MEDAN, SUMUTPOS.CO – Data Dewan Pers Hingga Juli 2017, ada 47 ribu media di Indonesia. Sebanyak 44.300 di antaranya media online, sisanya adalah media cetak, televisi, dan radio. Dari 2 ribuan media cetak di Indonesia, 75 persen di antaranya tidak profesional. Jadi bagaimana memilah informasi yang layak diupercaya, dari ribuan media tersebut?
“Dewan Pers telah memverifikasi ratusan media. Dari 2.000-an media cetak, baru sekitar 567 media yang bisa dikategorikan media profesional. Selebihnya tak memenuhi syarat sesuai standar perusahaan pers yang dikeluarkan Dewan Pers. Jadi jika masyarakat ingin mencari informasi yang layak dipercaya, berita di media-media terverifikasi layak dijadikan referensi. Media-media profesional umumnya menganut elemen jurnalistik yang dikemukakan Bill Kovach, bahwa tugas utama jurnalisme adalah mengabdi pada kebenaran dan loyal kepentingan publik,” kata Pemimpin Redaksi Harian Sumut Pos, Dame Ambarita, saat menjadi pembicara dalam Focus Group Discussion dengan tema Netralitas Media dan Masyarakat Dalam Menciptakan Pilkada Damai Tanpa Hoax Serta Ujaran Kebencian di Sumatera Utara, di gedung FIB USU, Kamis (22/3) siang.
FGD digelar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara (FIB USU) bekerja sama dengan Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia (LSISI). Para pembicara lainnya yakni Ketua Bawaslu Sumut, Syafrida R Rasahan dan Akademisi USU, Drs Wara Sinuhaji M.Hum, dipandu Hasan Basri sebagai moderator.
Adapun media abal-abal, sesuai versi Dewan Pers, yakni belum berbadan hukum dan produk jurnalistiknya tak memenuhi prinsip jurnalistik. Dari total 43.300 media siber, hanya 211 perusahaan yang dikategorikan Dewan Pers sebagai perusahaan pers profesional. Masyarakat, lanjut Dame, memang membutuhkan kehadiran media massa dalam kehidupan sehari-hari sebagai pemasok informasi yang dibutuhkan. Selama ini media dipandang sebagai suatu institusi informasi, yang mampu mempengaruhi proses-proses perubahan sosial-budaya dan politik. Tetapi dengan maraknya media, baik media profesional maupun abal-abal, cetak, elektronik, ditambah media sosial, banyak informasi membingungkan yang berseliweran.
“Hoax dan ujaran kebencian bertebaran di internet. Media abal-abal: seolah berpraktik sebagai jurnalis profesional, tetapi melanggar kode etik jurnalis. Bagaimana mengatasinya? Dewan Pers mengatur media massa dengan UU Pokok Pers, Kode Etik Jurnalistik. Masih ditambah lagi sekarang dengan persyaratan Media Terverifikasi, dan wartawan yang lulus UKW (Uji Kompetensi Wartawan). Itu dinilai relative cukup mengawal media agar tidak kebablasan. Untuk informasi hoax dan ujaran kebencian di internet, pemerintah telah membuat UU ITE, yang bisa menjerat para penyebar,” lanjutnya.
Tentang netralitas media-media saat ini dalam Pilkada yang sudah di depan mata, menurutnya, media-media di Sumut hingga saat ini relative masih ini netral. Porsi pemberitaan seimbang. Dan berita hoax serta ujaran kebencian diredam. “Paling yang lolos adalah status-status orang per orang di media social,” ungkapnya.