MEDAN, SUMUTPOS.CO – Keinginan Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi memerdekakan Lapangan Merdeka Medan disambut baik sejumlah aktivis yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil (KMS) Peduli Lapangan Merdeka Kota Medan-Sumut.
Aktivis yang terdiri dari beragam latar belakang pendidikan dan profesi ini menganggap, Medan sebagai Ibukota Sumatera Utara dianggap sebagai cerminan dari Provinsi ini. “Gubernur sudah ada niatnya. Ini sesuatu yang positif untuk menata ulang Lapangan Merdeka untuk dikembalikan lagi luasnya,” ujar Miduk Hutabarat, arsitek yang juga aktivis KMS Peduli Lapangan Merdeka Medan-Sumut.
Miduk menilai, Lapangan Merdeka merupakan ruang siaga bencana dan ruang terbuka non hijau. Namun kondisi lapangan yang dulunya dijadikan sebagai ruang publik, kini menjadi bisnis. Hal ini menurut dia ditandai dengan berdirinya bangunan di sekeliling lapangan, adanya tembok penyekat seperti pagar yang membatasi lapangan itu.
Ruang publik, lanjutnya, seolah dibatasi dengan adanya batasan-batasan bangunan di sekililing lapangan. Padahal, katanya, berdasar Perda Nomor 13 tahun 2011, Lapangan Merdeka merupakan ruang siaga bencana. “Artinya tempat terbuka yang tidak boleh dibatasi dengan sekat pagar, adanya bangunan,” katanya.
Selain itu, lanjutnya, berdasarkan Permen No.9 tahun 2009 disebutkan bahwa Lapangan Merdeka adalah ruang terbuka non hijau. Maksudnya, kata Miduk, lapangan tersebut berupa lapangan tanpa ada penghijauan. Ia mengatakan, kedua aturan tersebut sebenarnya sudah dijelaskan dalam fungsi Lapangan Merdeka. “Boleh ada fasilitas pendukung seperti parkir, tapi bukan gedung yang disekat dengan dinding,” katanya.
Atas dasar ini, pihaknya mendorong Pemprovsu dan Pemko Medan untuk duduk bersama membahas wacana dimaksud. Sebab hal tersebut sudah menyangkut dengan kepentingan publik.
“Kalau masalah kontrak antara Pemko Medan dan rekanan, kan bisa ditinjau ulang. Untuk bisnis kan sudah ada tempatnya. Kalau untuk konser yang jumlahnya 5.000 sampai 10.000 kan ada di Polonia,” ucapnya.
Kata Miduk, perjuangan untuk mengembalikan Lapangan Merdeka sesuai peruntukan sudah lama mereka perjuangkan. Sejak keberadaan Merdeka Walk 2006, pernah diperjuangkan namun terhenti pada masa T Rizal Nurdin sebagai Gubernur Sumut dan Abdillah sebagai Wali Kota Medan. “Sebelumnya kita memberikan tagline Save Lapangan Merdeka. Tahun ini tagline-nya Kemerdekaan Lapangan Merdeka,” katanya.
Sejarawan dari Universitas Negeri Medan Ichwan Azhari menyampaikan bahwa ditinjau dari sejarah, Lapangan Merdeka dulunya sebagai ruang publik. Artinya, siapapun bebas keluar masuk ke sana.
Melihat kondisinya saat ini, kata Ichwan, dengan berdirinya sejumlah bisnis di sekilingnya Lapangan Merdeka bukan lagi ruang publik. Menurutnya sudah ada batasan bagi publik yang ingin ke sana.
“Karena ada tempat bisnis di sana, seperti Merdeka Walk, maka hanya orang yang punya duit yang ke sana. Itu artinya ada pembatasan publik untuk ke sana. Merdeka Walk bukan ikon Medan, tapi Lapangan Merdeka lah yang ikon Medan,” ucapnya.
Ichwan mengatakan, keberadaan bisnis yang dijalankan rekanan Pemko Medan dianggap mengaburkan sejarah dari Lapangan Merdeka di mata generasi saat ini. Katanya, generasi milineal lebih mengenal Merdeka Walk sebagai ikon Kota Medan ketimbang Lapangan Merdeka sendiri.
“Boleh ditanya ke generasi sekarang ikon Medan itu apa? Sebagian besar tahunya Merdeka Walk. Untuk itulah Lapangan Merdeka perlu dikembalikan fungsinya seperti dulu,” ucapnya.
Ia ceritakan bahwa Lapangan Merdeka dulunya sebagai tempat memproklamirkan kemerdekaan pada 6 Oktober 1945. Pada zaman Belanda, tempat itu digunakan untuk umum. Jadi, setiap kota pasti ada ruang memorinya salah satunya adalah Lapangan Merdeka.
“Lapangan Merdeka sebagai tempat memproklamirkan kemerdekaan merupakan tempat yang dianggap penting. Kalau untuk bisnis kan bisa di mana-mana,” pungkasnya. (prn/ila)