26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Jangga Siregar: Medan Kota Spa

file/sumu tpos
Jangga Siregar

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Anggota Komisi C DPRD Medan, Jangga Siregar menjuluki Kota Medan sebagai Koya Spa. Sebab, jumlah panti pijat dan Spa di Kota Medan mencapai ratusan. Ironisnya, panti pijat yang ada tersebut mayoritas telah berubah fungsi diduga sebagai tempat prostitusi terselubung.

“Berdasarkan daftar dari Dinas Pariwisata (Medan), jumlah spa dan panti pijat mencapai 300-an
Jumlah itu menjadi terbanyak di Indonesia, sehingga Medan bisa dijuluki kota spa (panti pijat),” ujarnya saat rapat bersama perwakilan tempat hiburan di gedung DPRD Medan, Selasa (29/1).

Menurut dia, hasil kunjungan keluar kota beberapa waktu lalu, jumlah panti pijat atau spa di Bandung dan Surabaya hanya berkisar 100. Sementara di Medan melebih dari 100. “Jumlah 300 itu yang terdaftar, belum lagi yang tidak. Banyak kita cek di lapangan yang belum terdaftar,” kata Jangga.

Oleh karenanya, sambung Jangga, jumlah 300 tersebut masih mungkin bertambah lagi. Sebab, 300 panti pijat dan spa itu yang terdaftar dan memiliki izin. Sedangkan, yang tidak memiliki izin belum terdata. “Kita prediksi masih banyak panti pijat dan spa yang belum terdaftar,” cetusnya.

Ia mengaku, berdasarkan inspeksi mendadak (sidak) beberapa waktu lalu di sejumlah tempat hiburan atau spa, tawaran prostitusi itu bahkan dilakukan ketika di pintu masuk. “Di Blow Art (Spa), tawaran ‘esek-esek’ disampaikan ketika berhadapan dengan customer servis-nya, dan terang-terangan disampaikan. Ada beberapa tempat lain juga seperti itu, saat sidak itu kita temukan,” ungkapnya.

Sementara, perwakilan manajemen Blow Art, Zulkifli Siregar membantah tudingan tersebut. Menurutnya, tempat usahanya tidak seperti yang disampaikan oleh anggota dewan. “Tidak seperti itu, tidak ada prostitusi di tempat kami. Pegawai yang kemarin menawarkan seperti itu sudah dipecat,” kilahnya.

Lian Sitanggang, perwakilan Grand Diamond Spa menyebutkan, besaran tarif pajak yang dibebankan sebesar 30 persen bagi panti pijat atau tempat hiburan dikeluhkan para pengusaha. Tarif tersebut dianggapnya terlalu besar dan bisa mengurangi jumlah pengunjung.

“Tarif pajak hiburan 30 persen terlalu besar, karena pajak itu oleh pengusaha dibebankan kepada pelanggan. Maka, secara tidak langsung mengurangi jumlah pelanggan yang datang karena akan berpengaruh terhadap harga,” keluhnya.

Selain itu, dia juga mengeluhkan adanya pemasangan tapping box oleh Badan Pengelola Pajak dan Retribusi Daerah (BPPRD) Kota Medan. Kata Lian, keberadaan tapping box mempengaruhi perhitungan pajak yang selama ini menggunakan metode self assesment. “Tidak semua tempat hiburan, panti pijat ataupun spa yang dipasang tapping box. Kalau mau adil, dipasang semua tempat hiburan,” ketusnya.

Menanggapi itu, Ketua Komisi C DPRD Medan, Boydo HK Panjaitan menyarankan agar pengusaha tempat hiburan membuat asosiasi. Dengan begitu, ketika ada usulan atau keberatan tentang regulasi bisa disampaikan melalui asosiasi secara resmi. “Misalkan tarif pajak 30 persen terlalu besar, bisa diajukan ke DPRD untuk penurunan. Kami pun bisa menggunakan hak inisiatif untuk merevisi aturan yang ada termasuk tentang jam operasional,” katanya. (ris/ila)

file/sumu tpos
Jangga Siregar

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Anggota Komisi C DPRD Medan, Jangga Siregar menjuluki Kota Medan sebagai Koya Spa. Sebab, jumlah panti pijat dan Spa di Kota Medan mencapai ratusan. Ironisnya, panti pijat yang ada tersebut mayoritas telah berubah fungsi diduga sebagai tempat prostitusi terselubung.

“Berdasarkan daftar dari Dinas Pariwisata (Medan), jumlah spa dan panti pijat mencapai 300-an
Jumlah itu menjadi terbanyak di Indonesia, sehingga Medan bisa dijuluki kota spa (panti pijat),” ujarnya saat rapat bersama perwakilan tempat hiburan di gedung DPRD Medan, Selasa (29/1).

Menurut dia, hasil kunjungan keluar kota beberapa waktu lalu, jumlah panti pijat atau spa di Bandung dan Surabaya hanya berkisar 100. Sementara di Medan melebih dari 100. “Jumlah 300 itu yang terdaftar, belum lagi yang tidak. Banyak kita cek di lapangan yang belum terdaftar,” kata Jangga.

Oleh karenanya, sambung Jangga, jumlah 300 tersebut masih mungkin bertambah lagi. Sebab, 300 panti pijat dan spa itu yang terdaftar dan memiliki izin. Sedangkan, yang tidak memiliki izin belum terdata. “Kita prediksi masih banyak panti pijat dan spa yang belum terdaftar,” cetusnya.

Ia mengaku, berdasarkan inspeksi mendadak (sidak) beberapa waktu lalu di sejumlah tempat hiburan atau spa, tawaran prostitusi itu bahkan dilakukan ketika di pintu masuk. “Di Blow Art (Spa), tawaran ‘esek-esek’ disampaikan ketika berhadapan dengan customer servis-nya, dan terang-terangan disampaikan. Ada beberapa tempat lain juga seperti itu, saat sidak itu kita temukan,” ungkapnya.

Sementara, perwakilan manajemen Blow Art, Zulkifli Siregar membantah tudingan tersebut. Menurutnya, tempat usahanya tidak seperti yang disampaikan oleh anggota dewan. “Tidak seperti itu, tidak ada prostitusi di tempat kami. Pegawai yang kemarin menawarkan seperti itu sudah dipecat,” kilahnya.

Lian Sitanggang, perwakilan Grand Diamond Spa menyebutkan, besaran tarif pajak yang dibebankan sebesar 30 persen bagi panti pijat atau tempat hiburan dikeluhkan para pengusaha. Tarif tersebut dianggapnya terlalu besar dan bisa mengurangi jumlah pengunjung.

“Tarif pajak hiburan 30 persen terlalu besar, karena pajak itu oleh pengusaha dibebankan kepada pelanggan. Maka, secara tidak langsung mengurangi jumlah pelanggan yang datang karena akan berpengaruh terhadap harga,” keluhnya.

Selain itu, dia juga mengeluhkan adanya pemasangan tapping box oleh Badan Pengelola Pajak dan Retribusi Daerah (BPPRD) Kota Medan. Kata Lian, keberadaan tapping box mempengaruhi perhitungan pajak yang selama ini menggunakan metode self assesment. “Tidak semua tempat hiburan, panti pijat ataupun spa yang dipasang tapping box. Kalau mau adil, dipasang semua tempat hiburan,” ketusnya.

Menanggapi itu, Ketua Komisi C DPRD Medan, Boydo HK Panjaitan menyarankan agar pengusaha tempat hiburan membuat asosiasi. Dengan begitu, ketika ada usulan atau keberatan tentang regulasi bisa disampaikan melalui asosiasi secara resmi. “Misalkan tarif pajak 30 persen terlalu besar, bisa diajukan ke DPRD untuk penurunan. Kami pun bisa menggunakan hak inisiatif untuk merevisi aturan yang ada termasuk tentang jam operasional,” katanya. (ris/ila)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/