26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Rombak Total Rekrutmen Hakim MK

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Perbaikan rekrutmen hakim Mahkamah Konstitusi (MK) semakin mengemuka pasca tertangkapnya Patrialis Akbar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Sistem rekrutmen hakim MK dinilai memiliki celah yang harus benar-benar ditutup.

Rekrutmen hakim konstitusi diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dalam UU yang kemudian diubah dengan UU 8/2011 tersebut ada dua hal yang diatur. Yakni, mengenai partisipasi lembaga dan persyaratan menjadi hakim. Persyaratan itulah yang banyak disorot karena dianggap menjadi pangkal persoalan perilaku hakim.

Setidaknya, ada dua syarat yang dinilai berpengaruh besar pada perilaku hakim. Pertama, adalah syarat negarawan, dan yang kedua adalah persyaratan umur yang dibatasi minimal 47 tahun. ’’Seharusnya, hakim konstitusi itu harus senior,’’ tutur mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie.

Dia menuturkan, seharusnya ada perubahan dalam sistem rekrutmen hakim. ’’Lebih tua lebih baik, lebih matang. Kapan itu, ya mulai 60 tahun,’’ lanjut Pria kelahiran 1956 itu. Memang, saat awal dibentuk, MK perlu hakim berusia muda agar lebih agresif dalam mebangun institusi. saat ini, MK sudah matang sacara institusi sehingga harus ada perubahan dalam usia hakim.

Dengan perubahan syarat usia itu pula, masa jabatan hakim MK tidak perlu lagi menggunakan periodesasi seperti saat ini. Cukup dibatasi dengan usia 70 tahun. Sehingga, hakim MK akan menjabat maksimal 10 tahun. Bila saat rekrutmen usianya sudah 65, maka dia hanya memiliki masa jabatan lima tahun. Itu juga akan membuat pergantian hakin tidak perlu dilakukan serentak, sehingga organisasi tetap stabil.

Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan mengapa hakim MK harus senior. Hakim yang senior akan lebih mampu menguasai substansi masalah. Kemudian, hakim senior ralatif tidak lagi memburu uang, jabatan, ataupun kekuasaan. Sehingga, dia bisa fokus menjadi seorang negarawan yang mengawal konstitusi.

Poin negarawan itu juga disoroti oleh Jimly. Menurut dia, negarawan yang menjadi hakim MK sebaiknya bukan akademisi murni. ’’Nanti dia akan bodoh secara sosial dan politik,’’ ujar mantan Anggota Wantimpres itu. Menurut Jimly, seorang negarawan yang akan menjadi hakim MK justru harus punya pengalaman politik.

Pria kelahiran Palembang itu juga menyoroti teknis rekrutmen yang dilakukan ketiga lembaga. Baik Presiden, DPR, maupun MA. Sampai saat ini, baru DPR yang memiliki peraturan teknis mengenai rekrutmen hakim MK representasi legistlatif. Sementara, lembaga Presiden belum memiliki aturan serupa berupa perpres, dan MA belum memiliki Perma untuk itu.

Sembilan hakim konstitusi memang dipilih oleh tiga lembaga. Masing-masing mengajukan tiga orang. Sehingga, posisi MK berada di tengah-tengah antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Sayangnya, belum ada aturan teknis baku di lembaga eksekutif dan yudikatif dalam merekrut hakim MK.

Bahkan, aturan teknis di DPR pun dia nilai belum sempurna karena masih memunculkan celah kepentingan. Hakim dari DPR bisa mundur dari dunia politik beberapa saat sebelum dilantik. ’’Jadi, ini perlu pengaturan total. Presiden harus ambil inisiatif untuk menata ulang sistem rekrutmen,’’ tambahnya. Baik pada UU MK maupun aturan teknis di masing-masing lembaga representasi.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Perbaikan rekrutmen hakim Mahkamah Konstitusi (MK) semakin mengemuka pasca tertangkapnya Patrialis Akbar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Sistem rekrutmen hakim MK dinilai memiliki celah yang harus benar-benar ditutup.

Rekrutmen hakim konstitusi diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dalam UU yang kemudian diubah dengan UU 8/2011 tersebut ada dua hal yang diatur. Yakni, mengenai partisipasi lembaga dan persyaratan menjadi hakim. Persyaratan itulah yang banyak disorot karena dianggap menjadi pangkal persoalan perilaku hakim.

Setidaknya, ada dua syarat yang dinilai berpengaruh besar pada perilaku hakim. Pertama, adalah syarat negarawan, dan yang kedua adalah persyaratan umur yang dibatasi minimal 47 tahun. ’’Seharusnya, hakim konstitusi itu harus senior,’’ tutur mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie.

Dia menuturkan, seharusnya ada perubahan dalam sistem rekrutmen hakim. ’’Lebih tua lebih baik, lebih matang. Kapan itu, ya mulai 60 tahun,’’ lanjut Pria kelahiran 1956 itu. Memang, saat awal dibentuk, MK perlu hakim berusia muda agar lebih agresif dalam mebangun institusi. saat ini, MK sudah matang sacara institusi sehingga harus ada perubahan dalam usia hakim.

Dengan perubahan syarat usia itu pula, masa jabatan hakim MK tidak perlu lagi menggunakan periodesasi seperti saat ini. Cukup dibatasi dengan usia 70 tahun. Sehingga, hakim MK akan menjabat maksimal 10 tahun. Bila saat rekrutmen usianya sudah 65, maka dia hanya memiliki masa jabatan lima tahun. Itu juga akan membuat pergantian hakin tidak perlu dilakukan serentak, sehingga organisasi tetap stabil.

Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan mengapa hakim MK harus senior. Hakim yang senior akan lebih mampu menguasai substansi masalah. Kemudian, hakim senior ralatif tidak lagi memburu uang, jabatan, ataupun kekuasaan. Sehingga, dia bisa fokus menjadi seorang negarawan yang mengawal konstitusi.

Poin negarawan itu juga disoroti oleh Jimly. Menurut dia, negarawan yang menjadi hakim MK sebaiknya bukan akademisi murni. ’’Nanti dia akan bodoh secara sosial dan politik,’’ ujar mantan Anggota Wantimpres itu. Menurut Jimly, seorang negarawan yang akan menjadi hakim MK justru harus punya pengalaman politik.

Pria kelahiran Palembang itu juga menyoroti teknis rekrutmen yang dilakukan ketiga lembaga. Baik Presiden, DPR, maupun MA. Sampai saat ini, baru DPR yang memiliki peraturan teknis mengenai rekrutmen hakim MK representasi legistlatif. Sementara, lembaga Presiden belum memiliki aturan serupa berupa perpres, dan MA belum memiliki Perma untuk itu.

Sembilan hakim konstitusi memang dipilih oleh tiga lembaga. Masing-masing mengajukan tiga orang. Sehingga, posisi MK berada di tengah-tengah antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Sayangnya, belum ada aturan teknis baku di lembaga eksekutif dan yudikatif dalam merekrut hakim MK.

Bahkan, aturan teknis di DPR pun dia nilai belum sempurna karena masih memunculkan celah kepentingan. Hakim dari DPR bisa mundur dari dunia politik beberapa saat sebelum dilantik. ’’Jadi, ini perlu pengaturan total. Presiden harus ambil inisiatif untuk menata ulang sistem rekrutmen,’’ tambahnya. Baik pada UU MK maupun aturan teknis di masing-masing lembaga representasi.

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/