25 C
Medan
Tuesday, November 26, 2024
spot_img

Terus Melawan, Antasari Azhar Luncurkan Buku dari Balik Penjara

Dikawal Tiga Srikandi, Mengaku Dekat Keluarga Cendana

Perlawanan mantan Ketua KPK Antasari Azhar belum berakhir. Setelah mengajukan peninjauan kembali (PK), sosok kontroversial itu akan menerbitkan sejumlah buku karangannya dari balik penjara. Salah satu buku diluncurkan kemarin (15/9) di Jakarta. Judulnya: Testimoni Antasari Azhar untuk Hukum dan Keadilan.

AGUNG PUTU-SEKARING R., Jakarta

Antasari Azhar dan keluarga Cendana ternyata memiliki hubungan yang cukup baik. Bahkan, Antasari sangat menghormati sosok almarhum mantan Presiden Soeharto. Karena itu, tidak heran jika dia mendukung pembatalan semua proses hukum terhadap Soeharto dan menganggap biasa gagalnya eksekusi terhadap Tommy Soeharto.
Sebelum menjadi ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Antasari malang melintang menjadi jaksa. Namanya mencuat saat menjabat kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Selatan. Namun, mencuatnya nama Antasari bukan karena prestasi, tapi karena kegagalannya mengeksekusi Tommy Soeharto yang kabur duluan setelah grasinya ditolak Presiden Abdurrahman Wahid.

Tommy ketika itu menjadi terpidana kasus korupsi tukar guling Goro-Bulog  Pada 27 September 2000, Mahkamah Agung (MA) dalam putusan kasasinya menyatakan Tommy serta Ricardo Gelael bersalah dan dihukum 18 bulan penjara dengan ganti rugi Rp 30,6 miliar serta denda Rp 10 juta. Seminggu setelah itu, Tommy dan Ricardo mengajukan grasi, tapi ditolak.

Karena grasi sudah ditolak, putusan kasasi sudah berkekuatan hukum tetap alias inkracht. Tommy harus dibui. Namun, karena terlau sore mendatangi rumah Tommy, Kejari Jakarta Selatan gagal menyeret Tommy ke hotel prodeo. Antasari malah menyalahkan media karena terlalu cepat memberitakan penolakan grasi Tommy.

“Saya baru menerima putusan pengadilan atas perkara Tommy pukul lima sore. Sebelum pukul lima sore, koran sudah memuat Tommy dihukum. Sebelum saya turun ke lapangan, Tommy sudah tidak ada di rumah. Dia pergi karena koran sudah memberitakan duluan bahwa Tommy dihukum,” kata Antasari dalam buku tersebut.

Antasari kembali berurusan dengan keluarga Cendana pada 2001. Ketika itu, mantan Presiden Soeharto akan dibawa ke meja hijau terkait kasus-kasus korupsi. Namun, kasus tersebut akhirnya tidak dilanjutkan karena tim kedokteran yang ditunjuk Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan menyatakan Soeharto menderita kerusakan otak permanen.

“Saya melihat dan yakin apa yang dikatakan dokter tentang sakit permanen. Dokter menyatakan A, Pak Harto menjawab B. Saat itu, rasa keadilan saya tersentuh. Hukum tidak berhenti pada kebenaran, tapi bermuara pada keadilan,” tulisnya.

Antasari saat itu memang terlibat dalam pusaran kasus keluarga Cendana. Sebab, pada kurun 2000-2007, dia menjadi kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. Bahkan, saat hendak memeriksa Soeharto, dia dipaksa Tutut (putri sulung Soeharto) untuk menandatangani surat kesediaan bertanggung jawab jika terjadi apa-apa terhadap Soeharto.

“Di situlah saya melihat dan menyaksikan. Dari rumah di Jalan Cendana, saya didampingi Tutut. Saya jemput Pak Harto, saya ketok kamarnya. Setelah saya lihat kondisi Pak Harto, nurani saya muncul,” ungkapnya dalam buku tersebut.

Kedekatan dengan keluarga Cendana hanya sekelumit kisah yang dibeberkan Antasari dalam buku yang dia tulis. Buku setebal 539 halaman itu diluncurkan kemarin di hall Arifin Panigoro di Universitas Al Azhar, Jakarta Selatan. Antasari tidak hadir karena harus dibui di Lapas Kelas I Tangerang. Dia diwakili istrinya, Ida Laksmiwati, serta dua putrinya, Andita Dianoctora Antasariputri dan Ajeng Oktarifka Antasariputri.

Hadir pula dalam peluncuran buku tersebut advokat Maqdir Ismail, artis Pong Hardjatmo, politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Fachry Hamzah, politikus Hati Nurani Rakyat (Hanura) Akbar Faisal dan Permadi, serta Jimly Asshiddiqie.

Jimly menjadi satu-satunya pembicara dalam acara peluncuran buku tersebut. Dia kembali menegaskan bahwa Antasari tidak bersalah. Mantan jaksa kelahiran Pangkal Pinang, Bangka, itu adalah korban peradilan sesat. “Kalau saya jadi hakimnya, saya akan bebaskan Antasari karena memang dia sama sekali tidak bersalah,” tegas Jimly lantas disambut tepuk tangan hadirin.

Sayangnya, buku tersebut tidak ditulis Antasari sendiri. Buku itu ditulis Servas Pandur dengan menuliskan kutipan-kutipan dari Antasari melalui wawancara di Lapas Tangerang.

Ida Laksmiwati menyatakan, Servas hanya membantu menulis. Semua bahan dan draf tulisan berasal dari Antasari. “Sebab, kan di penjara tidak bisa membawa komputer. Semua bahan ditulis bapak di kertas selama enam bulan di penjara. Kertas-kertas itu kemudian diverifikasi dengan data dan ditulis ulang,” jelasnya.

Masih banyak kisah lainnya. Yang paling seru tentu saja dugaan rekayasa kasus pembunuhan bos PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen. Karena dianggap aktor intelektual, Antasari diganjar hukuman 18 tahun penjara.

Sebelum ditahan, ada beberapa kasus yang ditangani Antasari saat masih menjabat ketua KPK. Di antaranya, kasus pengadaan alat penghitungan suara cepat di Komisi Pemilihan Umum (KPU) serta dugaan pejabat KPK yang menerima suap. “Saya tidak tahu yang terlibat dalam kasus IT KPU itu siapa. Tiba-tiba saja saya sudah ditahan,” tulisnya.

Buku tersebut menjadi media pembelaan Antasari. Selain kedekatan dengan keluarga Cendana, dia mengungkapkan kronologi rekayasa kasus Bibit-Chandra yang heboh dengan cicak versus buaya serta kejanggalan-kejanggalan pembunuhan Nasrudin.

Dalam kasus Bibit-Chandra, Antasari kembali menyatakan bahwa rekaman pembicaraan dengan Anggoro Widjojo di Singapura tidak menyebut nama dua komisioner KPK itu sebagai penerima suap, tapi oknum berinisial AR dan MJ.

Dalam wawancara Jawa Pos (Grup Sumut Pos) dengan Antasari di Lapas Tangerang, dia tidak menyalahkan saat Jawa Pos menyebut dua oknum itu adalah Ade Rahardja (deputi penindakan KPK) dan M Jasin, salah seorang pimpinan KPK. “Saya baru mau kumpulkan bukti, ternyata saya sudah ditahan,” kata Antasari.

Ida menuturkan, buku tersebut hanyalah awal. Suaminya masih menyiapkan seri buku-buku lainnya. Tapi, temanya tidak akan serius seperti buku yang sekarang. “Masih ada tiga lainnya. Tapi, nanti isinya tentang komedi,” ungkap perempuan kelahiran Malang, Jawa Timur, itu.

Peluncuran buku tersebut juga menjadi penanda kekompakan keluarga Antasari setelah sang kepala keluarga dipenjara. Sebab, hampir semua teknis penerbitan dan peluncuran dikerjakan dua putri Antasari, Andita, 27, dan Ajeng, 25. Mereka berdua harus hilir mudik mengurusi undangan, stok buku di toko-toko, dan launching kemarin (15/9). “Kami dibantu teman-teman papa juga. Kebetulan, yang punya penerbit ini teman papa,” kata Ajeng.

Ida, Andita, dan Ajeng kini menjadi tiga srikandi pembela Antasari. Mereka bertiga saling berbagi peran menggalang dukungan. Ida kebagian tugas urusan domestik seperti menyiapkan makanan dan pakaian untuk Antasari. “Ibu urusan domestik, saya sama kakak urusan luar negeri,” ujar Ajeng lantas terkekeh.

Andita menuturkan, Ajeng-lah yang paling banyak berperan dalam setiap kegiatan terkait dengan Antasari. Sebab, dia lebih punya waktu luang. Saat ini, kuliah S-2 dia di Universitas Trisakti hampir rampung. Tinggal menyelesaikan tesis. “Kalau saya, kan sudah bekerja,” kata Andita yang berprofesi sebagai dokter umum di sebuah perusahaan asuransi kesehatan itu.

“Kami sudah kangen papa kembali ke rumah bersama kami. Memang, setiap hari kami bisa mengunjungi papa di penjara. Tapi, semua dibatasi waktu dan tidak bisa leluasa. Semoga yang kami lakukan bisa membuat papa bebas,” tutur Ajeng. (c5/kum/jpnn)

Dikawal Tiga Srikandi, Mengaku Dekat Keluarga Cendana

Perlawanan mantan Ketua KPK Antasari Azhar belum berakhir. Setelah mengajukan peninjauan kembali (PK), sosok kontroversial itu akan menerbitkan sejumlah buku karangannya dari balik penjara. Salah satu buku diluncurkan kemarin (15/9) di Jakarta. Judulnya: Testimoni Antasari Azhar untuk Hukum dan Keadilan.

AGUNG PUTU-SEKARING R., Jakarta

Antasari Azhar dan keluarga Cendana ternyata memiliki hubungan yang cukup baik. Bahkan, Antasari sangat menghormati sosok almarhum mantan Presiden Soeharto. Karena itu, tidak heran jika dia mendukung pembatalan semua proses hukum terhadap Soeharto dan menganggap biasa gagalnya eksekusi terhadap Tommy Soeharto.
Sebelum menjadi ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Antasari malang melintang menjadi jaksa. Namanya mencuat saat menjabat kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Selatan. Namun, mencuatnya nama Antasari bukan karena prestasi, tapi karena kegagalannya mengeksekusi Tommy Soeharto yang kabur duluan setelah grasinya ditolak Presiden Abdurrahman Wahid.

Tommy ketika itu menjadi terpidana kasus korupsi tukar guling Goro-Bulog  Pada 27 September 2000, Mahkamah Agung (MA) dalam putusan kasasinya menyatakan Tommy serta Ricardo Gelael bersalah dan dihukum 18 bulan penjara dengan ganti rugi Rp 30,6 miliar serta denda Rp 10 juta. Seminggu setelah itu, Tommy dan Ricardo mengajukan grasi, tapi ditolak.

Karena grasi sudah ditolak, putusan kasasi sudah berkekuatan hukum tetap alias inkracht. Tommy harus dibui. Namun, karena terlau sore mendatangi rumah Tommy, Kejari Jakarta Selatan gagal menyeret Tommy ke hotel prodeo. Antasari malah menyalahkan media karena terlalu cepat memberitakan penolakan grasi Tommy.

“Saya baru menerima putusan pengadilan atas perkara Tommy pukul lima sore. Sebelum pukul lima sore, koran sudah memuat Tommy dihukum. Sebelum saya turun ke lapangan, Tommy sudah tidak ada di rumah. Dia pergi karena koran sudah memberitakan duluan bahwa Tommy dihukum,” kata Antasari dalam buku tersebut.

Antasari kembali berurusan dengan keluarga Cendana pada 2001. Ketika itu, mantan Presiden Soeharto akan dibawa ke meja hijau terkait kasus-kasus korupsi. Namun, kasus tersebut akhirnya tidak dilanjutkan karena tim kedokteran yang ditunjuk Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan menyatakan Soeharto menderita kerusakan otak permanen.

“Saya melihat dan yakin apa yang dikatakan dokter tentang sakit permanen. Dokter menyatakan A, Pak Harto menjawab B. Saat itu, rasa keadilan saya tersentuh. Hukum tidak berhenti pada kebenaran, tapi bermuara pada keadilan,” tulisnya.

Antasari saat itu memang terlibat dalam pusaran kasus keluarga Cendana. Sebab, pada kurun 2000-2007, dia menjadi kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. Bahkan, saat hendak memeriksa Soeharto, dia dipaksa Tutut (putri sulung Soeharto) untuk menandatangani surat kesediaan bertanggung jawab jika terjadi apa-apa terhadap Soeharto.

“Di situlah saya melihat dan menyaksikan. Dari rumah di Jalan Cendana, saya didampingi Tutut. Saya jemput Pak Harto, saya ketok kamarnya. Setelah saya lihat kondisi Pak Harto, nurani saya muncul,” ungkapnya dalam buku tersebut.

Kedekatan dengan keluarga Cendana hanya sekelumit kisah yang dibeberkan Antasari dalam buku yang dia tulis. Buku setebal 539 halaman itu diluncurkan kemarin di hall Arifin Panigoro di Universitas Al Azhar, Jakarta Selatan. Antasari tidak hadir karena harus dibui di Lapas Kelas I Tangerang. Dia diwakili istrinya, Ida Laksmiwati, serta dua putrinya, Andita Dianoctora Antasariputri dan Ajeng Oktarifka Antasariputri.

Hadir pula dalam peluncuran buku tersebut advokat Maqdir Ismail, artis Pong Hardjatmo, politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Fachry Hamzah, politikus Hati Nurani Rakyat (Hanura) Akbar Faisal dan Permadi, serta Jimly Asshiddiqie.

Jimly menjadi satu-satunya pembicara dalam acara peluncuran buku tersebut. Dia kembali menegaskan bahwa Antasari tidak bersalah. Mantan jaksa kelahiran Pangkal Pinang, Bangka, itu adalah korban peradilan sesat. “Kalau saya jadi hakimnya, saya akan bebaskan Antasari karena memang dia sama sekali tidak bersalah,” tegas Jimly lantas disambut tepuk tangan hadirin.

Sayangnya, buku tersebut tidak ditulis Antasari sendiri. Buku itu ditulis Servas Pandur dengan menuliskan kutipan-kutipan dari Antasari melalui wawancara di Lapas Tangerang.

Ida Laksmiwati menyatakan, Servas hanya membantu menulis. Semua bahan dan draf tulisan berasal dari Antasari. “Sebab, kan di penjara tidak bisa membawa komputer. Semua bahan ditulis bapak di kertas selama enam bulan di penjara. Kertas-kertas itu kemudian diverifikasi dengan data dan ditulis ulang,” jelasnya.

Masih banyak kisah lainnya. Yang paling seru tentu saja dugaan rekayasa kasus pembunuhan bos PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen. Karena dianggap aktor intelektual, Antasari diganjar hukuman 18 tahun penjara.

Sebelum ditahan, ada beberapa kasus yang ditangani Antasari saat masih menjabat ketua KPK. Di antaranya, kasus pengadaan alat penghitungan suara cepat di Komisi Pemilihan Umum (KPU) serta dugaan pejabat KPK yang menerima suap. “Saya tidak tahu yang terlibat dalam kasus IT KPU itu siapa. Tiba-tiba saja saya sudah ditahan,” tulisnya.

Buku tersebut menjadi media pembelaan Antasari. Selain kedekatan dengan keluarga Cendana, dia mengungkapkan kronologi rekayasa kasus Bibit-Chandra yang heboh dengan cicak versus buaya serta kejanggalan-kejanggalan pembunuhan Nasrudin.

Dalam kasus Bibit-Chandra, Antasari kembali menyatakan bahwa rekaman pembicaraan dengan Anggoro Widjojo di Singapura tidak menyebut nama dua komisioner KPK itu sebagai penerima suap, tapi oknum berinisial AR dan MJ.

Dalam wawancara Jawa Pos (Grup Sumut Pos) dengan Antasari di Lapas Tangerang, dia tidak menyalahkan saat Jawa Pos menyebut dua oknum itu adalah Ade Rahardja (deputi penindakan KPK) dan M Jasin, salah seorang pimpinan KPK. “Saya baru mau kumpulkan bukti, ternyata saya sudah ditahan,” kata Antasari.

Ida menuturkan, buku tersebut hanyalah awal. Suaminya masih menyiapkan seri buku-buku lainnya. Tapi, temanya tidak akan serius seperti buku yang sekarang. “Masih ada tiga lainnya. Tapi, nanti isinya tentang komedi,” ungkap perempuan kelahiran Malang, Jawa Timur, itu.

Peluncuran buku tersebut juga menjadi penanda kekompakan keluarga Antasari setelah sang kepala keluarga dipenjara. Sebab, hampir semua teknis penerbitan dan peluncuran dikerjakan dua putri Antasari, Andita, 27, dan Ajeng, 25. Mereka berdua harus hilir mudik mengurusi undangan, stok buku di toko-toko, dan launching kemarin (15/9). “Kami dibantu teman-teman papa juga. Kebetulan, yang punya penerbit ini teman papa,” kata Ajeng.

Ida, Andita, dan Ajeng kini menjadi tiga srikandi pembela Antasari. Mereka bertiga saling berbagi peran menggalang dukungan. Ida kebagian tugas urusan domestik seperti menyiapkan makanan dan pakaian untuk Antasari. “Ibu urusan domestik, saya sama kakak urusan luar negeri,” ujar Ajeng lantas terkekeh.

Andita menuturkan, Ajeng-lah yang paling banyak berperan dalam setiap kegiatan terkait dengan Antasari. Sebab, dia lebih punya waktu luang. Saat ini, kuliah S-2 dia di Universitas Trisakti hampir rampung. Tinggal menyelesaikan tesis. “Kalau saya, kan sudah bekerja,” kata Andita yang berprofesi sebagai dokter umum di sebuah perusahaan asuransi kesehatan itu.

“Kami sudah kangen papa kembali ke rumah bersama kami. Memang, setiap hari kami bisa mengunjungi papa di penjara. Tapi, semua dibatasi waktu dan tidak bisa leluasa. Semoga yang kami lakukan bisa membuat papa bebas,” tutur Ajeng. (c5/kum/jpnn)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/