28 C
Medan
Monday, November 25, 2024
spot_img

Ungkap Tak Bakal Dukung Perda Syariah dan Injil Grace Natalie Dipolisikan

KETERANGAN: Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie saat memberikan keterangan dalam satu kesempatan, belum lama ini.

SUMUTPOS.CO – Pidato Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie di Indonesia Convention Exhibition (ICE) BSD City, Tangerang Selatan, Banten, pada 11 November 2018 lalu, berujung laporan ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri. Dia dipolisikan Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI), karena diduga melakukan penistaan agama.

Adapun dalam pidatonya, Grace menyatakan, PSI tidak akan pernah mendukung peraturan daerah (Perda) yang berlandaskan agama. Seperti Perda Syariah dan Perda Injil, demi mencegah terjadinya ketidakadilan, diskriminasi, dan seluruh tindakan intoleransi di Indonesia.

Pernyataan Grace tersebut dinilai menista agama, karena bertentangan dengan sejumlah ayat yang tertuang di dalam Kitab Suci Alquran, di antaranya Surat An Nisa ayat 135, Al Maidah ayat 8, dan Al Kafirun.

“Statement itu sudah masuk unsur ungkapan rasa permusuhan, juga masuk ujaran kebencian kepada agama,” ungkap Sekretaris Jenderal PPMI Zulkhair di Bareskrim Polri, Gambir, Jakarta, Jumat (16/11).

Bahkan, lanjut kuasa hukum Zulkhair, Eggi Sudjana, pernyataan Grace lebih parah dari pernyataan mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).

Setidaknya ada 3 poin pernyataan Grace yang mengarah kepada penistaan agama. Yakni menyatakan, Perda menimbulkan ketidakadilan, diskriminasi, serta intoleransi.

Sementara, Ahok hanya meminta masyarakat tidak mau dibohongi oleh Surat Al Maidah ayat 51. “Menurut hemat saya, secara ilmu hukum, ini lebih parah dari Ahok. Ahok itu cuma mengatakan, jangan mau dibohongi oleh Al Maidah ayat 51. Satu aja poin dia. Nah kalau ini 3 poin,” tegas Eggi, yang juga calon legislatif dari Partai Amanat Nasional (PAN) itu.

Pernyataan Grace pun bertentangan dengan Surat An Nisa ayat 135. Di surat tersebut, Allah Subhanahu wa Taala menekankan, agar manusia tidak mengikuti hawa nafsu, menyimpang dari kebenaran, dan berlaku tidak adil.

Juga bertentangan dengan surat Al Maidah ayat 8, yang menyatakan, agar kebencian pada suatu kaum, tidak membuat berlaku tidak adil. Terakhir, surat Al Kafirun yang menuangkan poin tentang toleransi. “Itu toleransi yang paling top, kok dibilang kami intoleran?” sebut Eggi.

Lebih lanjut, Eggi menanyakan alasan, mengapa Grace hanya menyebut Injil, dan tidak berani menyebut Alquran dalam pernyataannya ketika itu. Bahkan, dia mengingatkan Grace, Injil merupakan satu kitab suci yang diturunkan Allah Subhanahu wa Taala, setelah kitab Zabur dan Taurat.

Diketahui, laporan PPMI tersebut diterima Bareskrim dengan Nomor: LP/B/1502/XI/2018/Bareskrim, tertanggal 16 November 2018. Grace dilaporkan dengan dugaan pelanggaran Pasal 156A KUHP, Pasal 27 ayat (3) juncto Pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 14 juncto Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946, tentang Peraturan Hukum Pidana.

Sementara itu, Wakil Ketua Umum PPP, M Arwani Thomafi mengatakan, pernyataan Grace bahkan bisa diartikan anti NKRI dan anti Pancasila.

Sikap PSI itu, menurut Arwani, juga mencerminkan ketidaktahuan PSI tentang sejarah dan hukum di Indonesia. Para pendiri bangsa sudah sepakat, aturan di bawah UUD 1945 bisa mengatur atau mengadopsi hukum keagamaan. “Adopsi hukum agama (syariah) baik pada tingkat UU maupun Perda, sesungguhnya merupakan pencerminan negara hukum Pancasila yang dijiwai semangat Ketuhanan Yang Maha Esa,” jelasnya, Jumat (16/11).

Dia menambahkan, sepanjang UU dan Perda itu dibentuk berdasarkan prosedur legislasi yang benar sesuai aturan, maka harus diterima sebagai bagian hukum nasional atau daerah. Bahkan saat ini, sebenarnya sudah banyak UU atau Perda bernuansa agama yang sudah dinikmati masyarakat.

Arwani mencontohkan, pemberlakukan UU 1/1974, tentang Perkawinan, yang merupakan bentuk terbaik dari adopsi hukum agama syariah dalam hukum positif negara. UU ini, terbukti berjalan baik dan tetap dalam semangat NKRI. UU ini membuat perkawinan bisa dilakukan menurut agama masing-masing.

“Sikap PSI ini menunjukkan ketidaktahuan terhadap sistem hukum nasional. Dalam titik ini, sikap politik PSI justru lebih ekstrem dibanding kebijakan politik hukum era kolonial, yang dalam dinamikanya mengakui eksistensi hukum Islam di Indonesia,” tambahnya.

“PSI ahistoris dalam melihat sejarah berdirinya NKRI melalui rapat BPUPKI, PPKI, serta dinamika politik saat kemerdekaan,” kata Arwani.

Namun pengamat politik Lingkar Madani (Lima), Ray Rangkuti menyebutkan, apa yang disebut Grace sudah tepat. “Karena Perda itu atas nama agama tertentu, bukan atas nama kesepakatan agama-agama di Indonesia,” katanya, Jumat (16/11).

Jika dikaitkan ke Pancasila, masyarakat Indonesia adalah umat berketuhanan dan hidup berkeadilan dengan menyepakati aturan bersama. “Nah, dimaksudkan sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa itu, agama-agama di Indonesia, bukan sekadar agama mayoritas,” pungkas Ray. (dna/jpc/rus/lov/rmol/saz)

KETERANGAN: Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie saat memberikan keterangan dalam satu kesempatan, belum lama ini.

SUMUTPOS.CO – Pidato Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie di Indonesia Convention Exhibition (ICE) BSD City, Tangerang Selatan, Banten, pada 11 November 2018 lalu, berujung laporan ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri. Dia dipolisikan Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI), karena diduga melakukan penistaan agama.

Adapun dalam pidatonya, Grace menyatakan, PSI tidak akan pernah mendukung peraturan daerah (Perda) yang berlandaskan agama. Seperti Perda Syariah dan Perda Injil, demi mencegah terjadinya ketidakadilan, diskriminasi, dan seluruh tindakan intoleransi di Indonesia.

Pernyataan Grace tersebut dinilai menista agama, karena bertentangan dengan sejumlah ayat yang tertuang di dalam Kitab Suci Alquran, di antaranya Surat An Nisa ayat 135, Al Maidah ayat 8, dan Al Kafirun.

“Statement itu sudah masuk unsur ungkapan rasa permusuhan, juga masuk ujaran kebencian kepada agama,” ungkap Sekretaris Jenderal PPMI Zulkhair di Bareskrim Polri, Gambir, Jakarta, Jumat (16/11).

Bahkan, lanjut kuasa hukum Zulkhair, Eggi Sudjana, pernyataan Grace lebih parah dari pernyataan mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).

Setidaknya ada 3 poin pernyataan Grace yang mengarah kepada penistaan agama. Yakni menyatakan, Perda menimbulkan ketidakadilan, diskriminasi, serta intoleransi.

Sementara, Ahok hanya meminta masyarakat tidak mau dibohongi oleh Surat Al Maidah ayat 51. “Menurut hemat saya, secara ilmu hukum, ini lebih parah dari Ahok. Ahok itu cuma mengatakan, jangan mau dibohongi oleh Al Maidah ayat 51. Satu aja poin dia. Nah kalau ini 3 poin,” tegas Eggi, yang juga calon legislatif dari Partai Amanat Nasional (PAN) itu.

Pernyataan Grace pun bertentangan dengan Surat An Nisa ayat 135. Di surat tersebut, Allah Subhanahu wa Taala menekankan, agar manusia tidak mengikuti hawa nafsu, menyimpang dari kebenaran, dan berlaku tidak adil.

Juga bertentangan dengan surat Al Maidah ayat 8, yang menyatakan, agar kebencian pada suatu kaum, tidak membuat berlaku tidak adil. Terakhir, surat Al Kafirun yang menuangkan poin tentang toleransi. “Itu toleransi yang paling top, kok dibilang kami intoleran?” sebut Eggi.

Lebih lanjut, Eggi menanyakan alasan, mengapa Grace hanya menyebut Injil, dan tidak berani menyebut Alquran dalam pernyataannya ketika itu. Bahkan, dia mengingatkan Grace, Injil merupakan satu kitab suci yang diturunkan Allah Subhanahu wa Taala, setelah kitab Zabur dan Taurat.

Diketahui, laporan PPMI tersebut diterima Bareskrim dengan Nomor: LP/B/1502/XI/2018/Bareskrim, tertanggal 16 November 2018. Grace dilaporkan dengan dugaan pelanggaran Pasal 156A KUHP, Pasal 27 ayat (3) juncto Pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 14 juncto Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946, tentang Peraturan Hukum Pidana.

Sementara itu, Wakil Ketua Umum PPP, M Arwani Thomafi mengatakan, pernyataan Grace bahkan bisa diartikan anti NKRI dan anti Pancasila.

Sikap PSI itu, menurut Arwani, juga mencerminkan ketidaktahuan PSI tentang sejarah dan hukum di Indonesia. Para pendiri bangsa sudah sepakat, aturan di bawah UUD 1945 bisa mengatur atau mengadopsi hukum keagamaan. “Adopsi hukum agama (syariah) baik pada tingkat UU maupun Perda, sesungguhnya merupakan pencerminan negara hukum Pancasila yang dijiwai semangat Ketuhanan Yang Maha Esa,” jelasnya, Jumat (16/11).

Dia menambahkan, sepanjang UU dan Perda itu dibentuk berdasarkan prosedur legislasi yang benar sesuai aturan, maka harus diterima sebagai bagian hukum nasional atau daerah. Bahkan saat ini, sebenarnya sudah banyak UU atau Perda bernuansa agama yang sudah dinikmati masyarakat.

Arwani mencontohkan, pemberlakukan UU 1/1974, tentang Perkawinan, yang merupakan bentuk terbaik dari adopsi hukum agama syariah dalam hukum positif negara. UU ini, terbukti berjalan baik dan tetap dalam semangat NKRI. UU ini membuat perkawinan bisa dilakukan menurut agama masing-masing.

“Sikap PSI ini menunjukkan ketidaktahuan terhadap sistem hukum nasional. Dalam titik ini, sikap politik PSI justru lebih ekstrem dibanding kebijakan politik hukum era kolonial, yang dalam dinamikanya mengakui eksistensi hukum Islam di Indonesia,” tambahnya.

“PSI ahistoris dalam melihat sejarah berdirinya NKRI melalui rapat BPUPKI, PPKI, serta dinamika politik saat kemerdekaan,” kata Arwani.

Namun pengamat politik Lingkar Madani (Lima), Ray Rangkuti menyebutkan, apa yang disebut Grace sudah tepat. “Karena Perda itu atas nama agama tertentu, bukan atas nama kesepakatan agama-agama di Indonesia,” katanya, Jumat (16/11).

Jika dikaitkan ke Pancasila, masyarakat Indonesia adalah umat berketuhanan dan hidup berkeadilan dengan menyepakati aturan bersama. “Nah, dimaksudkan sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa itu, agama-agama di Indonesia, bukan sekadar agama mayoritas,” pungkas Ray. (dna/jpc/rus/lov/rmol/saz)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/