26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

GenPI: Generasi Zaman Now

Menpar Arief Yahya.

Oleh: Arief Yahya, Menteri Pariwisata RI

———————————————————–

Hari Minggu ini (26/11) Generasi Pesona Indonesia (GenPI) bikin gebrakan lagi. Kalau sebelumnya Kids Zaman Now yang peduli dengan pariwisata ini sukses melakukan kopdar yang sarat kegiatan positif yaitu Pasar Karetan di Kendal, maka kini event yang sama dengan konsep yang berbeda akan dibesut di tiga lokasi pasar sekaligus.

Tiga lokasi tersebut adalah: Pasar Pancingan di Lombok diselenggarakan oleh GenPI NTB; di Pasar Baba Boen Tjit di tepian Sungai Musi, Palembang oleh GenPI Sumsel; dan terakhir di Pasar Siti Nurbaya di Padang oleh GenPI Sumbar.

Konsep kegiatan offline ini bisa dibilang baru, karena selama ini format kegiatan GenPI lebih banyak fokus pada kegiatan online di media sosial dengan memposting destinasi wisata, calender of event, atau kebijakan kepariwisataan, dan setiap hari menjadi Trending Topic di Twitter.

Event berkonsep pasar ini hampir semua aktivitasnya bersifat offline dan bertujuan mengajak netizen, termasuk para followers, subscribers, friends dari para awak GenPI untuk ikutan bergabung di satu tempat secara rutin setiap Minggu Pagi.

Memang saya selalu berpesan kepada teman-teman GenPI agar selalu inovatif dan selalu fresh dalam menyelenggarakan kegiatan aktivasi komunitas. Kenapa begitu? Karena karakteristik anak-anak milenial memang suka yang inovatif. Agar komunitas GenPI ini tetap relevan, sustainable, dan mampu menarik sebanyak mungkin followers dan friends maka setiap acaranya harus selalu mengandung unsur kebaruan.

Saya sering menyebutnya 2C, yaitu Creative Value dan Commercial Value. Pertama, creatif dalam mengangkat tema-tema pariwisata di media sosial, dari soal desain, angel, pemilihan kata, interaktif di medsos, sampai mengemas event. Kuncinya, harus selalu fresh dan kekinian.

Kedua, event itu harus menciptakan nilai komersial yang bermanfaat bagi setiap anggota komunitas maupun masyarakat sekitar. Saya jelaskan ke anak-anak GenPI, dalam bisnis itu ada operational return dan non operational return. Di event seperti pasar-pasar itu, komposisinya 70-85% untuk masyarakat, 15-30% untuk menghidupi komunitas GenPI. Angka itu memang tidak terlalu besar bagi GenPI, yang besar justru di data customer di non operational returnnya.

Generasi Pesona Indonesia (GenPI), Banten berkumpul di Pantai Anyer, Banten.

SEKILAS GENPI

Ide kelahiran GenPI sesungguhnya spontan saja. Semula GenPI dibentuk sebagai bagian tim pemenangan kompetisi World Halal Tourism Award (WHTA) tahun 2015 dan 2016. GenPI yang pertama adalah GenPI Lombok Sumbawa yang saya resmikan pada tanggal 3 Oktober 2016 di hotel Lombok Raya, kota Mataram. Tak lama setelah dibentuk, GenPI langsung membuktikan kontribusinya dengan ikut menyukseskan vote kompetisi WHTA. Dan tak dinyana, hasilnya sungguh luar biasa. Indonesia berhasil memenangkan 12 penghargaan bergengsi tersebut dari 16 kategori yang dikompetisikan.

GenPI pula yang ikut berjasa memviralkan vote video Wonderful Indonesia di ajang UNWTO Award. Setiap hari kita bikin trending topic di medsos dan hasilnya tak kalah luar biasa, dua kategori bergengsi kita menangkan sekaligus. Terakhir, GenPI kembali berperan dalam memenangkan polling online di laman Dive Magazine. Hasilnya, majalah pariwisata dunia asal Inggris itu lagi-lagi menobatkan Indonesia sebagai destinasi nomor satu di dunia selama dua tahun berturut-turut.

Setelah GenPI, kita juga mulai membantuk Generasi Wonderful Indonesia atau disingkat GenWI yang mirip dengan GenPI. Kalau GenPI memproduksi foto-foto, video, grafis, text story yang bagus dari destinasi wisata dan calender of events, GenWI membantu memviralkan di mancanegara. Pasar utama GenWI adalah wisatawan mancanegara di originasi tempat mereka tinggal. Jadi, GenPI lebih fokus ke destinasi, sedangkan GenWI lebih fokus ke originasi.

GenPI/GenWI merangkul volunteer dari berbagai kalangan komunitas yang bergerak mempromosikan pariwisata berbasis digital. Pembentukan GenPI/GenWI merupakan salah satu bentuk komitmen Kemenpar untuk menghidupkan media sosial di kalangan anak-anak muda Indonesia. Apalagi untuk memenangkan pasar pariwisata dunia, Indonesia harus menguasai dunia digital. Seperti yang sering saya katakan, the more digital, the more personal. Semakin digital, saya meyakini bisa menyentuh satu-persatu konsumen secara personal.

GenPI/GenWI merupakan generasi milenial yang mempunyai kemampuan lebih dalam dunia internet. Mereka adalah generasi milenial berbasis komunitas yang memililiki aktivitas rutin dan aktif dalam mempromosikan Pariwisata Indonesia baik melalui blog atau medsos kepada masyarakat luas. Mereka getol dan tidak henti-hentinya menggunakan jari mereka untuk pariwisata Indonesia. Passion mereka memang di pariwisata. Setiap hari mempromosikan tema-tema pariwisata di Instagram, Facebook, Twitter, YouTube, WeChat, Weibo, Line, Path, dan platform medsos lainnya.

Karena common interest yang sama, mereka bisa kita andalkan untuk mempromosikan destinasi dan event-event pariwisata di tanah air. Mereka sudah menjadi evangelist dan advocator bagi dunia pariwisata Indonesia. Berbagai aktivasi digital bisa dilakukan, seperti lomba baik foto sosmed, vlog dan blog yang terbukti efektif memviralkan promosi pariwisata yang selalu kita gencarkan.

Agar peran mereka lebih efektif, saya mendorong anggota GenPI untuk menjadi entrepreneur terutama di destinasi tempat mereka tinggal. Kita sudah menyediakan platform ITX sebagai online marketplace yang bisa dimanfaatkan oleh seluruh ekosistem industri pariwisata. Melalui ITX ini, GenPI bisa berkolaborasi untuk menjual paket wisata via online dan ini gratis. Mereka bisa ambil bagian menjadi tour operator, penyedia oleh-oleh, pengelola homestay, menjual paket-paket wisata, dan sebagainya. Sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui.

Generasi Pesona Indonesia (GenPI) Jawa Tengah (Jateng), saat diluncurkan Maret lalu.

DIGITAL INFLUENCER

Dalam konteks strategi media yang sering saya sebut Paid, Owned, Social Media dan Endorser (POSE), GenPI/GenWI merupakan Endorser. Sementara kalau kita melihatnya dari konteks strategi Pentaheliks: Academician, Business, Community, Government, Media (ABGCM), GenPI/GenWI masuk dalam kelompok Community dan sekaligus Media (sosial).

Terkait dengan strategi POSE, saya ingin memberikan catatan sedikit mengenai posisi dari GenPI/GenWI ini. Dalam strategi komunikasi dikenal apa yang disebut Celebrity Endorser dan Digital Influencer. Saya lebih cenderung mengelompokkan GenPI/GenWI ke dalam Digital Influencer. Sedangkan penggunaan Celebrity Endorsers kita jalankan dengan menyewa artis (salah satunya Pevita Pearce) atau melalui kerjasama co-branding dengan 21 artis entrepreneur yang kita tandatangani MOU-nya beberapa waktu lalu.

Apa bedanya Celebrity Endorser dan Digital Influencer? Kalau Celebrity Endorser umumnya adalah pesohor (umumnya artis, penyanyi, komedian, dan lain-lain) yang dikenal luas di masyarakat. Sementara Digital Influencer tak harus sosok yang dikenal luas, namun mereka tetap memiliki followers, fans, friends (3F) yang mungkin kecil tapi sangat solid dan powerful pengaruhnya.

Dari sisi credibility dan trustworthy, Digital Influencer lebih ampuh dari dari Celebrity Endorser. Kenapa? Karena ada Celebrity Endorser yang kita sewa (paid endorser) untuk mempromosikan brand Wonderful Indonesia. Sementara Digital Influencer seperti GenPI umumnya mempromosikan pariwisata di daerah masing-masing bukan karena dibayar tapi kesukarelaan. Jadi sifatnya mereka adalah relawan. Karena tidak dibayar maka dengan sendirinya Digital Influencer memiliki authenticity, credibility, dan trustworthiness yang lebih baik dibanding Celebrity Endorser.  Pada prinsipnya siapa yang lebih banyak menghasilkan User Generated Content (UGC), merekalah yang memiliki credibility dan trustworthy yang lebih tinggi.

Perbedaan ketiga adalah dari sisi engagement. Digital Influencer lebih engaging dari Celebrity Endorser. Kenapa? Karena umumnya komunikasi Celebrity Endorser dengan audience-nya bersifat satu arah. Sementara komunikasi antara Digital Influencer dengan 3F-nya bersifat dua arah dan sangat interaktif melalui “comment”, “like”, dan “share”. Tak hanya itu Digital Influencer umumnya adalah content creator, sehingga connection dan engagement mereka dengan para 3F-nya sangat kuat dan solid.

Lalu impactful mana Celebrity Endorser dibanding Digital Influencer. Untuk melihatnya saya menggunakan konsep 3R yaitu: Reach, Relevance, Resonance. Reach artinya seberapa besar audience yang bisa dijangkau. Relevance artinya seberapa relevan pesan yang disampaikan ke audience. Dan Resonance artinya seberapa ampuh sebuah pesan menghasilkan viral (ripple effect) kepada audience-nya.

Kalau dari sisi Reach tentu saja Digital Influencer kalah dibandingkan Celebrity Endorser. Namun dari sisi Relevance dan Resonance, dalam banyak kasus Digital Influencer lebih unggul dibanding Celebrity Endorser. Tapi kita tentu tidak perlu membandingkan peran kedua strategi ini secara hitam-putih. Keduanya memiliki advantages dan disadvantages masing-masing dan kita harus secara cerdas menggunakannya mengacu kepada advantages dan disadvantages tersebut agar kita menghasilkan strategi komunikasi yang terbaik dan paling efektif .

****

Beberapa minggu terakhir ini saya mendapat pencerahan dari dua tulisan yang viral di jagat online. Pertama adalah konsep “Leisure Economy” yang ditulis oleh Yuswohady. Yang kedua konsep “Esteem Economy” yang ditulis oleh Prof. Rhenald Kasali. Yang membuat saya bungah dengan dua tulisan tersebut adalah bahwa keduanya membawa impact yang sangat positif kepada apa yang kita perjuangkan selama ini yaitu dunia pariwisata Indonesia.

Tulisan yang pertama meyakinkan kita bahwa leisure kini memainkan peran yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat. “Liburan telah menjadi kebutuhan pokok seperti layaknya sandang, pangan, papan, dan wifi,” ujar Yuswohady. Di samping itu pola konsumsi konsumen Indonesia kini mulai bergesar: dari memiliki “goods” menjadi mendapatkan “experience” termasuk di dalamnya experience dari berliburan.

Sementara dari tulisan Prof. Rhenald saya mendapatkan insight menarik, bahwa self-esteem atau pengakuan dari peers (3F) kini menjadi faktor yang sangat pentung dalam membentuk perilaku konsumen. Tulisan Prof. Rhenald inilah yang paling bisa menjelaskan pidato saya yang menjelaskan apa yang dilakukan GenPI di Lombok, bahwa destinasi yang dibuat GenPI memenuhi “selera baru” generasi milenial yaitu destinasi yang instagramable, dan kemudian menjadi trending topic.

Dengan kata lain, GenPI telah berhasil memenuhi kebutuhan pengakuan (self-esteem) dari wisatawan. Artinya passion dan kesukarelaan GenPI untuk mempromosikan pariwisata bukan didorong oleh pertimbangan finansial tapi terutama oleh faktor untuk mendapatkan pengakuan atau self-esteem.

Sukses selalu buat rekan-rekan GenPI semua! Salam GenPI, Salam GenWI! Gasss!!!

Salam Pesona Indonesia!!! (*)

Menpar Arief Yahya.

Oleh: Arief Yahya, Menteri Pariwisata RI

———————————————————–

Hari Minggu ini (26/11) Generasi Pesona Indonesia (GenPI) bikin gebrakan lagi. Kalau sebelumnya Kids Zaman Now yang peduli dengan pariwisata ini sukses melakukan kopdar yang sarat kegiatan positif yaitu Pasar Karetan di Kendal, maka kini event yang sama dengan konsep yang berbeda akan dibesut di tiga lokasi pasar sekaligus.

Tiga lokasi tersebut adalah: Pasar Pancingan di Lombok diselenggarakan oleh GenPI NTB; di Pasar Baba Boen Tjit di tepian Sungai Musi, Palembang oleh GenPI Sumsel; dan terakhir di Pasar Siti Nurbaya di Padang oleh GenPI Sumbar.

Konsep kegiatan offline ini bisa dibilang baru, karena selama ini format kegiatan GenPI lebih banyak fokus pada kegiatan online di media sosial dengan memposting destinasi wisata, calender of event, atau kebijakan kepariwisataan, dan setiap hari menjadi Trending Topic di Twitter.

Event berkonsep pasar ini hampir semua aktivitasnya bersifat offline dan bertujuan mengajak netizen, termasuk para followers, subscribers, friends dari para awak GenPI untuk ikutan bergabung di satu tempat secara rutin setiap Minggu Pagi.

Memang saya selalu berpesan kepada teman-teman GenPI agar selalu inovatif dan selalu fresh dalam menyelenggarakan kegiatan aktivasi komunitas. Kenapa begitu? Karena karakteristik anak-anak milenial memang suka yang inovatif. Agar komunitas GenPI ini tetap relevan, sustainable, dan mampu menarik sebanyak mungkin followers dan friends maka setiap acaranya harus selalu mengandung unsur kebaruan.

Saya sering menyebutnya 2C, yaitu Creative Value dan Commercial Value. Pertama, creatif dalam mengangkat tema-tema pariwisata di media sosial, dari soal desain, angel, pemilihan kata, interaktif di medsos, sampai mengemas event. Kuncinya, harus selalu fresh dan kekinian.

Kedua, event itu harus menciptakan nilai komersial yang bermanfaat bagi setiap anggota komunitas maupun masyarakat sekitar. Saya jelaskan ke anak-anak GenPI, dalam bisnis itu ada operational return dan non operational return. Di event seperti pasar-pasar itu, komposisinya 70-85% untuk masyarakat, 15-30% untuk menghidupi komunitas GenPI. Angka itu memang tidak terlalu besar bagi GenPI, yang besar justru di data customer di non operational returnnya.

Generasi Pesona Indonesia (GenPI), Banten berkumpul di Pantai Anyer, Banten.

SEKILAS GENPI

Ide kelahiran GenPI sesungguhnya spontan saja. Semula GenPI dibentuk sebagai bagian tim pemenangan kompetisi World Halal Tourism Award (WHTA) tahun 2015 dan 2016. GenPI yang pertama adalah GenPI Lombok Sumbawa yang saya resmikan pada tanggal 3 Oktober 2016 di hotel Lombok Raya, kota Mataram. Tak lama setelah dibentuk, GenPI langsung membuktikan kontribusinya dengan ikut menyukseskan vote kompetisi WHTA. Dan tak dinyana, hasilnya sungguh luar biasa. Indonesia berhasil memenangkan 12 penghargaan bergengsi tersebut dari 16 kategori yang dikompetisikan.

GenPI pula yang ikut berjasa memviralkan vote video Wonderful Indonesia di ajang UNWTO Award. Setiap hari kita bikin trending topic di medsos dan hasilnya tak kalah luar biasa, dua kategori bergengsi kita menangkan sekaligus. Terakhir, GenPI kembali berperan dalam memenangkan polling online di laman Dive Magazine. Hasilnya, majalah pariwisata dunia asal Inggris itu lagi-lagi menobatkan Indonesia sebagai destinasi nomor satu di dunia selama dua tahun berturut-turut.

Setelah GenPI, kita juga mulai membantuk Generasi Wonderful Indonesia atau disingkat GenWI yang mirip dengan GenPI. Kalau GenPI memproduksi foto-foto, video, grafis, text story yang bagus dari destinasi wisata dan calender of events, GenWI membantu memviralkan di mancanegara. Pasar utama GenWI adalah wisatawan mancanegara di originasi tempat mereka tinggal. Jadi, GenPI lebih fokus ke destinasi, sedangkan GenWI lebih fokus ke originasi.

GenPI/GenWI merangkul volunteer dari berbagai kalangan komunitas yang bergerak mempromosikan pariwisata berbasis digital. Pembentukan GenPI/GenWI merupakan salah satu bentuk komitmen Kemenpar untuk menghidupkan media sosial di kalangan anak-anak muda Indonesia. Apalagi untuk memenangkan pasar pariwisata dunia, Indonesia harus menguasai dunia digital. Seperti yang sering saya katakan, the more digital, the more personal. Semakin digital, saya meyakini bisa menyentuh satu-persatu konsumen secara personal.

GenPI/GenWI merupakan generasi milenial yang mempunyai kemampuan lebih dalam dunia internet. Mereka adalah generasi milenial berbasis komunitas yang memililiki aktivitas rutin dan aktif dalam mempromosikan Pariwisata Indonesia baik melalui blog atau medsos kepada masyarakat luas. Mereka getol dan tidak henti-hentinya menggunakan jari mereka untuk pariwisata Indonesia. Passion mereka memang di pariwisata. Setiap hari mempromosikan tema-tema pariwisata di Instagram, Facebook, Twitter, YouTube, WeChat, Weibo, Line, Path, dan platform medsos lainnya.

Karena common interest yang sama, mereka bisa kita andalkan untuk mempromosikan destinasi dan event-event pariwisata di tanah air. Mereka sudah menjadi evangelist dan advocator bagi dunia pariwisata Indonesia. Berbagai aktivasi digital bisa dilakukan, seperti lomba baik foto sosmed, vlog dan blog yang terbukti efektif memviralkan promosi pariwisata yang selalu kita gencarkan.

Agar peran mereka lebih efektif, saya mendorong anggota GenPI untuk menjadi entrepreneur terutama di destinasi tempat mereka tinggal. Kita sudah menyediakan platform ITX sebagai online marketplace yang bisa dimanfaatkan oleh seluruh ekosistem industri pariwisata. Melalui ITX ini, GenPI bisa berkolaborasi untuk menjual paket wisata via online dan ini gratis. Mereka bisa ambil bagian menjadi tour operator, penyedia oleh-oleh, pengelola homestay, menjual paket-paket wisata, dan sebagainya. Sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui.

Generasi Pesona Indonesia (GenPI) Jawa Tengah (Jateng), saat diluncurkan Maret lalu.

DIGITAL INFLUENCER

Dalam konteks strategi media yang sering saya sebut Paid, Owned, Social Media dan Endorser (POSE), GenPI/GenWI merupakan Endorser. Sementara kalau kita melihatnya dari konteks strategi Pentaheliks: Academician, Business, Community, Government, Media (ABGCM), GenPI/GenWI masuk dalam kelompok Community dan sekaligus Media (sosial).

Terkait dengan strategi POSE, saya ingin memberikan catatan sedikit mengenai posisi dari GenPI/GenWI ini. Dalam strategi komunikasi dikenal apa yang disebut Celebrity Endorser dan Digital Influencer. Saya lebih cenderung mengelompokkan GenPI/GenWI ke dalam Digital Influencer. Sedangkan penggunaan Celebrity Endorsers kita jalankan dengan menyewa artis (salah satunya Pevita Pearce) atau melalui kerjasama co-branding dengan 21 artis entrepreneur yang kita tandatangani MOU-nya beberapa waktu lalu.

Apa bedanya Celebrity Endorser dan Digital Influencer? Kalau Celebrity Endorser umumnya adalah pesohor (umumnya artis, penyanyi, komedian, dan lain-lain) yang dikenal luas di masyarakat. Sementara Digital Influencer tak harus sosok yang dikenal luas, namun mereka tetap memiliki followers, fans, friends (3F) yang mungkin kecil tapi sangat solid dan powerful pengaruhnya.

Dari sisi credibility dan trustworthy, Digital Influencer lebih ampuh dari dari Celebrity Endorser. Kenapa? Karena ada Celebrity Endorser yang kita sewa (paid endorser) untuk mempromosikan brand Wonderful Indonesia. Sementara Digital Influencer seperti GenPI umumnya mempromosikan pariwisata di daerah masing-masing bukan karena dibayar tapi kesukarelaan. Jadi sifatnya mereka adalah relawan. Karena tidak dibayar maka dengan sendirinya Digital Influencer memiliki authenticity, credibility, dan trustworthiness yang lebih baik dibanding Celebrity Endorser.  Pada prinsipnya siapa yang lebih banyak menghasilkan User Generated Content (UGC), merekalah yang memiliki credibility dan trustworthy yang lebih tinggi.

Perbedaan ketiga adalah dari sisi engagement. Digital Influencer lebih engaging dari Celebrity Endorser. Kenapa? Karena umumnya komunikasi Celebrity Endorser dengan audience-nya bersifat satu arah. Sementara komunikasi antara Digital Influencer dengan 3F-nya bersifat dua arah dan sangat interaktif melalui “comment”, “like”, dan “share”. Tak hanya itu Digital Influencer umumnya adalah content creator, sehingga connection dan engagement mereka dengan para 3F-nya sangat kuat dan solid.

Lalu impactful mana Celebrity Endorser dibanding Digital Influencer. Untuk melihatnya saya menggunakan konsep 3R yaitu: Reach, Relevance, Resonance. Reach artinya seberapa besar audience yang bisa dijangkau. Relevance artinya seberapa relevan pesan yang disampaikan ke audience. Dan Resonance artinya seberapa ampuh sebuah pesan menghasilkan viral (ripple effect) kepada audience-nya.

Kalau dari sisi Reach tentu saja Digital Influencer kalah dibandingkan Celebrity Endorser. Namun dari sisi Relevance dan Resonance, dalam banyak kasus Digital Influencer lebih unggul dibanding Celebrity Endorser. Tapi kita tentu tidak perlu membandingkan peran kedua strategi ini secara hitam-putih. Keduanya memiliki advantages dan disadvantages masing-masing dan kita harus secara cerdas menggunakannya mengacu kepada advantages dan disadvantages tersebut agar kita menghasilkan strategi komunikasi yang terbaik dan paling efektif .

****

Beberapa minggu terakhir ini saya mendapat pencerahan dari dua tulisan yang viral di jagat online. Pertama adalah konsep “Leisure Economy” yang ditulis oleh Yuswohady. Yang kedua konsep “Esteem Economy” yang ditulis oleh Prof. Rhenald Kasali. Yang membuat saya bungah dengan dua tulisan tersebut adalah bahwa keduanya membawa impact yang sangat positif kepada apa yang kita perjuangkan selama ini yaitu dunia pariwisata Indonesia.

Tulisan yang pertama meyakinkan kita bahwa leisure kini memainkan peran yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat. “Liburan telah menjadi kebutuhan pokok seperti layaknya sandang, pangan, papan, dan wifi,” ujar Yuswohady. Di samping itu pola konsumsi konsumen Indonesia kini mulai bergesar: dari memiliki “goods” menjadi mendapatkan “experience” termasuk di dalamnya experience dari berliburan.

Sementara dari tulisan Prof. Rhenald saya mendapatkan insight menarik, bahwa self-esteem atau pengakuan dari peers (3F) kini menjadi faktor yang sangat pentung dalam membentuk perilaku konsumen. Tulisan Prof. Rhenald inilah yang paling bisa menjelaskan pidato saya yang menjelaskan apa yang dilakukan GenPI di Lombok, bahwa destinasi yang dibuat GenPI memenuhi “selera baru” generasi milenial yaitu destinasi yang instagramable, dan kemudian menjadi trending topic.

Dengan kata lain, GenPI telah berhasil memenuhi kebutuhan pengakuan (self-esteem) dari wisatawan. Artinya passion dan kesukarelaan GenPI untuk mempromosikan pariwisata bukan didorong oleh pertimbangan finansial tapi terutama oleh faktor untuk mendapatkan pengakuan atau self-esteem.

Sukses selalu buat rekan-rekan GenPI semua! Salam GenPI, Salam GenWI! Gasss!!!

Salam Pesona Indonesia!!! (*)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/