Ilyas Karim, Saksi Hidup Pengibar Bendera saat Proklamasi 17 Agustus 1945
Ketika menjadi pengibar bendera saat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, umur Ilyas Karim baru 18 tahun. Kini umurnya sudah senja, 84 tahun. Tapi, hidupnya jauh dari sejahtera. Dia dan istri sekarang tinggal di atas lahan pinjaman, yang sewaktu-waktu bisa diusir.
Hari ini, Rabu (17/8) 66 tahun Indonesia merdeka. Setiap kali kemerdekaan negara ini dirayakan, Ilyas Karim selalu teringat pada peristiwa bersejarah di Jalan Pegangsaan Timur No 56, Jakarta Pusat itu. Yakni, ketika dia menjadi salah satu pengibar bendera, setelah Presiden Pertama RI Soekarno membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
“Mungkin saya satu-satunya orang yang masih hidup pada peristiwa itu,” kata Ilyas, dengan intonasi kalimat yang sangat jelas. Meski umur sudah 84 tahun, Ilyas masih terlihat tegap. Kedua matanya harus diplester agar tak terpejam. Ini akibat penyakit stroke yang menyerangnya beberapa tahun lalu.
Ilyas masih sangat lancar menceritakan peristiwa yang tak pernah dia lupakan seumur hidupnya itu. Saat ditemui di rumahnya Sabtu lalu (6/8) di perkampungan padat di pinggiran jalur rel kereta api di Kalibata, Jakarta Selatan, Ilyas menceritakan kisah bersejarah itu. Dia mengisahkan, tugas yang diberikan kepadanya untuk mengibarkan Merah Putih berawal pada 16 Agustus 1945 malam. Saat itu Ilyas muda dan beberapa rekannya yang berhimpun di Asrama Pemuda Islam (API) mendapat undangan datang ke kediaman Soekarno. Undangan tersebut disampaikan oleh pemimpin API Chairul Saleh Rasyid yang juga salah satu tokoh pejuang pemuda saat itu.
Esok harinya (17 Agustus 1945), setelah salat Subuh, Ilyas dan sekitar 50 rekannya dengan bersemangat berjalan kaki dari basecamp API di bilangan Menteng, Jakarta Pusat, menuju Pegangsaan Timur 56 (kediaman Soekarno), yang jaraknya tidak terlalu jauh.
“Sampai saat (berangkat) itu pun saya belum tahu kalau akan menjadi pengibar bendera, dan saat itu saya ditarik protokler untuk menjadi Paskibraka, ” cerita Ilyas.
Nah, ketika sampai di rumah Soekarno, tiba-tiba lengan kiri Ilyas ditarik Sudanco (komandan peleton) Latief Hendraningrat, petugas protokoler istana. Ilyas yang kala itu baru berumur 18 tahun kemudian diminta berdiri tak jauh dari tiang bendera. “Dik, kamu nanti jadi pengibar bendera. Hati-hati, ya, nanti memegangnya, jangan sampai sobek, (bendera) ini cuma dijahit dengan tangan oleh Bu Fatmawati,” ungkap Ilyas, menirukan pesan Sudanco Latief, waktu itu.
Tidak ada latihan, tidak ada pula geladi resik. Sebab, tidak lama setelah dirinya ditunjuk, prosesi proklamasi kemerdekaan langsung dimulai. “Sampai sekarang pun saya tidak tahu mengapa pilihannya ke saya. Mungkin karena saya termasuk yang paling muda, ya, saat itu,” katanya, lantas tersenyum.
Seperti tampak pada foto yang dijumpai dalam buku-buku sejarah perjuangan, ada dua pengibar bendera saat hari proklamasi itu. Selain Ilyas, pengibar bendera adalah Sudanco Singgih. Keduanya dikelilingi Soekarno, M. Hatta, Fatmawati, dan Rahmi Hatta. Pemuda pengibar bendera yang bercelana pendek dan membelakangi kamera itulah Ilyas Karim.
Di antara enam orang yang ada di foto tersebut, tinggal Ilyas yang masih hidup hingga saat ini. “Bahkan, dari semua yang hadir di rumah Bung Karno waktu itu pun mungkin tinggal saya yang masih diberi umur panjang,” imbuh Ilyas.
Meski memiliki peran nyata saat proklamasi kemerdekaan, kehidupan Ilyas saat ini bisa dikatakan memprihatinkan. Dia kini tinggal di rumah yang terletak di perkampungan padat di pinggiran jalur rel kereta api di Kalibata, Jakarta Selatan. Tepatnya, di Jalan Rawajati Barat, sekitar 100 meter dari Stasiun Kalibata.
Di rumah bercat biru yang sudah kusam itulah Ilyas menghabiskan sisa hidupnya bersama istri. Bangunan sederhana yang kulit temboknya sudah banyak mengelupas itu berukuran sekitar 10 x 7 meter.
Masuk ke dalam rumah, di ruang tamu yang menyatu dengan ruang tengah tertempel banyak foto di beberapa bagian dinding. Sebagian besar tanpa pigura. Foto-foto itu hanya dilapisi plastik bening dan ditempel seadanya dengan selotip.
Sebagian besar merupakan foto kenangan bersama rekan-rekannya sesama veteran maupun sejumlah tokoh negeri ini. Termasuk di dalamnya foto bersama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. “Ini waktu dia (SBY, Red) belum jadi presiden, waktu minta dukungan jaringan veteran untuk maju capres 2004 lalu,” tutur Ilyas.
Dia lantas menceritakan, kepindahan keluarganya ke rumah di sebelah rel kereta api itu. Berawal dari penggusuran paksa dirinya dan keluarga dari tempat tinggal di Asrama Siliwangi, Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Peristiwa itu terjadi pada 1982. Kini di lokasi asrama itu berdiri Kantor Kementerian Keuangan. “Kami diusir saat itu, bukan digusur. Sebab, memang tidak ada uang pengganti sama sekali yang kami terima,” tegasnya.
Bahkan, tidak banyak barang yang bisa diselamatkan saat hari H pengusiran. Saat itu konsentrasi keluarga terpecah. Ilyas dirawat di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta, karena terkena penyakit jantung. Meski diiringi isak tangis, buldoser terus meratakan bangunan yang ada tanpa bisa dikompromikan lagi. “Tidak ada yang berani melawan karena kondisi politik dan keamanan saat itu tidak seperti sekarang,” imbuh bapak 14 anak tersebut.
Bersama keluarga, Ilyas lantas menumpang di rumah rekannya di kawasan Jalan Pramuka, selama beberapa bulan. Dari situlah dirinya kemudian tinggal di Kalibata sampai sekarang. Saat berjalan-jalan di kawasan yang terkenal dengan keberadaan Taman Makam Pahlawan tersebut, dia melihat lahan kosong yang dipenuhi ilalang di sepanjang rel.
Dia lalu menemui kepala PT KA setempat untuk minta izin mendirikan bangunan di lokasi tersebut. “Tapi, bukan hak milik, kami hanya pinjam. Karena itu, sampai sekarang saya terus dibayang-bayangi ancaman penggusuran,” kata Ilyas.
Lalu ke mana anak-anak? Mengapa tidak tinggal bersama mereka?
Dia mengungkapkan, anak-anaknya telah memiliki rumah sendiri-sendiri dan tersebar di berbagai daerah. Bukan hanya di Jakarta, tapi ada yang di Medan, Padang, Pekanbaru, dan Semarang. Bahkan, ada pula yang menikah dengan orang Jerman dan tinggal di sana. “Hampir semua mengajak tinggal bersama, tapi saya yang tidak mau,” ujar kakek 28 cucu tersebut.
Ilyas beralasan, kalau ikut bersama anak-anaknya, dirinya akan sangat terbatas dalam melakoni aktivitas kemasyarakatan yang masih dijalani sampai sekarang. “Saya ini pejuang dan ingin tetap berjuang sampai saya mati nanti,” tandas purnawirawan berpangkat terakhir letkol TNI tersebut.
Sejak 1996 Ilyas menjabat ketua Pengurus Pusat Yayasan Pejuang Siliwangi Indonesia (Yapsi). Yayasan itu memiliki cabang di 14 provinsi, seperti di Medan, Riau, Jambi, Palembang, Banten, dan Ambon. Selain dijadikan wadah bagi para mantan pejuang Siliwangi dan keluarga, yayasan tersebut bergerak di bidang sosial. Di antaranya, memberikan santunan dan pengobatan gratis bagi warga tidak mampu.
Itulah aktivitas yang masih dilakoni Ilyas sampai sekarang. “Tidak tiap hari sih ke kantor, paling dalam seminggu 2 hingga 3 hari. Itung-itung olahraga naik turun angkot,” katanya, lantas terkekeh.
Siliwangi memang memiliki arti khusus bagi Ilyas Karim. Setelah memutuskan bergabung menjadi anggota Badan Keamanan Rakyat (BKR), dia turut berperan dalam pembentukan Divisi Siliwangi yang saat ini bernama Kodam Siliwangi.
Pada 20 Mei 1946 A.H. Nasution mengundang sejumlah perwakilan BKR dari beberapa wilayah, seperti Jakarta, Banten, Bogor, dan Cirebon. Agenda khususnya adalah pembentukan divisi baru. “Kebetulan saya yang mengusulkan nama Siliwangi ke Pak Nasution dan beliau setuju,” kata Ilyas.
Sebagian besar karir ketentaraan Ilyas juga dihabiskan di Divisi Siliwangi. Beberapa tugas seperti penumpasan Darul Islam di Jawa Barat dan Aceh, penumpasan PRRI di Pekan Baru, dan operasi Seroja di Timor Timur sempat dilakoninya.
Pengalaman terlibat dalam pasukan perdamaian PBB juga beberapa kali dijalaninya. Yaitu, ikut masuk dalam misi perdamaian di Kongo, Vietnam, dan Lebanon.
Pada 1980 Ilyas pensiun dari dinas militer. Selain menyandang pangkat terakhir letkol TNI (pur), atas jasa baktinya kepada negara, gelar veteran pejuang kemerdekaan golongan A juga disandangnya. Meski demikian, jangan membayangkan Ilyas berlimpah tunjangan maupun penghormatan yang lain dari negara. Sebagai veteran, dia berhak menerima uang tunjangan Rp 500 ribu per bulan. Lalu, sebagai pensiunan TNI-AD, dia menerima Rp 1,5 juta per bulan.
Namun, karena peraturan pemerintah terakhir, Ilyas tidak bisa menerima keduanya sekaligus. Dia harus memilih, mengambil tunjangan veteran atau uang pensiun TNI-AD. “Ya, saya memilih mengambil uang pensiunan saja,” ujar Ilyas. (*)