30 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Jangan Jadikan Danau Toba Tangki Septik Raksasa

Triadi wibowo/SUMUT POS
KERAMBA: Keramba Jaring Apung (KJA) memberikan dampak negatif terhadap lingkungan Danau Toba.

SUMUTPOS.CO – Perkembangan terkini soal pencemaran di Danau Toba, dirilis pihak Bank Dunia, Senin (19/11). Mereka memaparkan fakta empiris. Hasil riset mereka menunjukkan, tingkat pencemaran sangat parah terjadi di danau vulkanik terbesar di dunia itu Rilis Bank Dunia itu disampaikan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan (LBP), Senin yang sama, di kantornya di Jakarta.

“Saya sudah lama meminta pihak Bank Dunia melakukan penelitian ini,” kata LBP, anak asli Simargala, Silaen, Kabupaten Tobasa itu. Inti dari riset itu, menurut LBP: Danau Toba tercemar limbah. Kotor. Parah.

Begitu kondisi danau satu satunya di dunia yang bermetamorfosa dari letusan gunung berapi itu. Jutaan tahun lalu.

Mengapa sampai melibatkan pihak Bank Dunia?
Apakah karena kawasan danau terbesar di Asia Tenggara itu sedang diupayakan masuk UNESCO Global Geopark. Atau ada tujuan lain di balik itu? Tak dijelaskan oleh LBP.

Juga tentang resiko dari pencemaran itu. Sebahaya apa efek negatifnya terhadap kesehatan manusia. Apalagi bagi mereka yang mengonsumsi air danau. Atau bagi orang yang mandi langsung di air danau nan sejuk itu. Belum ada keterangan.

Kecuali LBP, pemilik sekolah DEL di Laguboti Tobasa itu berkata: lima puluh meter di kedalaman air danau, tidak didapati lagi oksigen. Akibat dari pencemaran yang semakin berat.

Sebenarnya kita tak terkejut atas hasil penelitian pihak Bank Dunia. Mengenai kondisi terkini danau seluas 1130 km persegi itu.

Soal pencemaran danau yang sudah melewati ambang batas. Baku mutu air danau yang tak laik konsumsi. Soal terjadinya endapan lumpur residu pakan ikan di dasar danau. Paling tidak di dasar tepi danau. Soal ini sudah gunjingan klasik di masyarakat. Bertahun. Bahkan sudah menjadi isu global.

Penjarahan Hutan Diriset Bank Dunia
Selain soal pencemaran berat di danau yang dijuluki negeri “Kepingan Sorga” itu, pihak Bank Dunia juga melaporkan temuan lain. Terjadi kerusakan hutan yang luas. Masif. Di seputaran pebukitan Toba. Di wilayah Bukit-Barisan. Kondisi parah. Akibat penjarahan dan perambahan hutan oleh manusia-manusia yang serakah dan tamak.

Soal penjarahan hutan temuan Bank Dunia ini pun, lagi-lagi tak mengejutkan kita. Justru hati ini sontak bergumam: “Bah, ai na tudia hamu nasai laon on”( Ke mana saja Anda selama ini?, Red).

Bukankah soal kerusakan ekosistem lingkungan di Bona Pasogit (tanah leluhur) itu adalah fakta jelek berkepanjangan. Terbiarkan. Tanpa tindakan?

Isu lingkungan ini sejak Sipokki Nangolngolan(anonimitas yang sering menjadi perumpamaan dari legenda Toba, berkaitan dengan rentang waktu dan zaman). Semua terjadi secara terang-benderang. Kasat mata.

Lantas, bila demikian, mengapa kita lelap berkutat pada pusaran penelitian ke penelitian?
Tindakan langsung apa sebenarnya yang hendak kita lakukan?

Sesungguhnya, yang kita nantikan selama ini adalah penanganan konkrit dari penguasa. Menyelamatkan Danau Toba. Dari pencemaran. Dari perusakan lingkungan hutan itu.

Apakah itu pencemaran dari limbah manusia. Dari kakus penduduk di pinggiran danau. Sampah rumah tangga. Dari toilet semua hotel di tepi danau. Atau dari kandang ternak babi milik siapa. Entah dari mana lagi?

Apakah juga pencemaran akibat ternak keramba jaring apung(KJA) masyarakat?
Apalagi oleh perusahaan PMA seperti PT AN. PT STP, anak perusahaan pakan ternak. PT J CI Tbk yang beroperasi sejak 2012. Perusahaan-perusahaan yang tak asing lagi. Meghebohkan selama ini.

Fakta-fakta lapangan ini yang membuat kita miris. Mengusik suasana batin.

Bukankah PT AN , dari Swiss itu dan perusahaan lain diberi izin oleh pemerintah “mencemari” danau itu selama belasan tahun?

Pencemaran akibat akumulasi volume pakan ikan di KJA. Ditabur ke danau. Menumpuk kotoran residu pakan ikan diperkirakan berjumlah PULUHAN JUTA TON. Selama belasan tahun. Residu yang sulit terurai air danau. Berlendir. Kelak, malapetaka di Toba?

Save Danau Toba
Tak ada kata lain. “Save” atau “Selamatkan Danau Toba”. Hasil riset Bank Dunia, cukup fakta yang terakhir. Mengingatkan kita, akan alam yang indah nan menawan. Dirusak.

Dicemari oleh segelintir orang, demi kepentingan sesaat. Mungkin juga karena berpikir sesat.

Kondisi seperti itu harus diakhiri. Danau Toba dengan segala habitat dan kehidupan manusia di sana harus bersih sepanjang zaman. Masa depan danau itu adalah untuk kehidupan generasi ke generasi.

Untuk itu, tindakan nyata di lapangan segera harus dilakukan.Bila pencemaran danau bersumber dari kakus beberapa hotel, pemerintah segera menginstruksikan untuk menutup saluran pembuangan limbah di sana. Mereka harus mengelola limbahnya sendiri. Demikian juga perusahan-perusahan lain di pinggiran Danau Toba.

Kakus masyarakat di seputaran tepi danau, juga segera ditertibkan. Diawali sosialisasi. Sanitasi yang limbahnya bermuara ke danau, segera dihentikan.

Pemerintah hendaknya melakukan pembinaan dan pengawasan. Bahwa Danau Toba bukan TANGKI SEPTIK raksasa. Ini kalau dibiarkan terus, menimbulkan efek negatif jangka panjang, akan kelangsungan lingkungan hidup di sana.

Dampak negatif lainnya bisa semakin menjalar. Misalnya, kemungkinan berjangkitnya berbagai penyakit. Penyakit yang mungkin saja sekarang sudah terjadi. Tanpa kita sadari. Penyakit yang mungkin juga masa inkubasinya masih berproses. Ketahuannya, nanti.

Penguasa dan Pengusaha Sadarlah
Hai para pengusaha yang mengeruk keuntungan dari potensi alam Danau Toba. Sadarlah. Berpikirlah tentang kelestarian alam di sana.

Termasuk pengusaha lokal. Para pemilik dan pengelola transportasi penumpang. Ratusan jumlahnya. Hilir-mudik di danau. Setiap tahun tumbuh terus. Baik feri penyeberangan yang juga mengangkut penumpang sekaligus dengan kendaraan.

Kebiasaan jelek para pemilik kapal penumpang selama ini: menjadikan Danau Toba sebagai tangki septik raksasa. Kakus di kapal tak punya penampungan limbah manusia. Semua jatuh langsung ke danau. Ini harus segera dibuat regulasi baru. Sebagai solusi tegas.

Pemerintah hendaknya memberi pemahaman bagi mereka. Bahwa harga alami nan asri lingkungan danau itu, tak bisa dinilai dari besaran materi yang disetor oleh pengusaha ke negara. Seperti pajak resmi dan sebagainya.

Sebaliknya, pemerintah juga mesti menyadari. Bahwa tindakan teledor atas pemberian izin ke PMA atau PMDN, harus dikoreksi. Untuk itu semua perusahan itu harus ditutup sesegera mungkin. Solusi kepada semua karyawan yang sempat bekerja di beberapa perusahaan KJA, hendaknya dicarikan jalan keluar.

Pemerintah lewat Depnaker setempat, mesti dapat mencari pekerjaan pengganti, bagi pekerja eks KJA. Diupayakan disalurkan ke beberapa perusahaan yang ada di seputaran Danau Toba.

Dampak negatif dari usaha KJA dan sumber pencemaran lainnya sudah melampaui batas toleransi standar kesehatan lingkungan hidup global.

Dan hasil penelitian Bank Dunia itu, bisa menjadi bukti sah. Cukup dijadikan rujukan dan jawaban pertanyaan atas kondisi terkini danau itu.

Banyak hal yang harus segera ditindaklanjuti pemerintah pusat. Begitu juga dengan pemerintah kota, kabupaten di sekeliling Danau Toba. Juga pemerintah provinsi Sumut. Termasuk Badan Pelaksana Otorita Danau Toba(BPODT) yang baru seumur jagung itu. Demikian juga para tokoh masyarakat dan agama. Para cendekiawan kalau ada. Mesti dilibatkan.

Semua diharapkan dapat bersinergi. Mari kita merevitalisasi Danau Toba dari pencemaran yang ada. Termasuk mereboisasi hutan yang gundul, eks penjarahan itu. Tentu semua upaya itu harus dibackup pemerintah.

Berupaya menciptakan danau “back to nature”. Ini mesti skala prioritas. Alam Danau Toba, modal besar untuk segala aspek kehidupan. Sepanjang zaman.

Mumpung populasi penduduknya masih sejumlah sekarang. Khususnya yang tinggal dan berkehidupan di bibir danau. Jangan menunggu populasi sampai membesar. Lebih sulit mengatasinya.

Hindari “NATO” Bagi semua masyarakat di seputaran Danau Toba. Hendaklah masalah ini menjadi beban dan tanggungjawab moral bersama.

Jagalah periuk nasi kita. Rumah kita. Jangan , dilumuri limbah kotor oleh orang-orang yang sesat tadi. Fakta yang patut kita lawan. Memang, berat tantangan dan tindakan nyata di lapangan. Demi tujuan yang dipapar di atas. Tentu tak segampang menorehkan tulisan ini. Tidak semudah memaparkan ajakan ini. Penulis sangat menyadari itu.

“Tapi, kalau tidak sekarang, kapan lagi. Kalau bukan kita, siapa lagi,” kata yang empunya jargon.

Sejak rilis Bank Dunia itu, tak ada kata lain: segera dilakukan aksi. Pasti bisa.

Bila perlu, penguasa harus bertindak tegas. Pada siapapun. Tanpa pandang bulu. Semisal, menjatuhkan sanksi hukum yang berat atau yang setimpal bagi para pelaku pencemaran. Selain sanksi administratif.

Karena selama ini, masyarakat banyak sudah jenuh dan apatis, khusus soal kasus pencemaran danau ini. Persepsi yang terbangun di otak publik selama ini, sikap pemerintah pusat dan daerah:”NATO”(No Action Talk Only).

Meski sebenarnya, sekarang ini, sedikit ada upaya pembenahan. Dari pemerintah daerah. Sifatnya per sektoral. Seperti dilakukan Bupati Samosir Rapidin Simbolon. Mengupayakan Zero KJA. Mengajak masyarakat peternak kembali menjadi nelayan tangkap.

Upaya melestarikan Danau Toba ke habitatnya dan reboisasi hutan yang dirambah tak akan mampu lagi dikerjakan hanya per sektoral. Masalahnya kompleks. Dan pencemaran dan perambahan hutan serta kerusakan lingkungan lainnya sudah lama terjadi. Baik oleh masyarakat itu sendiri maupun para pengusaha menengah dan besar.

Ingat. Kawasan pariwisata Danau Toba dan sekitarnya sudah masuk agenda pembangunan Kawasan Strategis Nasional.

Ini satu momen dan dapat memotivasi untuk melakukan gerakan penyelamatan Danau Toba.

Paling tidak, mengembalikan kondisi alami air danau yang dapat dan sehat diminum langsung. Tanpa dimasak.

Airnya tak mengganggu kesehatan bila diseruput langsung, dengan cara mencelupkan mulut ke permukaan danau. Di saat kita, tiba-tiba dahaga. Dan memang seperti itu dulu aslinya. Penulis, saksi untuk itu. (***)

Triadi wibowo/SUMUT POS
KERAMBA: Keramba Jaring Apung (KJA) memberikan dampak negatif terhadap lingkungan Danau Toba.

SUMUTPOS.CO – Perkembangan terkini soal pencemaran di Danau Toba, dirilis pihak Bank Dunia, Senin (19/11). Mereka memaparkan fakta empiris. Hasil riset mereka menunjukkan, tingkat pencemaran sangat parah terjadi di danau vulkanik terbesar di dunia itu Rilis Bank Dunia itu disampaikan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan (LBP), Senin yang sama, di kantornya di Jakarta.

“Saya sudah lama meminta pihak Bank Dunia melakukan penelitian ini,” kata LBP, anak asli Simargala, Silaen, Kabupaten Tobasa itu. Inti dari riset itu, menurut LBP: Danau Toba tercemar limbah. Kotor. Parah.

Begitu kondisi danau satu satunya di dunia yang bermetamorfosa dari letusan gunung berapi itu. Jutaan tahun lalu.

Mengapa sampai melibatkan pihak Bank Dunia?
Apakah karena kawasan danau terbesar di Asia Tenggara itu sedang diupayakan masuk UNESCO Global Geopark. Atau ada tujuan lain di balik itu? Tak dijelaskan oleh LBP.

Juga tentang resiko dari pencemaran itu. Sebahaya apa efek negatifnya terhadap kesehatan manusia. Apalagi bagi mereka yang mengonsumsi air danau. Atau bagi orang yang mandi langsung di air danau nan sejuk itu. Belum ada keterangan.

Kecuali LBP, pemilik sekolah DEL di Laguboti Tobasa itu berkata: lima puluh meter di kedalaman air danau, tidak didapati lagi oksigen. Akibat dari pencemaran yang semakin berat.

Sebenarnya kita tak terkejut atas hasil penelitian pihak Bank Dunia. Mengenai kondisi terkini danau seluas 1130 km persegi itu.

Soal pencemaran danau yang sudah melewati ambang batas. Baku mutu air danau yang tak laik konsumsi. Soal terjadinya endapan lumpur residu pakan ikan di dasar danau. Paling tidak di dasar tepi danau. Soal ini sudah gunjingan klasik di masyarakat. Bertahun. Bahkan sudah menjadi isu global.

Penjarahan Hutan Diriset Bank Dunia
Selain soal pencemaran berat di danau yang dijuluki negeri “Kepingan Sorga” itu, pihak Bank Dunia juga melaporkan temuan lain. Terjadi kerusakan hutan yang luas. Masif. Di seputaran pebukitan Toba. Di wilayah Bukit-Barisan. Kondisi parah. Akibat penjarahan dan perambahan hutan oleh manusia-manusia yang serakah dan tamak.

Soal penjarahan hutan temuan Bank Dunia ini pun, lagi-lagi tak mengejutkan kita. Justru hati ini sontak bergumam: “Bah, ai na tudia hamu nasai laon on”( Ke mana saja Anda selama ini?, Red).

Bukankah soal kerusakan ekosistem lingkungan di Bona Pasogit (tanah leluhur) itu adalah fakta jelek berkepanjangan. Terbiarkan. Tanpa tindakan?

Isu lingkungan ini sejak Sipokki Nangolngolan(anonimitas yang sering menjadi perumpamaan dari legenda Toba, berkaitan dengan rentang waktu dan zaman). Semua terjadi secara terang-benderang. Kasat mata.

Lantas, bila demikian, mengapa kita lelap berkutat pada pusaran penelitian ke penelitian?
Tindakan langsung apa sebenarnya yang hendak kita lakukan?

Sesungguhnya, yang kita nantikan selama ini adalah penanganan konkrit dari penguasa. Menyelamatkan Danau Toba. Dari pencemaran. Dari perusakan lingkungan hutan itu.

Apakah itu pencemaran dari limbah manusia. Dari kakus penduduk di pinggiran danau. Sampah rumah tangga. Dari toilet semua hotel di tepi danau. Atau dari kandang ternak babi milik siapa. Entah dari mana lagi?

Apakah juga pencemaran akibat ternak keramba jaring apung(KJA) masyarakat?
Apalagi oleh perusahaan PMA seperti PT AN. PT STP, anak perusahaan pakan ternak. PT J CI Tbk yang beroperasi sejak 2012. Perusahaan-perusahaan yang tak asing lagi. Meghebohkan selama ini.

Fakta-fakta lapangan ini yang membuat kita miris. Mengusik suasana batin.

Bukankah PT AN , dari Swiss itu dan perusahaan lain diberi izin oleh pemerintah “mencemari” danau itu selama belasan tahun?

Pencemaran akibat akumulasi volume pakan ikan di KJA. Ditabur ke danau. Menumpuk kotoran residu pakan ikan diperkirakan berjumlah PULUHAN JUTA TON. Selama belasan tahun. Residu yang sulit terurai air danau. Berlendir. Kelak, malapetaka di Toba?

Save Danau Toba
Tak ada kata lain. “Save” atau “Selamatkan Danau Toba”. Hasil riset Bank Dunia, cukup fakta yang terakhir. Mengingatkan kita, akan alam yang indah nan menawan. Dirusak.

Dicemari oleh segelintir orang, demi kepentingan sesaat. Mungkin juga karena berpikir sesat.

Kondisi seperti itu harus diakhiri. Danau Toba dengan segala habitat dan kehidupan manusia di sana harus bersih sepanjang zaman. Masa depan danau itu adalah untuk kehidupan generasi ke generasi.

Untuk itu, tindakan nyata di lapangan segera harus dilakukan.Bila pencemaran danau bersumber dari kakus beberapa hotel, pemerintah segera menginstruksikan untuk menutup saluran pembuangan limbah di sana. Mereka harus mengelola limbahnya sendiri. Demikian juga perusahan-perusahan lain di pinggiran Danau Toba.

Kakus masyarakat di seputaran tepi danau, juga segera ditertibkan. Diawali sosialisasi. Sanitasi yang limbahnya bermuara ke danau, segera dihentikan.

Pemerintah hendaknya melakukan pembinaan dan pengawasan. Bahwa Danau Toba bukan TANGKI SEPTIK raksasa. Ini kalau dibiarkan terus, menimbulkan efek negatif jangka panjang, akan kelangsungan lingkungan hidup di sana.

Dampak negatif lainnya bisa semakin menjalar. Misalnya, kemungkinan berjangkitnya berbagai penyakit. Penyakit yang mungkin saja sekarang sudah terjadi. Tanpa kita sadari. Penyakit yang mungkin juga masa inkubasinya masih berproses. Ketahuannya, nanti.

Penguasa dan Pengusaha Sadarlah
Hai para pengusaha yang mengeruk keuntungan dari potensi alam Danau Toba. Sadarlah. Berpikirlah tentang kelestarian alam di sana.

Termasuk pengusaha lokal. Para pemilik dan pengelola transportasi penumpang. Ratusan jumlahnya. Hilir-mudik di danau. Setiap tahun tumbuh terus. Baik feri penyeberangan yang juga mengangkut penumpang sekaligus dengan kendaraan.

Kebiasaan jelek para pemilik kapal penumpang selama ini: menjadikan Danau Toba sebagai tangki septik raksasa. Kakus di kapal tak punya penampungan limbah manusia. Semua jatuh langsung ke danau. Ini harus segera dibuat regulasi baru. Sebagai solusi tegas.

Pemerintah hendaknya memberi pemahaman bagi mereka. Bahwa harga alami nan asri lingkungan danau itu, tak bisa dinilai dari besaran materi yang disetor oleh pengusaha ke negara. Seperti pajak resmi dan sebagainya.

Sebaliknya, pemerintah juga mesti menyadari. Bahwa tindakan teledor atas pemberian izin ke PMA atau PMDN, harus dikoreksi. Untuk itu semua perusahan itu harus ditutup sesegera mungkin. Solusi kepada semua karyawan yang sempat bekerja di beberapa perusahaan KJA, hendaknya dicarikan jalan keluar.

Pemerintah lewat Depnaker setempat, mesti dapat mencari pekerjaan pengganti, bagi pekerja eks KJA. Diupayakan disalurkan ke beberapa perusahaan yang ada di seputaran Danau Toba.

Dampak negatif dari usaha KJA dan sumber pencemaran lainnya sudah melampaui batas toleransi standar kesehatan lingkungan hidup global.

Dan hasil penelitian Bank Dunia itu, bisa menjadi bukti sah. Cukup dijadikan rujukan dan jawaban pertanyaan atas kondisi terkini danau itu.

Banyak hal yang harus segera ditindaklanjuti pemerintah pusat. Begitu juga dengan pemerintah kota, kabupaten di sekeliling Danau Toba. Juga pemerintah provinsi Sumut. Termasuk Badan Pelaksana Otorita Danau Toba(BPODT) yang baru seumur jagung itu. Demikian juga para tokoh masyarakat dan agama. Para cendekiawan kalau ada. Mesti dilibatkan.

Semua diharapkan dapat bersinergi. Mari kita merevitalisasi Danau Toba dari pencemaran yang ada. Termasuk mereboisasi hutan yang gundul, eks penjarahan itu. Tentu semua upaya itu harus dibackup pemerintah.

Berupaya menciptakan danau “back to nature”. Ini mesti skala prioritas. Alam Danau Toba, modal besar untuk segala aspek kehidupan. Sepanjang zaman.

Mumpung populasi penduduknya masih sejumlah sekarang. Khususnya yang tinggal dan berkehidupan di bibir danau. Jangan menunggu populasi sampai membesar. Lebih sulit mengatasinya.

Hindari “NATO” Bagi semua masyarakat di seputaran Danau Toba. Hendaklah masalah ini menjadi beban dan tanggungjawab moral bersama.

Jagalah periuk nasi kita. Rumah kita. Jangan , dilumuri limbah kotor oleh orang-orang yang sesat tadi. Fakta yang patut kita lawan. Memang, berat tantangan dan tindakan nyata di lapangan. Demi tujuan yang dipapar di atas. Tentu tak segampang menorehkan tulisan ini. Tidak semudah memaparkan ajakan ini. Penulis sangat menyadari itu.

“Tapi, kalau tidak sekarang, kapan lagi. Kalau bukan kita, siapa lagi,” kata yang empunya jargon.

Sejak rilis Bank Dunia itu, tak ada kata lain: segera dilakukan aksi. Pasti bisa.

Bila perlu, penguasa harus bertindak tegas. Pada siapapun. Tanpa pandang bulu. Semisal, menjatuhkan sanksi hukum yang berat atau yang setimpal bagi para pelaku pencemaran. Selain sanksi administratif.

Karena selama ini, masyarakat banyak sudah jenuh dan apatis, khusus soal kasus pencemaran danau ini. Persepsi yang terbangun di otak publik selama ini, sikap pemerintah pusat dan daerah:”NATO”(No Action Talk Only).

Meski sebenarnya, sekarang ini, sedikit ada upaya pembenahan. Dari pemerintah daerah. Sifatnya per sektoral. Seperti dilakukan Bupati Samosir Rapidin Simbolon. Mengupayakan Zero KJA. Mengajak masyarakat peternak kembali menjadi nelayan tangkap.

Upaya melestarikan Danau Toba ke habitatnya dan reboisasi hutan yang dirambah tak akan mampu lagi dikerjakan hanya per sektoral. Masalahnya kompleks. Dan pencemaran dan perambahan hutan serta kerusakan lingkungan lainnya sudah lama terjadi. Baik oleh masyarakat itu sendiri maupun para pengusaha menengah dan besar.

Ingat. Kawasan pariwisata Danau Toba dan sekitarnya sudah masuk agenda pembangunan Kawasan Strategis Nasional.

Ini satu momen dan dapat memotivasi untuk melakukan gerakan penyelamatan Danau Toba.

Paling tidak, mengembalikan kondisi alami air danau yang dapat dan sehat diminum langsung. Tanpa dimasak.

Airnya tak mengganggu kesehatan bila diseruput langsung, dengan cara mencelupkan mulut ke permukaan danau. Di saat kita, tiba-tiba dahaga. Dan memang seperti itu dulu aslinya. Penulis, saksi untuk itu. (***)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/