SUMUTPOS.CO – Aksi pungutan liar (Pungli) di Kantor Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertahanan Nasional (BPN) Kabupaten Deliserdang terungkap, Jumat (10/2) lalu. Sembilan orang, termasuk Kepala ATR/BPN Deliserdang Calvyn Sembiring diciduk tim Tipikor Poldasu beserta barang bukti uang tunai ratusan juta rupiah. Ternyata, aksi pungli di BPN Deliserdang ini sudah lama dikeluhkan masyarakat.
AKHIR pekan lalu, Sumut Pos berkesempatan mewawancarai notaris dan warga yang pernah mengurus sertifikat di Kantor ATR/BPN Kabupaten Deliserdang. Sebut saja Bang BH, notaris yang membuka kantor di Lubukpakam.
Menurutnya, aksi pungli oleh pejabat di Kantor ATR/BPN Deliserdang dengan menaikan tarif di luar tarif resmi yang sudah ada memaksa notaris membuat biaya jasa pengurusan sertifikat semakin mahal. Ditambah lagi warga wajib membayar Pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah (BPHTB) ke rekening yang telah ditentukan.
“Istilahnya, uang teken itu harus disetor, Rp3.000 per meter. Bila dikalikan 10 ribu meter atau satu hektare maka uang tekan saja bisa sampai Rp30 juta. Uang ukur lain lagi,” beber Bang BH.
Biasanya uang teken itu diserahkan kepada Seksi Pengukuran Maltus Hutaggalung. Penyerahan uangnya setelah peta bidang terbit. “Peta bidang adalah pokok sentral dari penerbitan SHM. Bila belum terbit peta bidang pengurusan SHM tak bisa berlanjut ke Kepala Seksi Pengesahan Pertanahan, Indra Imanuddin,” ungkapnya.
Biasanya, notaris menyerahkan uang teken itu kepada ajudan Maltus Hutaggalung, Ayu dan Imel. Adapun alasan notaris menyerahkan dana ke ajudan Maltus, karena notaris akan berulang-ulang mengurus SHM.
“Menjadi sebuah budaya di sana, notaris langsung setor kepada ajudan. Iya seperti loket gitulah ajudannya si Maltus itu. Bahkan kewenangan kedua orang dekat Maltus lebih tinggi dari kepala seksi lainnya. Mau jumpa Maltus harus seizin mereka, padahal kepala seksi lainnya bebas saja,” terang pria yang pernah menjadi calon legislatif (Caleg) ini.
Kebiasan atau budaya setor tersebut semenjak Calvyn A Sembiring memimpin ATR/BPN Deliserdang. “Maltus itukan anak mainnya Calvyn. Tukang cari duit gitulah, tetapi yang jadi korban ya warga, dan notaris jadi korban perasaan,” bilangnya.
Sementara menurut Agusman, seorang warga yang pernah mengurus sendiri peningkatan SK Camat ke SHM, dirinya mengaku pernah diminta Rp20 juta oleh Multus. Disebutkannya, saat dia selesai mengisi formulir di loket, petugas mengarahkan dirinya untuk menemui Seksi Pengukuran, Maltus di lantai dua. Bertemu dengan Maltus, Agusman menyerahkan surat tanahnya yang masih SK Camat.
Setelah membaca beberapa menit, Maltus menyarankan agar Agusman mengurusnya melalui notaris. “Bapak urus saja melalui notaris, soalnya ini akan lama selesainya,” terang Maltus.