24 C
Medan
Tuesday, November 5, 2024
spot_img

Penasaran Mempelai Pria, Warga Menunggu di Regol Magangan

Plangkahan, Awali Prosesi Pernikahan Putri Sultan Hamengku Buwono X

Rangkaian prosesi pernikahan putri bungsu Sri Sultan Hamengku Buwono X GKR Bendara dimulai kemarin. Prosesi pertama adalah plangkahan dan ngabekten.

OLEG WIDOYOKO, Jogjakarta

Upacara plangkahan dimulai sekitar pukul 09.30 WIB di Keraton Kilen. Lima putri Sultan HB X, GKR Pembayun, GKR Condrokirono, GKR Maduretno, GRAj Nurabra Juwita, dan GKR Bendoro, hadir terlebih dahulu. Dengan kebaya warna sama, mereka tiba di Keraton Kilen bersama istri-istri pengageng keraton.

Beberapa saat kemudian Sri Sultan HB X dan Permaisuri GKR Hemas tiba dan memerintah calon pengantin putri menyerahkan uba rampe plangkahan kepada GRAj Nurabra Juwita. Plangkahan merupakan simbol kerelaan kakak yang akan dilewati adiknya yang bakal menikah terlebih dahulu. Di antara lima putri Sri Sultan, Nurabra Juwita dan Nurastuti Wijareni atau Jeng Reni (kini bergelar GKR Bendara) yang belum menikah. Nurabra adalah putri keempat, sedangkan Reni kelima.

Putri sulung GKR Pembayun menikah dengan KPH Wironegoro, GKR Condrokirono menikahi KRT Suryokusumo, dan GKR Maduretno menikah dengan KRT Purboningrat. Selasa besok, GKR Bendara akan menikah dengan KPH Yudanegara yang memiliki nama asli Achmad Ubaidillah.

Dalam uba rampe yang dibawa dengan menggunakan dua nampan dan satu bokor kuningan itu, terdapat pakaian sak pengadeg (bawahan hingga atasan), sepatu, tas, dan dompet. Selain itu, diserahkan satu paket pisang sanggan yang terdiri atas pisang raja dua tangkeb, suruh ayu, gambir, kembang telon, dan benang lawe.

Setelah penyerahan yang disaksikan langsung oleh Sri Sultan HB X, GKR Pembayun selaku cepeng damel keputren (koordinator Keputren) memberikan aba-aba agar GKR Bendara melakukan prosesi ngabekten (menyembah dan meminta restu) kepada Sri Sultan HB X dan Ratu Hemas. Dalam prosesi itu, GKR Bendara atau yang akrab disapa Jeng Reni melakukan laku ndhodhok (jalan jongkok) di atas karpet bertabur bunga melati untuk mencium lutut Sri Sultan, ayahnya. Hingga prosesi berakhir, Sri Sultan yang mengenakan surjan oranye-kuning tidak melontarkan sepatah kata pun.

Setelah upacara ngabekten, GKR Pembayun meminta pendamping calon pengantin putri BRAy Suryadiningrat dan BRAy Suryamentaram membawa putri dari Keraton Kilen ke Keputren. Setelah memasuki kompleks Keputren, GKR Bendara bersama GKR Hemas dan sesepuh keraton lain melakukan transit di Bangsal Sekarkedhaton.

Sedangkan calon pengantin pria menjalani prosesi nyantri setelah dijemput dari Dalem Mangkubumen menuju Bangsal Ksatriyan. Penjemputan dilakukan KRT Jatiningrat dan KRT Yudahadiningrat. Perjalanan dari Mangkubumen menuju regol Magangan menggunakan tiga kereta. Yaitu, Kyai Kuthakaraharja yang dinaiki Jatiningrat dan Yudahadiningrat, Puspaka Manik yang digunakan pengantin pria, dan Kyai Kus Gading dinaiki keluarga pengantin laki-laki.

Di Regol Magangan, ratusan warga Jogjakarta sudah menunggu. Warga yang rata-rata bermukim di sekitar keraton mengetahui pengantin pria akan tiba di situ sekitar pukul 11.00 dari pemberitaan media massa. “Mumpung liburan, sekalian melihat ke sini. Kepengin lihat Mas Ubai (panggilan KPH Yudanegara, Red) langsung,” ujar Lutfhi Hasan, warga Pugeran yang datang bersama istri dan anaknya.

Setelah tiba di Magangan, Yudanegara yang juga Kasubid Komunikasi Politik Bidang Media Cetak Setwapres diantar menghadap KGPH Hadiwinoto selaku cepeng damel Ksatriyan di Bangsal Ksatriyan. Ubai dan keluarga beristirahat di Gedhong Srikaton dan kembali ke Ksatriyan untuk meneruskan prosesi nyantri.

Menurut GBPH Prabukusumo, tradisi nyantri dilakukan untuk semua calon mantu keraton, baik perempuan maupun laki-laki, sebagai sarana pengenalan kepada anggota keluarga keraton. Dahulu prosesi tersebut dilakukan selama 40 hari menjelang menikah, berbarengan dengan prosesi pingitan.

Namun, karena perkembangan zaman, sekarang dilakukan secukupnya, menjelang hari H pernikahan sebagai simbol adaptasi di lingkungan keraton. “Tujuannya, pengenalan kepada anggota keluarga keraton untuk mengakrabkan supaya keraton bisa mengenali calon mantu,” ujar Prabukusumo di Bangsal Ksatriyan.

Sebelumnya, Nurabra Juwita mengatakan tidak meminta barang istimewa. Sebagian barang merupakan pilihan Jeng Reni dan Ubai serta orang tuanya. Meski begitu, ada juga yang dia pilih sendiri. “Tapi, gak ditentuin kok harus merek apa atau gimana,” ujar Jeng Abra—panggilan Nurabra Juwita.

Dia tidak mempermasalahkan adiknya menikah terlebih dahulu. Putri keempat Sri Sultan yang lahir 24 Desember 1983 itu juga menyatakan merestui pernikahan adiknya dan tidak meminta permohonan khusus. Meski demikian, Jeng Abra tetap harus menjalani upacara plangkahan sebagai ritual di keraton.

“Jodoh orang kan masing-masing, bukan kita yang ngatur. Kerena itu, bagi saya, tidak masalah adik saya duluan menikah. Saya ingin berkarir dulu,” tutur Jeng Abra yang berkarir di Jakarta bidang IT.

Jeng Abra menuturkan, sebelum dilamar, adiknya melakukan pembicaraan pribadi dengan dirinya. Jeng Reni sempat menyatakan rasa sungkan karena harus menikah terlebih dahulu. Namun, sebagai kakak, dia justru tidak mempermasalahkan itu.

“Sebelumnya memang sempat ada pembicaraan tentang persoalan ini. Sebab, jika Reni menikah, berarti tinggal saya yang belum. Sebenarnya dia agak berat, tetapi saya mendorong. Ya memang melangkahi. Tapi, saya tidak masalah karena jodoh orang sendiri-sendiri,” tuturnya.

Dia berpesan agar setelah menikah, Jeng Reni maupun Ubai tidak melupakan keluarga. “Saya tidak bisa memberikan pesan khusus. Kurang lebih sama dengan semua orang, yakni agar semua berjalan baik. Saya hanya mendoakan agar mereka bahagia dan paling penting adalah tidak melupakan keluarga,” pungkas Jeng Abra (*)

Plangkahan, Awali Prosesi Pernikahan Putri Sultan Hamengku Buwono X

Rangkaian prosesi pernikahan putri bungsu Sri Sultan Hamengku Buwono X GKR Bendara dimulai kemarin. Prosesi pertama adalah plangkahan dan ngabekten.

OLEG WIDOYOKO, Jogjakarta

Upacara plangkahan dimulai sekitar pukul 09.30 WIB di Keraton Kilen. Lima putri Sultan HB X, GKR Pembayun, GKR Condrokirono, GKR Maduretno, GRAj Nurabra Juwita, dan GKR Bendoro, hadir terlebih dahulu. Dengan kebaya warna sama, mereka tiba di Keraton Kilen bersama istri-istri pengageng keraton.

Beberapa saat kemudian Sri Sultan HB X dan Permaisuri GKR Hemas tiba dan memerintah calon pengantin putri menyerahkan uba rampe plangkahan kepada GRAj Nurabra Juwita. Plangkahan merupakan simbol kerelaan kakak yang akan dilewati adiknya yang bakal menikah terlebih dahulu. Di antara lima putri Sri Sultan, Nurabra Juwita dan Nurastuti Wijareni atau Jeng Reni (kini bergelar GKR Bendara) yang belum menikah. Nurabra adalah putri keempat, sedangkan Reni kelima.

Putri sulung GKR Pembayun menikah dengan KPH Wironegoro, GKR Condrokirono menikahi KRT Suryokusumo, dan GKR Maduretno menikah dengan KRT Purboningrat. Selasa besok, GKR Bendara akan menikah dengan KPH Yudanegara yang memiliki nama asli Achmad Ubaidillah.

Dalam uba rampe yang dibawa dengan menggunakan dua nampan dan satu bokor kuningan itu, terdapat pakaian sak pengadeg (bawahan hingga atasan), sepatu, tas, dan dompet. Selain itu, diserahkan satu paket pisang sanggan yang terdiri atas pisang raja dua tangkeb, suruh ayu, gambir, kembang telon, dan benang lawe.

Setelah penyerahan yang disaksikan langsung oleh Sri Sultan HB X, GKR Pembayun selaku cepeng damel keputren (koordinator Keputren) memberikan aba-aba agar GKR Bendara melakukan prosesi ngabekten (menyembah dan meminta restu) kepada Sri Sultan HB X dan Ratu Hemas. Dalam prosesi itu, GKR Bendara atau yang akrab disapa Jeng Reni melakukan laku ndhodhok (jalan jongkok) di atas karpet bertabur bunga melati untuk mencium lutut Sri Sultan, ayahnya. Hingga prosesi berakhir, Sri Sultan yang mengenakan surjan oranye-kuning tidak melontarkan sepatah kata pun.

Setelah upacara ngabekten, GKR Pembayun meminta pendamping calon pengantin putri BRAy Suryadiningrat dan BRAy Suryamentaram membawa putri dari Keraton Kilen ke Keputren. Setelah memasuki kompleks Keputren, GKR Bendara bersama GKR Hemas dan sesepuh keraton lain melakukan transit di Bangsal Sekarkedhaton.

Sedangkan calon pengantin pria menjalani prosesi nyantri setelah dijemput dari Dalem Mangkubumen menuju Bangsal Ksatriyan. Penjemputan dilakukan KRT Jatiningrat dan KRT Yudahadiningrat. Perjalanan dari Mangkubumen menuju regol Magangan menggunakan tiga kereta. Yaitu, Kyai Kuthakaraharja yang dinaiki Jatiningrat dan Yudahadiningrat, Puspaka Manik yang digunakan pengantin pria, dan Kyai Kus Gading dinaiki keluarga pengantin laki-laki.

Di Regol Magangan, ratusan warga Jogjakarta sudah menunggu. Warga yang rata-rata bermukim di sekitar keraton mengetahui pengantin pria akan tiba di situ sekitar pukul 11.00 dari pemberitaan media massa. “Mumpung liburan, sekalian melihat ke sini. Kepengin lihat Mas Ubai (panggilan KPH Yudanegara, Red) langsung,” ujar Lutfhi Hasan, warga Pugeran yang datang bersama istri dan anaknya.

Setelah tiba di Magangan, Yudanegara yang juga Kasubid Komunikasi Politik Bidang Media Cetak Setwapres diantar menghadap KGPH Hadiwinoto selaku cepeng damel Ksatriyan di Bangsal Ksatriyan. Ubai dan keluarga beristirahat di Gedhong Srikaton dan kembali ke Ksatriyan untuk meneruskan prosesi nyantri.

Menurut GBPH Prabukusumo, tradisi nyantri dilakukan untuk semua calon mantu keraton, baik perempuan maupun laki-laki, sebagai sarana pengenalan kepada anggota keluarga keraton. Dahulu prosesi tersebut dilakukan selama 40 hari menjelang menikah, berbarengan dengan prosesi pingitan.

Namun, karena perkembangan zaman, sekarang dilakukan secukupnya, menjelang hari H pernikahan sebagai simbol adaptasi di lingkungan keraton. “Tujuannya, pengenalan kepada anggota keluarga keraton untuk mengakrabkan supaya keraton bisa mengenali calon mantu,” ujar Prabukusumo di Bangsal Ksatriyan.

Sebelumnya, Nurabra Juwita mengatakan tidak meminta barang istimewa. Sebagian barang merupakan pilihan Jeng Reni dan Ubai serta orang tuanya. Meski begitu, ada juga yang dia pilih sendiri. “Tapi, gak ditentuin kok harus merek apa atau gimana,” ujar Jeng Abra—panggilan Nurabra Juwita.

Dia tidak mempermasalahkan adiknya menikah terlebih dahulu. Putri keempat Sri Sultan yang lahir 24 Desember 1983 itu juga menyatakan merestui pernikahan adiknya dan tidak meminta permohonan khusus. Meski demikian, Jeng Abra tetap harus menjalani upacara plangkahan sebagai ritual di keraton.

“Jodoh orang kan masing-masing, bukan kita yang ngatur. Kerena itu, bagi saya, tidak masalah adik saya duluan menikah. Saya ingin berkarir dulu,” tutur Jeng Abra yang berkarir di Jakarta bidang IT.

Jeng Abra menuturkan, sebelum dilamar, adiknya melakukan pembicaraan pribadi dengan dirinya. Jeng Reni sempat menyatakan rasa sungkan karena harus menikah terlebih dahulu. Namun, sebagai kakak, dia justru tidak mempermasalahkan itu.

“Sebelumnya memang sempat ada pembicaraan tentang persoalan ini. Sebab, jika Reni menikah, berarti tinggal saya yang belum. Sebenarnya dia agak berat, tetapi saya mendorong. Ya memang melangkahi. Tapi, saya tidak masalah karena jodoh orang sendiri-sendiri,” tuturnya.

Dia berpesan agar setelah menikah, Jeng Reni maupun Ubai tidak melupakan keluarga. “Saya tidak bisa memberikan pesan khusus. Kurang lebih sama dengan semua orang, yakni agar semua berjalan baik. Saya hanya mendoakan agar mereka bahagia dan paling penting adalah tidak melupakan keluarga,” pungkas Jeng Abra (*)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/