25 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Tak Setuju, Tapi Plt Bupati Hadir

BERSAMA: Plt Bupati Batubara H RM Harry Nugroho bersama Kepala BPMD Batubara M Nasir, diabadikan bersama para kepala desa pada acara penutupan Bimtek 2017di Hotel Golden Flower Kota Bandung.

BATUBARA, SUMUTPOS.CO -Kontroversi kegiatan bimbingan teknik (bimtek) yang diikuti 141 kepala desa se-Kabupaten Batubara dengan Lembaga Kajian Implementasi Pemerintahan Dalam Negeri (LKIPDN) di Jalan Pulotanjung No 28A, Grogol Utara, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, kini menjadi tren topik pembicaraan publik, baik di lembaga legislatif, swadaya masyarakat, dan masyarakat umum lainnya.

Terkait keberangkatan sekitar 141 kepala desa yang dilaksanakan di satu hotel ternama dikawasan Jalan Asia Afrika Kota Bandung, 16-20 Oktober lalu ini, dipandang terlalu berlebihan dan terkesan pemborosan.

“Perlu dipertanyakan kegiatan yang dibungkus dengan sebutan Bimtek itu. Kenapa tidak dilaksanakan di daerah sendiri, seperti di Parapat, Danau Toba, atau bisa saja di Kota Medan? Tentunya kalau di situ (daerah sendiri), bisa irit dan lebih efesien. Dan semua pihak menduga anggaran yang dikeluarkan disinyalir berasal dari dana desa,” tutur politis Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Citra Mulyadi Bangun, Minggu (22/10).

Menurut Citra, walaupun Permendes Nomor 4 Tahun 2017 tidak melarang penggunaan dana desa untuk melaksanakan atau mengikuti Bimtek, namun tidaklah serta merta anggaran itu dikeluarkan tanpa memandang kepatutan dan batas yang sewajarnya. “Saya dengar per kepala desa dikutip oleh seorang koordinator yang telah ditunjuk, yakni seorang kepala desa juga. Setelah terkumpul, diserahkan ke Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD). Informasinya, per kepala desa dikutip Rp11,5 juta,” bebernya.

Menurut Anggota DPRD Batubara ini, selayaknya kegiatan bimtek yang bertajuk ‘Peningkatan Kapasitas Pemerintah Desa dalam Memberikan Pelayanan dan Efektivitas Pemerintahan Desa dalam Perencanaan dan Pengelolaan Keuangan Desa Tahun 2017’ ini, dilaksanakan di Kabupaten Batubara saja, atau di Parapat, Danau Toba, dan Kota Medan, seperti yang dilakukan Kabupaten Asahan, agar pemakaian anggaran efektif dan terukur. “Dan perlu dipertanyakan, siapa oknum yang menetapkan lokasi bimtek di Hotel Golden Flower Bandung itu? Agar diperiksa oleh aparatur hukum, tentang dasar pelaksanaan bimtek itu, dan tempat pelaksanaannya,” tegas Citra.

Lain halnya dengan pendapat tokoh masyakat Batubara H Herman. Ia mengatakan, pelaksanaan bimtek di Bandung disinyalir proyek siluman BPMD untuk mencari keuntungan pribadi sejumlah oknum yang berkantor di BPMD. Mereka terkesan memenuhi hawa nafsu untuk mengajak jalan-jalan para kepala desa berdarmawisata keluar Sumut, dengan sampul bimtek. “Saya pribadi menilai, kurang tepat saat ini mereka mengikuti atau melaksanakan kegiatan itu, di saat kepemerintahan ini dalam masa transisi dari bupati ke plt bupati. Begitu juga seluruh desa di Kabupaten Batubara, masih sangat memerlukan anggaran yang tidak sedikit untuk kepentingan masyarakatnya, seperti air, jalan desa, dan sebagainya. Dan ini dinilai sudah melampaui batas toleransi. Tapi kalau di daerah sendiri, atau di sekitar Medan dan Parapat, masih dapat dikatakan wajar,” jelasnya.

BERSAMA: Plt Bupati Batubara H RM Harry Nugroho bersama Kepala BPMD Batubara M Nasir, diabadikan bersama para kepala desa pada acara penutupan Bimtek 2017di Hotel Golden Flower Kota Bandung.

BATUBARA, SUMUTPOS.CO -Kontroversi kegiatan bimbingan teknik (bimtek) yang diikuti 141 kepala desa se-Kabupaten Batubara dengan Lembaga Kajian Implementasi Pemerintahan Dalam Negeri (LKIPDN) di Jalan Pulotanjung No 28A, Grogol Utara, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, kini menjadi tren topik pembicaraan publik, baik di lembaga legislatif, swadaya masyarakat, dan masyarakat umum lainnya.

Terkait keberangkatan sekitar 141 kepala desa yang dilaksanakan di satu hotel ternama dikawasan Jalan Asia Afrika Kota Bandung, 16-20 Oktober lalu ini, dipandang terlalu berlebihan dan terkesan pemborosan.

“Perlu dipertanyakan kegiatan yang dibungkus dengan sebutan Bimtek itu. Kenapa tidak dilaksanakan di daerah sendiri, seperti di Parapat, Danau Toba, atau bisa saja di Kota Medan? Tentunya kalau di situ (daerah sendiri), bisa irit dan lebih efesien. Dan semua pihak menduga anggaran yang dikeluarkan disinyalir berasal dari dana desa,” tutur politis Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Citra Mulyadi Bangun, Minggu (22/10).

Menurut Citra, walaupun Permendes Nomor 4 Tahun 2017 tidak melarang penggunaan dana desa untuk melaksanakan atau mengikuti Bimtek, namun tidaklah serta merta anggaran itu dikeluarkan tanpa memandang kepatutan dan batas yang sewajarnya. “Saya dengar per kepala desa dikutip oleh seorang koordinator yang telah ditunjuk, yakni seorang kepala desa juga. Setelah terkumpul, diserahkan ke Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD). Informasinya, per kepala desa dikutip Rp11,5 juta,” bebernya.

Menurut Anggota DPRD Batubara ini, selayaknya kegiatan bimtek yang bertajuk ‘Peningkatan Kapasitas Pemerintah Desa dalam Memberikan Pelayanan dan Efektivitas Pemerintahan Desa dalam Perencanaan dan Pengelolaan Keuangan Desa Tahun 2017’ ini, dilaksanakan di Kabupaten Batubara saja, atau di Parapat, Danau Toba, dan Kota Medan, seperti yang dilakukan Kabupaten Asahan, agar pemakaian anggaran efektif dan terukur. “Dan perlu dipertanyakan, siapa oknum yang menetapkan lokasi bimtek di Hotel Golden Flower Bandung itu? Agar diperiksa oleh aparatur hukum, tentang dasar pelaksanaan bimtek itu, dan tempat pelaksanaannya,” tegas Citra.

Lain halnya dengan pendapat tokoh masyakat Batubara H Herman. Ia mengatakan, pelaksanaan bimtek di Bandung disinyalir proyek siluman BPMD untuk mencari keuntungan pribadi sejumlah oknum yang berkantor di BPMD. Mereka terkesan memenuhi hawa nafsu untuk mengajak jalan-jalan para kepala desa berdarmawisata keluar Sumut, dengan sampul bimtek. “Saya pribadi menilai, kurang tepat saat ini mereka mengikuti atau melaksanakan kegiatan itu, di saat kepemerintahan ini dalam masa transisi dari bupati ke plt bupati. Begitu juga seluruh desa di Kabupaten Batubara, masih sangat memerlukan anggaran yang tidak sedikit untuk kepentingan masyarakatnya, seperti air, jalan desa, dan sebagainya. Dan ini dinilai sudah melampaui batas toleransi. Tapi kalau di daerah sendiri, atau di sekitar Medan dan Parapat, masih dapat dikatakan wajar,” jelasnya.

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/