JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Buruh kembali berancang-ancang menggedor pemerintah terkait kebijakan pekerja Indonesia menjelang May Day, Minggu (1/5) nanti. Selain isu klise seputar kenaikan upah, tahun ini pihak buruh tampaknya ingin menuntut ketegasan hukum pemerintah terkait isu buruh. Sebab, selama ini pemerintah belum menunjukkan kehadiran dalam membela hak-hak buruh di Indonesia.
Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar mengatakan, pihak buruh ingin memanfaatkan momentum tahun ini untuk penegasan tindakan hukum pemerintah terkait regulasi terkait buruh Indonesia. Belum tegasnya implementasi dari regulasi membuat kesejahteraan buruh tanah air tak sebanding dengan kekuatan ekonomi Indonesia.
’’Silahkan dilihat, Indonesia masuk peringkat 16 dalam G-20 dengan produksi bruto mencapai Rp 11.540,8 triliun tahun lalu. Namun, Indeks Gini (ketimpangan ekonomi) di Indonesia masih mencapai 0,4. Artinya pertumbuhan ekonomi tanah air hanya dinikmati oleh bagian kecil masyarakat. Sedangkan buruh terus menjadi kelompok marjinal,’’ ungkapnya kemarin (29/4).
Memang, lanjut dia, kesejahteraan pekerja Indonesia terus membaik. Dengan program-program jaminan pada era kabinet kerja, saat ini biaya jaminan kesejahteraan sosial sudah mencapai sekitar 11 persen dari gaji. Namun, hal tersebut tak bisa dibandingkan dengan negara-negara yang secara ekonomi satu kelas dengan Indonesia. ’’Jangan bandingkan Indonesia dengan negara seperti Kamboja, Myanmar, atau Vietnam. Negara-negara itu masih berkembang dengan dinamika buruh yang kurang dan kesejahteraan yang belum diperhatikan. Bandingkan saja dengan Malaysia, Singapura, atau Filipina. Social security cost di negara tersebut sudah mencapai 20-30 persen dari gaji,’’ terangnya.
Dari sisi upah minimum, lanjut dia, dia pun mengaku bahwa besaran Indonesia masih dibawah negara-negara satu kelas tersebut. Namun, dia pun sebenarnya tak menyalahkan sepenuhnya pengusaha dalam hal ini. Menurutnya, hal ini juga dampak dari kelalaian pemerintah dalam mengatasi pungli dan jaringan distribusi yang panjang.
’’Menurut data Kadin, ilegal cost di Indonesia sendiri mencapai 25 persen dari total biaya produksi. Itu lebih besar dari biaya pekerja yang hanya mencapai 16 persen. Sedangkan, di negara Singapura biaya pekerja bisa mencapai 20 persen ke atas dari total biaya produksi karena ilegal cost mereka hanya 5 persen,’’ jelasnya.