris dua hari. Dalam perjalanan pulang dari Colombia dan Mexico. Tidak ada tujuan apa-apa. Tumben.

Mungkin karena sudah 7 tahun saya tidak ke Paris. Sejak terlibat di pemerintahan dulu. Kangen. Mungkin juga karena ternyata selama ini saya tidak benar-benar tahu Paris.

Dulu, ketika masih sering ke Prancis, saya selalu hanya menjadikan Paris tempat lewat. Begitu mendarat di Paris langsung menuju lokasi-lokasi pabrik kertas. Atau lokasi pabrik yang membuat pabrik kertas. Yang biasanya berlokasi di pelosok-pelosok desa: Lille, Normandi, Grenoble dan seterusnya. Tiba kembali di Paris tengah malam. Tidur. Jam 5 pagi ke pelosok lagi. Waktu itu saya memang lagi mau membangun pabrik kertas koran.

Beberapa tahun kemudian, saya sering ke Prancis lagi. Tapi juga ke pelosok-pelosok. Ke pembangkit-pembangkit listrik. Yakni untuk persiapan membangun pembangkit listrik di sebelah pabrik kertas di Gresik.

Baru kali ini saya tahu bahwa Paris itu ternyata seperti dibilang banyak orang: cantik. Pakai ‘sekali’.

Mendengar saya lagi di Paris, anak wedok saya bermanja: minta dibelikan tas Chanel. Saya pernah mendengar merk tas mahal Chanel, tapi terus terang saya tidak tahu seluk beluknya. Istri saya tidak pernah bermanja seperti itu.

Karena itu, agar tidak salah, saya minta diberi petunjuk yang rinci. Putri saya pun mengirim foto-fotonya: muka, belakang, atas, bawah, jarak jauh, jarak dekat. Mungkin diambil dari internet. Dia pun menyebut jenisnya: ‘Chanel Boy 25’. Seumur-umur baru sekali ini saya mendengar tas dengan nama seperti judul film itu.

Waktu saya berjalan di sepanjang Champ Elysees (baca: song elize) yang terkenal itu, anehnya, tidak satu pun toko Chanel di situ. Yang ada Louis Vuitton. Dan sebangsanya.

Berita duka ini saya kabarkan ke Surabaya. Dasar anak sekarang, saya pun dikirimi alamat beserta petanya. Rupanya didapat dari Google map.

Oh, kalau itu sih di dekat hotel saya. Di mall bawah tanah museum Louvre. Kebetulan, sejak membaca novel DaVinci Code, saya memang bermimpi ke museum itu. Untuk melihat piramid kaca dan lukisan Monalisa. Dua benda yang dimisteriuskan secara memikat di novel karangan Dan Brown tersebut.

Saya berhasil menemukan lokasi di mana di museum yang grande ini lukisan Monalisa digantung. Tapi tidak bisa mendekat. Ratusan orang memenuhi ruangan itu. Dengan mengacungkan handphone. Memotret. Ternyata lukisan asli Monalisa ini kecil sekali. Tenggelam oleh pengunjung. Novel yang terjual hampir 100 juta buku itu pastilah penyebabnya.

Saya juga berhasil menemukan toko Chanel di bawah museum. Tapi yang dijual hanya kosmetik. Tidak ada Boy 25.

Demi sang putri saya jalan kaki ke sepanjang Medellin Evenue yang tersohor itu. Merk-merk terkenal juga berpusat di sini. Ternyata di Medellin Evenue pun tidak ada. “Sombong banget merk ini,” kata saya dalam hati.

New Hope-Dahlan Iskan

SAYA lagi mampir Paris dua hari. Dalam perjalanan pulang dari Colombia dan Mexico. Tidak ada tujuan apa-apa. Tumben.

Mungkin karena sudah 7 tahun saya tidak ke Paris. Sejak terlibat di pemerintahan dulu. Kangen. Mungkin juga karena ternyata selama ini saya tidak benar-benar tahu Paris.

Dulu, ketika masih sering ke Prancis, saya selalu hanya menjadikan Paris tempat lewat. Begitu mendarat di Paris langsung menuju lokasi-lokasi pabrik kertas. Atau lokasi pabrik yang membuat pabrik kertas. Yang biasanya berlokasi di pelosok-pelosok desa: Lille, Normandi, Grenoble dan seterusnya. Tiba kembali di Paris tengah malam. Tidur. Jam 5 pagi ke pelosok lagi. Waktu itu saya memang lagi mau membangun pabrik kertas koran.

Beberapa tahun kemudian, saya sering ke Prancis lagi. Tapi juga ke pelosok-pelosok. Ke pembangkit-pembangkit listrik. Yakni untuk persiapan membangun pembangkit listrik di sebelah pabrik kertas di Gresik.

Baru kali ini saya tahu bahwa Paris itu ternyata seperti dibilang banyak orang: cantik. Pakai ‘sekali’.

Mendengar saya lagi di Paris, anak wedok saya bermanja: minta dibelikan tas Chanel. Saya pernah mendengar merk tas mahal Chanel, tapi terus terang saya tidak tahu seluk beluknya. Istri saya tidak pernah bermanja seperti itu.

Karena itu, agar tidak salah, saya minta diberi petunjuk yang rinci. Putri saya pun mengirim foto-fotonya: muka, belakang, atas, bawah, jarak jauh, jarak dekat. Mungkin diambil dari internet. Dia pun menyebut jenisnya: ‘Chanel Boy 25’. Seumur-umur baru sekali ini saya mendengar tas dengan nama seperti judul film itu.

Waktu saya berjalan di sepanjang Champ Elysees (baca: song elize) yang terkenal itu, anehnya, tidak satu pun toko Chanel di situ. Yang ada Louis Vuitton. Dan sebangsanya.

Berita duka ini saya kabarkan ke Surabaya. Dasar anak sekarang, saya pun dikirimi alamat beserta petanya. Rupanya didapat dari Google map.

Oh, kalau itu sih di dekat hotel saya. Di mall bawah tanah museum Louvre. Kebetulan, sejak membaca novel DaVinci Code, saya memang bermimpi ke museum itu. Untuk melihat piramid kaca dan lukisan Monalisa. Dua benda yang dimisteriuskan secara memikat di novel karangan Dan Brown tersebut.

Saya berhasil menemukan lokasi di mana di museum yang grande ini lukisan Monalisa digantung. Tapi tidak bisa mendekat. Ratusan orang memenuhi ruangan itu. Dengan mengacungkan handphone. Memotret. Ternyata lukisan asli Monalisa ini kecil sekali. Tenggelam oleh pengunjung. Novel yang terjual hampir 100 juta buku itu pastilah penyebabnya.

Saya juga berhasil menemukan toko Chanel di bawah museum. Tapi yang dijual hanya kosmetik. Tidak ada Boy 25.

Demi sang putri saya jalan kaki ke sepanjang Medellin Evenue yang tersohor itu. Merk-merk terkenal juga berpusat di sini. Ternyata di Medellin Evenue pun tidak ada. “Sombong banget merk ini,” kata saya dalam hati.

Artikel Terkait

Debat

Kisah Ikan Eka

Guo Nian

Sarah’s Bag Itu

Freeport

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/