29 C
Medan
Saturday, November 23, 2024
spot_img

Langgengkan Kawin Paksa Capres

Ketua DPR Setya Novanto didampingi wakil ketua Fahri Hamzah menyerahkan draf RUU Pemilu yang baru disahkan kepada Mendagri Tjahjo Kumolo, Jumat (21/7) dini hari.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Pemerintah bersama DPR RI akhirnya mengesahkan Undang-Undang (UU) Penyelenggaraan Pemilu setelah melalui pembahasan berbulan-bulan dan diwarnai aksi meninggalkan ruang sidang paripurna alias walk out oleh empat fraksi. Ahli Hukum Tata Negara A Irmanputra Sidin mengatakan, UU Pemilu dengan menerapkan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold 20 persen sampai 25 persen jelas-jelas melanggar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 dan Pasal 6A ayat 2 UUD 1945 yang menyebut bahwa setiap partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan calon presiden.

“Kami saat itu terlibat langsung membidani pengajuan permohonan pengujian UU Pemilu di MK. Agar Pemilu dilakukan secara serentak yang akhirnya dikabulkan oleh MK,” jelasnya kepada wartawan, Jumat (21/7).

Irman menjelaskan, putusan MK sebenarnya telah menyatakan, ambang batas pencalonan presiden bagi Parpol tidak ada hubungannya dengan penguatan sistem presidensil. Terlihat dalam penyelenggaraan Pilpres 2004 dan 2009 bahwa untuk mendapatkan dukungan demi keterpilihan calon presiden, jika terpilih maka calon presiden terpaksa harus melakukan negosiasi dan tawar-menawar atau bargaining politik terlebih dahulu dengan parpol. Hal itu yang sangat mempengaruhi jalannya roda pemerintahan di kemudian hari.

“Negosiasi dan tawar-menawar tersebut pada kenyataannya lebih banyak bersifat taktis dan sesaat daripada bersifat strategis dan jangka panjang. Misalnya karena persamaan garis perjuangan partai politik jangka panjang. Oleh karena itu, presiden pada faktanya menjadi sangat tergantung pada partai-partai politik yang dapat mereduksi posisi presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan,” paparnya.

Dengan demikian, syarat ambang batas pencapresan yang telah diputuskan DPR dan pemerintah sebenarnya adalah syarat untuk menyandera presiden yang berkuasa yang justru melemahkan kekuasaan presidensil. Ambang batas sesungguhnya ingin melanggengkan fenomena kawin paksa calon presiden, mengingat hak setiap parpol sebagai peserta pemilu untuk mengajukan pasangan calon presiden telah dilanggar. Sehingga pilihan pasangan calon presiden akan semakin mempersempit menu prasmanan dari setiap parpol.

Lebih dari itu, parpol yang memperoleh kursi DPR RI pada Pemilu 2014 tidak serta merta akan mendapatkan kursi lagi pada Pemilu 2019 nanti. Sehingga, intensi penguatan presidensil, tidak linear terjadi alias bertentangan dengan dirinya sendiri atau contra legem yang justru menyandera dan melemahkan kekuasaan presiden yang sudah dipilih oleh rakyat. “Oleh karenanya ambang batas ini adalah inkonstitusional,” tegas Irman.

Ketua DPR Setya Novanto didampingi wakil ketua Fahri Hamzah menyerahkan draf RUU Pemilu yang baru disahkan kepada Mendagri Tjahjo Kumolo, Jumat (21/7) dini hari.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Pemerintah bersama DPR RI akhirnya mengesahkan Undang-Undang (UU) Penyelenggaraan Pemilu setelah melalui pembahasan berbulan-bulan dan diwarnai aksi meninggalkan ruang sidang paripurna alias walk out oleh empat fraksi. Ahli Hukum Tata Negara A Irmanputra Sidin mengatakan, UU Pemilu dengan menerapkan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold 20 persen sampai 25 persen jelas-jelas melanggar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 dan Pasal 6A ayat 2 UUD 1945 yang menyebut bahwa setiap partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan calon presiden.

“Kami saat itu terlibat langsung membidani pengajuan permohonan pengujian UU Pemilu di MK. Agar Pemilu dilakukan secara serentak yang akhirnya dikabulkan oleh MK,” jelasnya kepada wartawan, Jumat (21/7).

Irman menjelaskan, putusan MK sebenarnya telah menyatakan, ambang batas pencalonan presiden bagi Parpol tidak ada hubungannya dengan penguatan sistem presidensil. Terlihat dalam penyelenggaraan Pilpres 2004 dan 2009 bahwa untuk mendapatkan dukungan demi keterpilihan calon presiden, jika terpilih maka calon presiden terpaksa harus melakukan negosiasi dan tawar-menawar atau bargaining politik terlebih dahulu dengan parpol. Hal itu yang sangat mempengaruhi jalannya roda pemerintahan di kemudian hari.

“Negosiasi dan tawar-menawar tersebut pada kenyataannya lebih banyak bersifat taktis dan sesaat daripada bersifat strategis dan jangka panjang. Misalnya karena persamaan garis perjuangan partai politik jangka panjang. Oleh karena itu, presiden pada faktanya menjadi sangat tergantung pada partai-partai politik yang dapat mereduksi posisi presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan,” paparnya.

Dengan demikian, syarat ambang batas pencapresan yang telah diputuskan DPR dan pemerintah sebenarnya adalah syarat untuk menyandera presiden yang berkuasa yang justru melemahkan kekuasaan presidensil. Ambang batas sesungguhnya ingin melanggengkan fenomena kawin paksa calon presiden, mengingat hak setiap parpol sebagai peserta pemilu untuk mengajukan pasangan calon presiden telah dilanggar. Sehingga pilihan pasangan calon presiden akan semakin mempersempit menu prasmanan dari setiap parpol.

Lebih dari itu, parpol yang memperoleh kursi DPR RI pada Pemilu 2014 tidak serta merta akan mendapatkan kursi lagi pada Pemilu 2019 nanti. Sehingga, intensi penguatan presidensil, tidak linear terjadi alias bertentangan dengan dirinya sendiri atau contra legem yang justru menyandera dan melemahkan kekuasaan presiden yang sudah dipilih oleh rakyat. “Oleh karenanya ambang batas ini adalah inkonstitusional,” tegas Irman.

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/