30 C
Medan
Monday, November 25, 2024
spot_img

Sistem Profesor untuk Sekolah Baru

New Hope-Dahlan Iskan

Inilah jenis sekolah yang tumbuh pesat di Amerika Serikat: Charter School. Bukan negeri. Bukan pula swasta.

Pendiri sekolah jenis ini umumnya guru. Yang punya jiwa keguruan 24 karat. Yang prihatin terhadap mutu pendidikan. Maksudnya: pendidikan di sekokah negeri. Terutama di lingkungan tempat tinggalnya.

Misalnya Tylor Bastian ini. Awalnya dia guru SMA. Untuk mata pelajaran pembentukan karakter. Sesuai dengan prodi saat kuliah dulu.

Bastian prihatin dengan karakter remaja di lingkungannya. Begitu banyak yang drop out. Alasannya macam-macam. Intinya: sekolah tidak menarik bagi mereka.

Bastian lantas mengajak beberapa guru bergabung. Mendirikan charter school. Mereka menyusun pengurus. Bastian ketuanya.

Sejak 15 tahun lalu sebagian negara bagian memang mengijinkan berdirinya jenis sekolah baru ini. Bastian mau itu.

Langkah kedua: Bastian menyusun charter. Tebalnya 200 halaman. Mirip anggaran dasar: sekolah seperti apa yang diinginkan. Dan seperti apa kurikulumnya. Berikutnya: Bastian menyusun program. Bagaimana mengusahakan bangunan, peralatan, mencari guru, mencari murid dan mencari sumber dana.

Semua dokumen itu diajukan ke pemerintah negara bagian. Setingkat pemda propinsi di sini.

“Setahun saya mempersiapkan semua itu,” ujar Bastian saat saya mengunjungi sekolahnya. “Tahun berikutnya sudah mendapat persetujuan.” Tahun ketiga sekolah dimulai.

Persetujuan itu penting: untuk mendapatkan biaya dari pemerintah. Besarnya Rp 70 juta (US 5.000 dolar)/siswa/tahun. Memang itu tidak cukup. Tapi lumayan. Lebih dari 70 persen biaya sekolah. Menurut Bastian, di sekolahnya, persiswa menghabiskan US 7.000 dolar/tahun. Ia harus mencari sumbangan untuk menutup kekurangannya. Ia tidak boleh mencukup-cukupkan biaya dari pemerintah itu. Dia harus memenuhi komitmen mutu pendidikan sesuai dengan charter yang sudah dia buat.

Sekolah milik Bastian ini berada sekitar 20 km dari pusat kota Salt Lake City, Utah. Namanya: Roots Charter High School. Bangunannya masih sewa. Bekas gedung kesehatan.

“Saya beri nama Roots agar siswa belajar mengenai akar semua masalah kehidupan,” ujar Bastian.

Memasuki ruang kelas sekolah ini saya tidak kaget. Inilah ruang kelas sekolah SMA di Amerika: siswanya boleh pakai kaus, sandal, topi, dan celana pendek. Saya lihat seorang siswi membawa anjing ke kelas.

Duduknya pun boleh sesukanya: duduk manis, selonjor, kaki di atas kursi dan seterusnya. Susunan kursi juga tidak harus rapi berderet. Boleh beberapa kursi menggerombol memisah dari kursi lain. Tidak ada meja. Hanya kursi. Yang ada tempat buku atau laptopnya. Umumnya murid sibuk dengan laptop masing-masing.

Gurunya pun tidak di depan kelas. Keliling mendatangi murid yang memerlukan supervisi. Murid lain boleh berdiri di dekat guru. Ikut mendengarkan. Atau tidak.

Hari itu, 18 April lalu, saya melongok ke tiga kelas: matematika, sejarah dan kimia. Semua mirip adanya: guru bersikap seperti teman murid. Pakaiannya pun semaunya.

Bastian juga menyewa lahan berjarak sekitar 100 meter dari sekolah. Untuk praktikum. Saya juga mengunjunginya. Untuk melihat kekhasan sekolah ini.

Seorang siswi dengan celana jin sedang memaku papan. Untuk bedeng tanaman sayuran. Tujuh siswa/siswi berada di kandang kambing. Mereka mempraktekkan cara menyayangi anak kambing: merangkulnya di pangkuan, mengelus bagian yang disuka dan memeluknya. Menurut ilmu menyayangi kambing, bagian leher bawahlah yang harus dielus.

Tentu kandang kambing ini mengingatkan masa remaja saya: menjadi penggembala kambing. Saya sudah biasa menggendong anak kambing, membantu kelahiran dan memandikan kambing. Tapi tidak secara ilmiah begini.

New Hope-Dahlan Iskan

Inilah jenis sekolah yang tumbuh pesat di Amerika Serikat: Charter School. Bukan negeri. Bukan pula swasta.

Pendiri sekolah jenis ini umumnya guru. Yang punya jiwa keguruan 24 karat. Yang prihatin terhadap mutu pendidikan. Maksudnya: pendidikan di sekokah negeri. Terutama di lingkungan tempat tinggalnya.

Misalnya Tylor Bastian ini. Awalnya dia guru SMA. Untuk mata pelajaran pembentukan karakter. Sesuai dengan prodi saat kuliah dulu.

Bastian prihatin dengan karakter remaja di lingkungannya. Begitu banyak yang drop out. Alasannya macam-macam. Intinya: sekolah tidak menarik bagi mereka.

Bastian lantas mengajak beberapa guru bergabung. Mendirikan charter school. Mereka menyusun pengurus. Bastian ketuanya.

Sejak 15 tahun lalu sebagian negara bagian memang mengijinkan berdirinya jenis sekolah baru ini. Bastian mau itu.

Langkah kedua: Bastian menyusun charter. Tebalnya 200 halaman. Mirip anggaran dasar: sekolah seperti apa yang diinginkan. Dan seperti apa kurikulumnya. Berikutnya: Bastian menyusun program. Bagaimana mengusahakan bangunan, peralatan, mencari guru, mencari murid dan mencari sumber dana.

Semua dokumen itu diajukan ke pemerintah negara bagian. Setingkat pemda propinsi di sini.

“Setahun saya mempersiapkan semua itu,” ujar Bastian saat saya mengunjungi sekolahnya. “Tahun berikutnya sudah mendapat persetujuan.” Tahun ketiga sekolah dimulai.

Persetujuan itu penting: untuk mendapatkan biaya dari pemerintah. Besarnya Rp 70 juta (US 5.000 dolar)/siswa/tahun. Memang itu tidak cukup. Tapi lumayan. Lebih dari 70 persen biaya sekolah. Menurut Bastian, di sekolahnya, persiswa menghabiskan US 7.000 dolar/tahun. Ia harus mencari sumbangan untuk menutup kekurangannya. Ia tidak boleh mencukup-cukupkan biaya dari pemerintah itu. Dia harus memenuhi komitmen mutu pendidikan sesuai dengan charter yang sudah dia buat.

Sekolah milik Bastian ini berada sekitar 20 km dari pusat kota Salt Lake City, Utah. Namanya: Roots Charter High School. Bangunannya masih sewa. Bekas gedung kesehatan.

“Saya beri nama Roots agar siswa belajar mengenai akar semua masalah kehidupan,” ujar Bastian.

Memasuki ruang kelas sekolah ini saya tidak kaget. Inilah ruang kelas sekolah SMA di Amerika: siswanya boleh pakai kaus, sandal, topi, dan celana pendek. Saya lihat seorang siswi membawa anjing ke kelas.

Duduknya pun boleh sesukanya: duduk manis, selonjor, kaki di atas kursi dan seterusnya. Susunan kursi juga tidak harus rapi berderet. Boleh beberapa kursi menggerombol memisah dari kursi lain. Tidak ada meja. Hanya kursi. Yang ada tempat buku atau laptopnya. Umumnya murid sibuk dengan laptop masing-masing.

Gurunya pun tidak di depan kelas. Keliling mendatangi murid yang memerlukan supervisi. Murid lain boleh berdiri di dekat guru. Ikut mendengarkan. Atau tidak.

Hari itu, 18 April lalu, saya melongok ke tiga kelas: matematika, sejarah dan kimia. Semua mirip adanya: guru bersikap seperti teman murid. Pakaiannya pun semaunya.

Bastian juga menyewa lahan berjarak sekitar 100 meter dari sekolah. Untuk praktikum. Saya juga mengunjunginya. Untuk melihat kekhasan sekolah ini.

Seorang siswi dengan celana jin sedang memaku papan. Untuk bedeng tanaman sayuran. Tujuh siswa/siswi berada di kandang kambing. Mereka mempraktekkan cara menyayangi anak kambing: merangkulnya di pangkuan, mengelus bagian yang disuka dan memeluknya. Menurut ilmu menyayangi kambing, bagian leher bawahlah yang harus dielus.

Tentu kandang kambing ini mengingatkan masa remaja saya: menjadi penggembala kambing. Saya sudah biasa menggendong anak kambing, membantu kelahiran dan memandikan kambing. Tapi tidak secara ilmiah begini.

Artikel Terkait

Debat

Kisah Ikan Eka

Guo Nian

Sarah’s Bag Itu

Freeport

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/