JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Terjawab sudah pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani di awal dia menjadi menteri, bahwa target APBN 2016 ambisius. Baru enam hari menjabat, dia memastikan penerimaan pajak hingga akhir tahun ini tidak akan mampu memenuhi target. Alhasil, mau tidak mau harus ada pemangkasan anggaran. Baik di kementerian maupun jatah untuk daerah.
Pemangkasan anggaran itu disepakati dalam Rapat Kabinet Paripurna di Kantor Presiden, kemarin (3/8). Bila beberapa bulan lalu anggaran kementerian dipangkas Rp50 triliun, kali ini jumlahnya lebih besar. “Langkah-langkahnya adalah mengurangi belanja Rp65 triliun di Kementerian dan lembaga (K/L), dan transfer daerah Rp68,8 triliun,” ujar Ani, sapaan akrab Sri Mulyani usai rapat.
Pemangkasan anggaran untuk K/L dilakukan pada aktivitas yang tidak prioritas. Seperti perjalanan dinas, consinering, hingga belanja gedung. Dalam waktu dekat, pihaknya bersama Menko Perekonomian dan Kepala Bappenas akan menyisir daftar belanja seluruh K/L. Setelahnya, baru ditetapkan sektor mana saja yang akan terkena efisiensi.
Sedangkan, untuk daerah, dia menyebut pengurangan itu ada pada sektor bagi hasil. Karena penerimaan di sektor pajak diperkirakan lebih kecil, maka penerimaan dana bagi hasil di daerah juga akan dikurangi. ’’(Efisiensi itu) tanpa mengurangi komitmen pemerintah untuk menunjang kebutuhan prioritas,’’ lanjutnya.
Prioritas yang dimaksud seperti pembangunan infrastruktur, belanja pendidikan termasuk tunjangan profesi guru, maupun belanja kesehatan. Selebihnya, pihaknya akan mengupayakan agar APBN tetap bisa confidence sehingga ada cukup ruang untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang sehat.
Ani menguraikan, penghitungan penerimaan untuk APBNP 2016 yang disetujui DPR masih menggunakan basis angka yang cukup tinggi. Basis angka tersebut diambil dari anggaran 2014 dan 2015. Padahal, realisasi penerimaan pajak dua tahun belakangan juga meleset.
Dia menyebut, pada 2014 realisasi penerimaan minus Rp100 triliun dari target. Sedangkan, pada 2015 minusnya malah lebih besar, yakni Rp248,9 triliun. Kondisi tersebut merupakan dampak dari kondisi ekonomi secara umum.
Pertama, selama dua tahun terakhir, harga-harga komoditas jatuh. Mulai barang tambang seperti minyak, gas, dan batubara, hingga harga sawit. Karena harga jatuh, nilai objek pajaknya menjadi turun dan mengakibatkan penerimaan negara ikut turun.
Kedua, sektor-sektor yang mengalami pertumbuhan seperti perdagangan dan konstruksi mengalami tekanan berat. Alhasil pertumbuhannya pun tidak signifikan, hanya separo dari pertumbuhan di tahun-tahun sebelumnya.