JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Narapidana kasus duga-an penodaan Agama Islam di Tanjungbalai, Meiliana mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Kini, nasib pengkritik volume azan itu di tangan MA Ranto Sibarani, kuasa hukum Meiliana mengatakan, pihaknya telah mengajukan memori kasasi pada Rabu (21/11) lalu. Dia berharap, hakim kasasi nantinya dapat membebaskan Meiliana dari semua tuntutan hukum.
“Kami berharap hakim menerima permohonan kasasi dengan membatalkan putusan majelis hakim Pengadilan Tinggi dengan menyatakan klien kami tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana penodaan agama,” kata Ranto kepada wartawan, Sabtu (24/11).
Poin dalam memori kasasi yang mereka ajukan di antaranya, hakim mempertimbangkan keterangan saksi-saksi yang tidak bisa dibuktikan, tapi menyangkal keterangan Meiliana yang membantah tidak pernah mengatakan apa yang dituduhkan.
Ranto mengklaim tidak ada bukti Meiliana mengucapkan apa yang dituduhkan, kecuali surat pernyataan yang dibuat orang lain. “Bukti toa dan ampli yang diajukan oleh jaksa malah menjelaskan itu perkara terkait volume, tidak bisa disamakan dengan melarang azan, apalagi penodaan agama,” urainya.
Selain itu, lanjutnya, jaksa dan penyidik terkesan menunggu keluar fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Utara, baru menetapkan Meiliana tersangka dan menahan Meliana, sementara fatwa tersebut malah tidak berani dimasukkan sebagai barang bukti, karena prosedur mengeluarkannya tidak lazim.
“Majelis hakim dalam pertimbangannya menyebutkan fatwa MUI tersebut, namun dalam hirarki perundang-undangan kita bahwa fatwa bukan sebagai dasar penegakan hukum, apalagi hukum pidana,” paparnya. Ranto optimistis MA akan jeli melihat persoalan yang ada, sehingga Meiliana dapat dibebaskan dari seluruh hukuman.
Diketahui, Pengadilan Tinggi (PT) Medan menguatkan putusan Pengadilan Negeri Medan terhadap terdakwa Meiliana. Ia tetap dijatuhi hukuman selama 1 tahun 6 bulan setelah terbukti melakukan penodaan agama Islam karena memprotes suara azan pada 29 Juli 2016 silam.
Dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU), kasus yang menjerat Meiliana bermula ketika ia mempertanyakan suara azan dari Masjid Al-Maksum di Jalan Karya, Lingkungan 1, Kelurahan Tanjungbalai Kota, Kecamatan Tanjungbalai Selatan, Kota Tanjung Balai pada Juli 2016 lalu.
Letak masjid berdekatan dengan rumah Meiliana. Meiliana lantas mendatangi saksi Kasini di kedai milik saksi. Meiliana mengucapkan kalimat bernada menista. “Lu lu ya, itu masjid lu emang bising pekak lo, hari-hari bising tak bikin tenang,” ujar Meiliana.
Selain Kasini, ujaran itu pula terdengar oleh saksi, Haris Tua Marpaung dan beberapa saksi lainnya. Ucapan Meiliana ini berbuntut panjang. Akibatnya terjadi kerusuhan di Tanjungbalai. Sejumlah vihara dan klenteng dibakar dan diamuk warga Tanjungbalai. Insiden ini pun sempat menjadi sorotan luas.
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumuatera Utara No. 001/KF/MUI-SU/I/2017 menegaskan ucapan Meiliana atas suara yang berasal dari Masjid Al-Maksum merupakan perendahan dan penistaan terhadap Agama Islam.
Persidangan tersangka Meiliana digelar di Pengadilan Negeri Medan berdasarkan Fatwa Mahkamah Agung RI No. 87/KMA/SK/V/2018 Tanggal 7 Mei 2018 perihal Penunjukan Pengadilan Negeri (PN) Medan untuk memeriksa dan memutus perkara pidana atas nama Meiliana. (bbs)