26.7 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Militan di Marawi Kirim Video Pastor yang Disandera

Warga desa mengacungkan tanda perdamaian saat militer Filipina datang di pinggiran kota Marawi, Filipina selatan, Selasa (30/5).

SUMUTPOS.CO – Seorang Pastor Katolik yang disandera oleh militan terkait kelompok ISIS mengatakan ia ditahan bersama sekitar 200an orang lainnya – termasuk anak-anak – di kota yang porak-peranda karena perang di bagian selatan Filipina.

Dalam video yang tampaknya dibuat dengan tekanan militan, Romo Teresito Suganob mengatakan orang-orang yang menculiknya ingin agar militer menarik mundur pasukannya dari Marawi, di mana pemberontak masih menguasai beberapa kantong perlawanan setelah pertempuran melawan tentara selama satu minggu.

Seorang rekan Suganob memastikan pada Associated Press bahwa laki-laki yang ada dalam video itu adalah Romo Suganob.Tidak jelas kapan video itudibuat atau dipasang di internet, dan apakah Suganob benar-benar percaya apa yang dikatakannya atau ia dipaksa mengatakan hal itu.

“Kami ingin hidup sehari lagi, kami ingin hidup sebulan lagi,” ujar Suganob, yang berdiri di depan puing-puing reruntuhan bangunan yang terbakar.

Dalam pernyataan yang ditujukan pada Presiden Filipina Rodrigo Duterte, Suganob mengatakan, “Kami ingin hidup beberapa tahun lagi dan dengan kemurahan hati Bapak Presiden, kami tahu Anda bisa melakukan sesuatu.”

Uskup Marawi Edwin de la Pena memastikan bahwa laki-laki yang berada dalam video itu adalah Romo Suganob.

Pakar-pakar dan jajak pendapat menunjukkan, gelombang aksi kekerasan di selatan Filipina yang bergolak itu tampaknya akan mendekatkan rakyat biasa pada Presiden Duterte, karena mereka melihat kerusuhan itu sebagai akibat sengketa selama lima puluh tahun.

Warga Filipina sudah terbiasa dengan aksi kekerasan di bagian barat daya Filipina, termasuk di Pulau Mindanao di mana pekan lalu tentara memerangi militan di kota Marawi, yang menewaskan lebih dari 100 orang – termasuk 24 warga sipil.

Tetapi mereka menilai keterbelakangan pembangunan ekonomi di Mindanao dibanding sebagian besar wilayah Filipina lainnya, sebagian karena risiko keamanan.

“Ini bukan pertempuran yang mudah. Musuh kita adalah teroris,” ujar Wakil Presiden Leni Robredo yang dipilih secara terpisah tahun lalu dan kerap mengkritisi kebijakan Presiden Rodrigo Duterte.

“Inilah saatnya bagi kita untuk bersatu,” ujar Robredo pekan lalu pada wartawan di markas tentara. “Ini saat di mana kita perlu melindungi keamanan negara ini.Ini bukan saatnya melakukan perpecahan,” tambahnya.

Warga Mindanao yang berjumlah 21 juta orang pada umumnya telah mendukung peningkatan upaya yang dilakukan Duterte pada tahun pertamanya, untuk mengusir Abu Sayyaf – kelompok pemberontak yang terdiri dari sekitar 400 orang, yang dikenal kerap menculik warga asing dan telah memenggal tiga sandera dalam 14 bulan terakhir ini.

Meskipun ditentang sebagian anggota parlemen, Duterte pekan lalu memberlakukan keadaan darurat militer di Mindanao hingga pemberitahuan lebih lanjut; dan rakyat diharapkan mendukung kebijakan ini, ujar Eduardo Araral, pengamat politik di Universitas Nasional Singapura.

“Duterte tahu sesuatu tentang kelompok yang terinspirasi ISIS ini, yang tidak diketahui banyak orang; dan mereka tidak saja berada di kota Marawi tetapi mungkin memiliki sel-sel tidur di kota-kota lain di Mindanao. Rakyat tidak angkat senjata menentang keputusan keadaan darurat militer itu. Saya kira mereka percaya bahwa Duterte tahu apa yang dilakukannya,” ujarnya.

Duterte yang warga asal Mindanao mendorong munculnya harapan untuk meredam pergolakan ketika ia mulai menjabat Juni 2016 lalu. Ia mengusulkan sistem pemerintahan federal yang bisa memberi peluang lebih besar bagi warga Muslim di tanah kelahiran mereka.

Upaya pembagian otonomi Duterte itu tampaknya akan ditentang kongres karena warga di sebagian besar daerah masih terlibat perselisihan untuk memberikan hak atas tanah pada kelompok-kelompok Muslim itu, demikian pendapat para analis.Sebagian yang menentang kebijakan itu tinggal di Mindanao dan membenci kelompok-kelompok Muslim karena aksi kekerasan yang mereka lakukan.

Pertarungan melawan kelompok-kelompok pemberontak Muslim sejak tahun 1960an telah menewaskan sekitar 120 ribu orang. Isu-isu keamanan telah membuat pertumbuhan ekonomi pulau yang kaya sumber daya itu tertinggal dan miskin.  (voa)

Warga desa mengacungkan tanda perdamaian saat militer Filipina datang di pinggiran kota Marawi, Filipina selatan, Selasa (30/5).

SUMUTPOS.CO – Seorang Pastor Katolik yang disandera oleh militan terkait kelompok ISIS mengatakan ia ditahan bersama sekitar 200an orang lainnya – termasuk anak-anak – di kota yang porak-peranda karena perang di bagian selatan Filipina.

Dalam video yang tampaknya dibuat dengan tekanan militan, Romo Teresito Suganob mengatakan orang-orang yang menculiknya ingin agar militer menarik mundur pasukannya dari Marawi, di mana pemberontak masih menguasai beberapa kantong perlawanan setelah pertempuran melawan tentara selama satu minggu.

Seorang rekan Suganob memastikan pada Associated Press bahwa laki-laki yang ada dalam video itu adalah Romo Suganob.Tidak jelas kapan video itudibuat atau dipasang di internet, dan apakah Suganob benar-benar percaya apa yang dikatakannya atau ia dipaksa mengatakan hal itu.

“Kami ingin hidup sehari lagi, kami ingin hidup sebulan lagi,” ujar Suganob, yang berdiri di depan puing-puing reruntuhan bangunan yang terbakar.

Dalam pernyataan yang ditujukan pada Presiden Filipina Rodrigo Duterte, Suganob mengatakan, “Kami ingin hidup beberapa tahun lagi dan dengan kemurahan hati Bapak Presiden, kami tahu Anda bisa melakukan sesuatu.”

Uskup Marawi Edwin de la Pena memastikan bahwa laki-laki yang berada dalam video itu adalah Romo Suganob.

Pakar-pakar dan jajak pendapat menunjukkan, gelombang aksi kekerasan di selatan Filipina yang bergolak itu tampaknya akan mendekatkan rakyat biasa pada Presiden Duterte, karena mereka melihat kerusuhan itu sebagai akibat sengketa selama lima puluh tahun.

Warga Filipina sudah terbiasa dengan aksi kekerasan di bagian barat daya Filipina, termasuk di Pulau Mindanao di mana pekan lalu tentara memerangi militan di kota Marawi, yang menewaskan lebih dari 100 orang – termasuk 24 warga sipil.

Tetapi mereka menilai keterbelakangan pembangunan ekonomi di Mindanao dibanding sebagian besar wilayah Filipina lainnya, sebagian karena risiko keamanan.

“Ini bukan pertempuran yang mudah. Musuh kita adalah teroris,” ujar Wakil Presiden Leni Robredo yang dipilih secara terpisah tahun lalu dan kerap mengkritisi kebijakan Presiden Rodrigo Duterte.

“Inilah saatnya bagi kita untuk bersatu,” ujar Robredo pekan lalu pada wartawan di markas tentara. “Ini saat di mana kita perlu melindungi keamanan negara ini.Ini bukan saatnya melakukan perpecahan,” tambahnya.

Warga Mindanao yang berjumlah 21 juta orang pada umumnya telah mendukung peningkatan upaya yang dilakukan Duterte pada tahun pertamanya, untuk mengusir Abu Sayyaf – kelompok pemberontak yang terdiri dari sekitar 400 orang, yang dikenal kerap menculik warga asing dan telah memenggal tiga sandera dalam 14 bulan terakhir ini.

Meskipun ditentang sebagian anggota parlemen, Duterte pekan lalu memberlakukan keadaan darurat militer di Mindanao hingga pemberitahuan lebih lanjut; dan rakyat diharapkan mendukung kebijakan ini, ujar Eduardo Araral, pengamat politik di Universitas Nasional Singapura.

“Duterte tahu sesuatu tentang kelompok yang terinspirasi ISIS ini, yang tidak diketahui banyak orang; dan mereka tidak saja berada di kota Marawi tetapi mungkin memiliki sel-sel tidur di kota-kota lain di Mindanao. Rakyat tidak angkat senjata menentang keputusan keadaan darurat militer itu. Saya kira mereka percaya bahwa Duterte tahu apa yang dilakukannya,” ujarnya.

Duterte yang warga asal Mindanao mendorong munculnya harapan untuk meredam pergolakan ketika ia mulai menjabat Juni 2016 lalu. Ia mengusulkan sistem pemerintahan federal yang bisa memberi peluang lebih besar bagi warga Muslim di tanah kelahiran mereka.

Upaya pembagian otonomi Duterte itu tampaknya akan ditentang kongres karena warga di sebagian besar daerah masih terlibat perselisihan untuk memberikan hak atas tanah pada kelompok-kelompok Muslim itu, demikian pendapat para analis.Sebagian yang menentang kebijakan itu tinggal di Mindanao dan membenci kelompok-kelompok Muslim karena aksi kekerasan yang mereka lakukan.

Pertarungan melawan kelompok-kelompok pemberontak Muslim sejak tahun 1960an telah menewaskan sekitar 120 ribu orang. Isu-isu keamanan telah membuat pertumbuhan ekonomi pulau yang kaya sumber daya itu tertinggal dan miskin.  (voa)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/