25 C
Medan
Tuesday, November 26, 2024
spot_img

Tren Vonis Korupsi Makin Ringan

Palu Hakim-Ilustrasi

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Upaya memberi efek jera bagi koruptor tampaknya masih jauh panggang dari api. Data Indonesia Corruption Watch (ICW) tahun lalu membeberkan, rata-rata hukuman penjara terhadap 573 putusan sidang kasus korupsi dijatuhkan dengan cukup ringan. Bahkan, di tingkat pertama atau pengadilan negeri (PN) rata-rata vonis hanya 1 tahun 11 bulan kurungan penjara.

Putusan ringan hampir terjadi di sebagian besar pengadilan. Mulai Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, sampai Papua. Selain di tingkat pertama, hukuman ringan juga terjadi di mayoritas sidang banding di pengadilan tinggi (PT). Yakni, 2 tahun 6 bulan penjara. Begitu pula di tingkat kasasi di Mahkamah Agung (MA), vonis kasus korupsi rata-rata 4 tahun 1 bulan.

Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW Tama S Langkun mengatakan, prosentase putusan ringan perkara korupsi sepanjang 2016 paling tinggi terjadi di tingkat pertama (PN). Sebanyak 76 persen diantara 420 putusan. Sementara di tingkat banding sebanyak 60 persen (dari 121 putusan) dan 45 persen (dari 32 putusan) di MA.

Tama mengatakan, kategori ringan itu didasarkan pada pertimbangan bahwa hukuman minimal penjara di pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor adalah 4 tahun penjara. Dengan demikian, vonis 1 tahun 11 bulan di mayoritas PN itu bisa juga disebut sangat ringan. ”Kalau vonis berat di atas 10 tahun,” ujarnya, Minggu (5/3). Tren itu cenderung sama selama tiga tahun terakhir.

Menurut Tama, vonis ringan yang masih mendominasi putusan pengadilan selama tiga tahun terakhir itu patut menjadi perhatian pihak terkait. Terutama jaksa penuntut umum (JPU). Kata dia, vonis ringan tak terlepas dari tuntutan jaksa yang diajukan dalam persidangan. Jaksa bisa dibilang gagal memformulasikan hukuman yang tepat bagi terdakwa.  “Jaksa cenderung menuntut terdakwa secara ringan, baik pidana penjara maupun pidana denda, tidak disertai dengan kewajiban uang pengganti,” ungkapnya.

Pantauan ICW, jaksa juga kurang ngotot menuntut pencabutan hak politik terdakwa berlatar belakang politisi. ”Jaksa seolah tidak memiliki keberpihakan terhadap pemberantasan korupsi,” terangnya.

Palu Hakim-Ilustrasi

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Upaya memberi efek jera bagi koruptor tampaknya masih jauh panggang dari api. Data Indonesia Corruption Watch (ICW) tahun lalu membeberkan, rata-rata hukuman penjara terhadap 573 putusan sidang kasus korupsi dijatuhkan dengan cukup ringan. Bahkan, di tingkat pertama atau pengadilan negeri (PN) rata-rata vonis hanya 1 tahun 11 bulan kurungan penjara.

Putusan ringan hampir terjadi di sebagian besar pengadilan. Mulai Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, sampai Papua. Selain di tingkat pertama, hukuman ringan juga terjadi di mayoritas sidang banding di pengadilan tinggi (PT). Yakni, 2 tahun 6 bulan penjara. Begitu pula di tingkat kasasi di Mahkamah Agung (MA), vonis kasus korupsi rata-rata 4 tahun 1 bulan.

Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW Tama S Langkun mengatakan, prosentase putusan ringan perkara korupsi sepanjang 2016 paling tinggi terjadi di tingkat pertama (PN). Sebanyak 76 persen diantara 420 putusan. Sementara di tingkat banding sebanyak 60 persen (dari 121 putusan) dan 45 persen (dari 32 putusan) di MA.

Tama mengatakan, kategori ringan itu didasarkan pada pertimbangan bahwa hukuman minimal penjara di pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor adalah 4 tahun penjara. Dengan demikian, vonis 1 tahun 11 bulan di mayoritas PN itu bisa juga disebut sangat ringan. ”Kalau vonis berat di atas 10 tahun,” ujarnya, Minggu (5/3). Tren itu cenderung sama selama tiga tahun terakhir.

Menurut Tama, vonis ringan yang masih mendominasi putusan pengadilan selama tiga tahun terakhir itu patut menjadi perhatian pihak terkait. Terutama jaksa penuntut umum (JPU). Kata dia, vonis ringan tak terlepas dari tuntutan jaksa yang diajukan dalam persidangan. Jaksa bisa dibilang gagal memformulasikan hukuman yang tepat bagi terdakwa.  “Jaksa cenderung menuntut terdakwa secara ringan, baik pidana penjara maupun pidana denda, tidak disertai dengan kewajiban uang pengganti,” ungkapnya.

Pantauan ICW, jaksa juga kurang ngotot menuntut pencabutan hak politik terdakwa berlatar belakang politisi. ”Jaksa seolah tidak memiliki keberpihakan terhadap pemberantasan korupsi,” terangnya.

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/