MEDAN, SUMUTPOS.CO – Daftar nama-nama saksi yang diperiksa penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Mako Brimob Polda Sumut, ternyata tak up to date. Pasalnya, sudah dua kali mantan anggota DPRD Sumut yang sudah meninggal dunia masuk dalam daftar yang diperiksa KPK dalam kasus dugaan suap mantan Gubernur Sumut, Gatot Pujo Nugroho.
Sebelumnya pada Selasa (21/6) lalu, KPK memanggil Effendi S Napitupulu sebagai saksi untuk tujuh tersangka baru. Padahal, Effendi sudah meninggal dunia pada April 2016 lalu akibat serangan jantung. Kamis (23/6) kemarin, KPK kembali memanggil mantan anggota DPRD Sumut Periode 2009-2014 yang sudah meninggal dunia, yakni Mulkan Ritonga, politisi Partai Golkar.
Mulkan Ritonga meninggal dunia di Rumah Sakit dr Pirngadi Medan pada Jumat malam, 25 September 2015 lalu. Almarhum diketahui menderita stroke selama beberapa bulan. Saat itu, nama almarhum juga masuk dalam daftar pemeriksaan KPK terkait kasus dugaan suap interpelasi, namun batal diperiksa dengan bukti surat keterangan sakit dari dokter.
Menyikapi ini, anggota Komisi III DPR RI Raden Muhammad Syafii menyayangkan kinerja KPK. Menurutnya, pemanggilan orang-orang yang sudah meninggal dunia sebagai saksi terhadap tujuh tersangka baru dalam kasus dugaan suap oleh Gatot Pujo Nugroho ke DPRD Sumut, membuktikan kalau KPK saat ini lemah administrasi.
Harusnya, kata politisi Gerindra yang akrab disapa Romo ini, KPK selalu meng-up date data-datanya, termasuk daftar saksi-saksi yang akan diperiksa. Bukan itu saja, dia juga menilai kredibilitas, integritas dan kualitas para komisioner KPK juga lemah.
“Bayangkan, ketua KPK bisa satu pesawat jalan-jalan ke Korea bersama Presiden dan sejumlah menteri. Di Sumut, komisioner KPK juga kumpul-kumpul bersama kepala-kepala daerah di Medan tidak dalam acara resmi. Kalau dalam acara resmi mungkin tidak masalah,” kata Romo.
Politisi asal Kota Medan ini juga mengungkapkan, sejak awal sebagian anggota DPR sudah menolak 10 nama komisioner yang diajukan panitia seleksi dianggap kurang mempuni. Apalagi, menurut Undang Undang Nomor 20 Tahun 2002, calon komisioner KPK itu harus berpengalaman di bidang hukum atau tamatan sarjana hukum. Tapi yang disodorkan tim pansel hampir separuhnya tidak tamatan hukum. Ada yang insinyur teknik dan sebagainya.
“Makanya DPR saat itu mau membuat seleksi ulang, tapi media meributi DPR. Akhirnya dilaksanakanlah fit and proper test dan hasilnya seperti ini. Artinya, DPR sendiri tidak puas dengan yang dipilihnya,” bebernya.
Karenanya, mantan anggota DPRD sumut periode 2004-2009 ini menilai, kinerja KPK saat ini sangat mudah ditebak dan secara administrasi sangat lemah. “Bayangkan saja, orang yang sudah meninggal dunia hampir setahun lalu (Mulkan Ritonga, Red), masih dipanggil sebagai saksi. Itulah kelemahan KPK saat ini. Jadi jangan berharap KPK bisa menjadi penegak hukum itu saat ini. Itu harapan yang lebay,” pungkasnya.