26 C
Medan
Saturday, November 23, 2024
spot_img

Cuma BPK Penentu Kerugian Negara

Aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) Tama Satrya Langkun.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang penghapusan kata “dapat” dalam pasal 2 dan 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terus menuai polemik. Selain menumpulkan penumpasan rasuah, putusan itu juga rentan digunakan sebagai acuan terduga koruptor untuk mengajukan praperadilan saat terjerat kasus korupsi.

Aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) Tama Satrya Langkun menuturkan, putusan MK itu menjadi acuan Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan surat edaran (SE). Di SEMA Nomor 4/2016 itu menyebut Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang memiliki kewenangan mendeklarasikan ada tidaknya kerugian keuangan negara.

Tentu, regulasi itu membuat hasil audit instansi lain, seperti Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan inspektorat tidak bisa lagi digunakan sebagai acuan aparat penegak hukum untuk menentukan kerugian keuangan negara. ”Secara teknis, ini jelas menghambat pemberantasan korupsi,” ujar Tama kepada Jawa Pos, kemarin (26/2).

Penanganan kasus dugaan korupsi elektronik KTP (e-KTP), misalnya. KPK terancam terganjal di tahap penuntutan. Sebab, mereka menggunakan audit BPKP untuk memperoleh bukti kerugian negara dari kasus kakap tersebut. ”SEMA ini akan membuka ruang (koruptor) untuk praperadilan,” ungkapnya. MA mesti mereview aturan tentang lembaga pengaudit kerugian tersebut.

Menanggapi polemik itu, Kepala Biro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur diplomatis. Menurutnya, SEMA tentang pemberlakuan rumusan hasil rapat pleno kamar Mahkamah Agung itu merupakan ketentuan baru yang tidak jarang menuai kritik. ”Selalu saja resistennya ada,” ujarnya.

Pria yang akrab dipanggil Ridwan itu mengungkapkan, BPK menjadi instansi yang berwenang menyatakan ada atau tidak kerugian negara merupakan kebutuhan. Keputusan yang ditetapkan MA melalui SEMA tersebut sudah dipertimbangkan dengan matang. ”Kami lihat urgensinya,” ucap dia.

Yang terjadi selama ini, sambung dia, kerap ada perbedaan dari masing-masing auditor. Tidak terkecuali BPK dengan BPKP. Belum lagi auditor lain. Misalnya auditor dari perguruan tinggi. ”Kadang-kadang untuk mengabur-ngaburkan kerugian negara. Sehingga untuk kepastian sudah saja satu lembaga,” terangnya.

Itu adalah salah satu alasan MA memilih BPK. ”Namanya saja Badan Pemeriksa Keuangan,” ujar Ridwan. Selain punya tanggung jawab memeriksa keuangan negara, BPK juga punya sumber daya manusia (SDM) memadai. Instansi tersebut, kata Ridwan, punya perwakilan di berbagai daerah. Sehingga lebih mudah melakukan pemeriksaan.

Dengan begitu, hasil pemeriksaan BPK bisa menjadi pokok penilaian hakim dalam memeriksa perkara. Tidak ada lagi perbedaan berkaitan ada tidaknya kerugian negara dalam suatu perkara. “Kami ingin kepastian untuk memudahkan. Kalau begini, dipercayakan kepada BPK,” tambah dia.

Aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) Tama Satrya Langkun.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang penghapusan kata “dapat” dalam pasal 2 dan 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terus menuai polemik. Selain menumpulkan penumpasan rasuah, putusan itu juga rentan digunakan sebagai acuan terduga koruptor untuk mengajukan praperadilan saat terjerat kasus korupsi.

Aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) Tama Satrya Langkun menuturkan, putusan MK itu menjadi acuan Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan surat edaran (SE). Di SEMA Nomor 4/2016 itu menyebut Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang memiliki kewenangan mendeklarasikan ada tidaknya kerugian keuangan negara.

Tentu, regulasi itu membuat hasil audit instansi lain, seperti Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan inspektorat tidak bisa lagi digunakan sebagai acuan aparat penegak hukum untuk menentukan kerugian keuangan negara. ”Secara teknis, ini jelas menghambat pemberantasan korupsi,” ujar Tama kepada Jawa Pos, kemarin (26/2).

Penanganan kasus dugaan korupsi elektronik KTP (e-KTP), misalnya. KPK terancam terganjal di tahap penuntutan. Sebab, mereka menggunakan audit BPKP untuk memperoleh bukti kerugian negara dari kasus kakap tersebut. ”SEMA ini akan membuka ruang (koruptor) untuk praperadilan,” ungkapnya. MA mesti mereview aturan tentang lembaga pengaudit kerugian tersebut.

Menanggapi polemik itu, Kepala Biro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur diplomatis. Menurutnya, SEMA tentang pemberlakuan rumusan hasil rapat pleno kamar Mahkamah Agung itu merupakan ketentuan baru yang tidak jarang menuai kritik. ”Selalu saja resistennya ada,” ujarnya.

Pria yang akrab dipanggil Ridwan itu mengungkapkan, BPK menjadi instansi yang berwenang menyatakan ada atau tidak kerugian negara merupakan kebutuhan. Keputusan yang ditetapkan MA melalui SEMA tersebut sudah dipertimbangkan dengan matang. ”Kami lihat urgensinya,” ucap dia.

Yang terjadi selama ini, sambung dia, kerap ada perbedaan dari masing-masing auditor. Tidak terkecuali BPK dengan BPKP. Belum lagi auditor lain. Misalnya auditor dari perguruan tinggi. ”Kadang-kadang untuk mengabur-ngaburkan kerugian negara. Sehingga untuk kepastian sudah saja satu lembaga,” terangnya.

Itu adalah salah satu alasan MA memilih BPK. ”Namanya saja Badan Pemeriksa Keuangan,” ujar Ridwan. Selain punya tanggung jawab memeriksa keuangan negara, BPK juga punya sumber daya manusia (SDM) memadai. Instansi tersebut, kata Ridwan, punya perwakilan di berbagai daerah. Sehingga lebih mudah melakukan pemeriksaan.

Dengan begitu, hasil pemeriksaan BPK bisa menjadi pokok penilaian hakim dalam memeriksa perkara. Tidak ada lagi perbedaan berkaitan ada tidaknya kerugian negara dalam suatu perkara. “Kami ingin kepastian untuk memudahkan. Kalau begini, dipercayakan kepada BPK,” tambah dia.

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/