29 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Terima Kasih Mal

Oleh AZRUL ANANDA

 Saya suka mal. Silakan toko-toko online semakin banyak. Tapi, bagi saya, tidak ada yang bisa menggantikan fungsi mal. Apalagi di Indonesia.

***

Saya harus menyampaikan disclaimer dulu di awal: Saya bukan pakar mal. Saya seperti banyak pembaca, kalau ada waktu lowong sering jalan-jalan di mal bersama keluarga.

Ada dua alasan kenapa sekarang saya mau iseng menulis soal mal.

Pertama, baru-baru ini ada orang bertanya kepada saya. Dia seorang tokoh terkenal. Dia bertanya, dengan begitu mudahnya belanja online, dengan semakin banyaknya toko online, sampai kapan mal masih dibutuhkan?

Apalagi, sekarang di Amerika sedang cukup ramai berita mal-mal atau department store besar menutup lokasi. Sampai muncul tulisan di beberapa media, sampai kapan mal-mal atau department store itu bisa bertahan di masa mendatang?

Alasan kedua, saya begitu bangga dan bahagia ketika mal terbesar di Indonesia, Pakuwon Mall, baru saja dibuka di Surabaya pekan lalu (22/2).

Saya pikir, nulis soal mal deh, mumpung ada momen.

Sekali lagi, seperti kebanyakan orang kota di Indonesia, saya doyan ke mal. Saya sudah doyan ke mal sejak mulai menginjak remaja (karena waktu masih kecil belum ada mal di Surabaya).

Bukan selalu untuk belanja atau makan. Karena dulu kuliah jurusan marketing, saya suka ke mal untuk ”studi buyer behavior”. Maksudnya, people watching alias lihat-lihat tingkah laku orang di mal. Wkwkwkwk…

Tentu saja, tanpa belanja atau makan, kegiatan studi buyer behavior saja tidak cukup untuk menghidupi sebuah mal. Harus ada perputaran uang lebih dari sekadar bayar parkir.

Kembali ke pertanyaan pertama: Sampai kapan mal dibutuhkan?

Untuk menjawab itu, rasanya kita harus membedakan habit di Amerika dengan di Indonesia, bukan?

Apa yang bagus di Amerika belum tentu baik di sini.

Apa yang gagal di sana bisa jadi sangat berhasil di sini.

Kalau di Amerika, hampir pasti orang ke mal benar-benar untuk belanja. Rata-rata hidup orang di sana begitu sibuk, tidak punya waktu untuk killing time dengan jalan-jalan di mal.

Makan di mal juga lebih mahal daripada masak sendiri di rumah. Dan kalau acara khusus makan bersama akan dilakukan di rumah makan khusus, bukan di mal. Malah acara khusus makan bersama lebih sering dilakukan di rumah.

Memasak untuk orang banyak lebih bernilai daripada mentraktir orang banyak di restoran.

Mengantar anak main? Juga tidak ke mal. Karena ada begitu banyak taman bermain yang luas dan indah dengan berbagai fasilitas.

Nonton bioskop? Juga tidak di mal. Banyak bioskop melekat di mal, tapi sangat banyak yang berdiri sendiri terpisah dari mal.

Semua fakta kehidupan di Amerika itu tinggal dibalik 180 derajat, maka itulah yang berlaku di Indonesia.

Oleh AZRUL ANANDA

 Saya suka mal. Silakan toko-toko online semakin banyak. Tapi, bagi saya, tidak ada yang bisa menggantikan fungsi mal. Apalagi di Indonesia.

***

Saya harus menyampaikan disclaimer dulu di awal: Saya bukan pakar mal. Saya seperti banyak pembaca, kalau ada waktu lowong sering jalan-jalan di mal bersama keluarga.

Ada dua alasan kenapa sekarang saya mau iseng menulis soal mal.

Pertama, baru-baru ini ada orang bertanya kepada saya. Dia seorang tokoh terkenal. Dia bertanya, dengan begitu mudahnya belanja online, dengan semakin banyaknya toko online, sampai kapan mal masih dibutuhkan?

Apalagi, sekarang di Amerika sedang cukup ramai berita mal-mal atau department store besar menutup lokasi. Sampai muncul tulisan di beberapa media, sampai kapan mal-mal atau department store itu bisa bertahan di masa mendatang?

Alasan kedua, saya begitu bangga dan bahagia ketika mal terbesar di Indonesia, Pakuwon Mall, baru saja dibuka di Surabaya pekan lalu (22/2).

Saya pikir, nulis soal mal deh, mumpung ada momen.

Sekali lagi, seperti kebanyakan orang kota di Indonesia, saya doyan ke mal. Saya sudah doyan ke mal sejak mulai menginjak remaja (karena waktu masih kecil belum ada mal di Surabaya).

Bukan selalu untuk belanja atau makan. Karena dulu kuliah jurusan marketing, saya suka ke mal untuk ”studi buyer behavior”. Maksudnya, people watching alias lihat-lihat tingkah laku orang di mal. Wkwkwkwk…

Tentu saja, tanpa belanja atau makan, kegiatan studi buyer behavior saja tidak cukup untuk menghidupi sebuah mal. Harus ada perputaran uang lebih dari sekadar bayar parkir.

Kembali ke pertanyaan pertama: Sampai kapan mal dibutuhkan?

Untuk menjawab itu, rasanya kita harus membedakan habit di Amerika dengan di Indonesia, bukan?

Apa yang bagus di Amerika belum tentu baik di sini.

Apa yang gagal di sana bisa jadi sangat berhasil di sini.

Kalau di Amerika, hampir pasti orang ke mal benar-benar untuk belanja. Rata-rata hidup orang di sana begitu sibuk, tidak punya waktu untuk killing time dengan jalan-jalan di mal.

Makan di mal juga lebih mahal daripada masak sendiri di rumah. Dan kalau acara khusus makan bersama akan dilakukan di rumah makan khusus, bukan di mal. Malah acara khusus makan bersama lebih sering dilakukan di rumah.

Memasak untuk orang banyak lebih bernilai daripada mentraktir orang banyak di restoran.

Mengantar anak main? Juga tidak ke mal. Karena ada begitu banyak taman bermain yang luas dan indah dengan berbagai fasilitas.

Nonton bioskop? Juga tidak di mal. Banyak bioskop melekat di mal, tapi sangat banyak yang berdiri sendiri terpisah dari mal.

Semua fakta kehidupan di Amerika itu tinggal dibalik 180 derajat, maka itulah yang berlaku di Indonesia.

Artikel Terkait

Wayan di New York

Trump Kecele Lagi

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/