26 C
Medan
Saturday, November 23, 2024
spot_img

Syamsul Didakwa Korupsi Rp98,7 Miliar, Terancam 20 Tahun

JAKARTA- Sidang perdana kasus dugaan korupsi APBD Langkat Tahun 2000-2007 dengan terdakwa Gubernur Sumatera Utara, Syamsul Arifin digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin  (14/3).
Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dipimpin Chaterina Muliana Girsang mendakwa mantan Bupati Langkat itu telah merugikan keuangan negara sebesar Rp98,71 miliar.

Jaksa menyebutkan, perbuatan Ketua DPD Partai Golkar itu dilakukan secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan pemegang kas Pemkab Langkat, Buyung Ritonga (1998-2006), Kabag Kuangan (1008-2003) yang juga Plh Kabag Keuangan (2003-2004) Surya Djahisa (Kabag Keuangan), Aswan Sufri (Plt Kabag Keuangan), dan Taufik (Plt Kabag Keuangan (2007-2008).

Jaksa menyebut Syamsul telah memerintahkan para bawahannya itu untuk mencairkan kas daerah Kabupaten Langkat selama tahun 2000-2007, yang digunakan untuk kepentingan diri sendiri dan keluarga, kolega serta untuk sejumlah pihak lainnya termasuk wartawan.

“Sehingga merugikan negara sebesar Rp98,716 miliar,” papar Chaterina, dalam sidang yang dipimpin Hakim, Tjokorda Rae Suamba itu.

Jaksa membeberkan modus penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan Syamsul.  “Seolah-olah uang kas daerah tersebut adalah milik pribadi terdakwa,” ujar Chaterina, yang dulunya menjadi anggota JPU kasus pengadaan Damkar dan APBD Medan dengan terdakwa Abdillah dan Ramli Lubis.

Diulas jaksa, Syamsul dalam kurun 2000-2007 memerintahkan Buyung Ritonga menggunakan uang kas yang ada di brankas, atau mencairkan uang dari beberapa rekening pada Bank Sumut Cabang Binjai dan Cabang Stabat, sesuai jumlah yang diminta, tanpa melalui penerbitan Surat Perintah Membayar Uang (SPMU) dan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D). Selain itu, penandatangan cek juga telah diubah lebih dulu oleh Syamsul, sehingga tak lagi melalui permintaan paraf pada bonggol cek kepada kabag keuangan, asisten sekda, sekda, dan wakil bupati secara berjenjang.
Buyung mencatat pengeuaran itu di agenda pribadinya, bukan di pengeluaran kas. Total pengeluaran kas sejak Febrauri 2000-Desember 2007 mencapai Rp52 miliar.

Syamsul, sebagaimana tertuang di dakwaan, juga memerintahkan pengeluaran kas bon. Rinciannya, kas bon Bagian Tata Pemerintahan tahun 2000 Rp139 juta dan 2001 Rp110 juta, total Rp249 juta. Uang ini untuk fee proyek ke Rahmat, Tim Itwilprov Sumut, Tim BPKP Medan, DJA Medan, anggota DPRD Sumut, anggota DPRD Langkat, yang penyerahan dilakukan Buyung secara bertahap atau melalui Taufik atau Asgul, atau Otto Harianto.

Kas bon Bagian Keuangan tahun 2000-2003, Syamsul meminta Buyung mengeluarkan kas untuk bantuan rapat-rapat DPRD, seperti pembahasan RAPBD dan pembahasan LPj Bupati. Total pengeluaran-pengeluaran dari kas bon 2003-2006 mencapai Rp6,02 miliar.

Dengan modus yang sama, juga dikeluarkan kas bon di Dinas PU tahun 2005-2007 sebesar Rp21,8 miliar.
JPU membeberkan, untuk menutup sebagian pengeluaran-pengeluran dana kas tersebut, Syamsul meminta Buyung dan Surya Jahisa untuk melakukan pemotongan anggaran sejumlah Rp10 persen dari beberapa Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di Pemkab Langkat. Surya yang membuat daftar pemotongan anggaran, Buyung yang mengeksekusi dari 2004-2006.

Rinciannya, Bagian Umum dipotong Rp1,5 miliar, Bagian Kepegawaian Rp391,7 juta, Bagian Perekonomian Rp415 juta, Bagian Sosial Rp723 juta, Bagian Orta Rp496,1 juta, Bagian Kapwat Rp12,5 juta, Bagian Tapem Rp950 juta, Bagian Hukum Rp270 juta, Dinas Pendapatan Rp1,325 miliar, Dinas Infokom Rp342,5 juta, dan masih banyak SKPD lain yang dipotong. Total hasil pemotongan Rp12,26 miliar.

“Terdakwa juga meminta Surya Jahisa memungut uang dari pemenang tender atas pembayaran proyek-proyek di Dinas PU sehingga pada tahun 2006 terkumpul sejumlah Rp3,61 miliar,” beber Muhibuddin, anggota JPU membacakan dakwaan. Untuk 2007 jumlahnya Rp5,3 miliar.

Terkait pembelian 43 unit Panther untuk anggota DPRD Langkat, JPU menyebut, itu tak dianggarkan di APBD, namun cek yang diteken Syamsul dan Buyung yang besarnya Rp10,2 miliar. Yang dipakai untuk beli 43 Panther Rp6,7 miliar. Sisanya Rp3,44 miliar, diserahkan Buyung ke Syamsul Rp850 juta. Sisanya lagi mengalir ke banyak pihak, termasuk BPK, Dandim, Fitria Elvi Sukaesih, fraksi, wartawan, Kajatisu, Kejaksaan Agung, Polda Sumut, termasuk Surya Jahisa.

Untuk menutupi sebagian pengeluaran itu, modusnya sama, yakni memotong anggaran SKPD selama 2002-2003, yang besarnya 4-40 persen. Hasilnya, terkumpul Rp4,5 miliar.

Jaksa juga membeberkan penggunaan kas untuk diberikan ke orang lain sebagai pinjaman, yang dari 2003-2006 mencapai Rp1,02 miliar. Atas permintaan Syamsul, Buyung menyerahkan uang kepada Amirudin Kid Rp5 juta, Mahsin Rp50 juta, Eswin S Rp100 juta, Syarifudin Basyir Rp65 juta, Tengku Danil Rp200 juta, PT AKA Rp500 juta, Akiat Rp100 juta.

“Yang mana seluruh uang yang diserahkan sebagai pinjaman tersebut tidak pernah dilunasi oleh pihak ketiga yang melakukan pinjaman,” demikian bunyi dakwaan.

Yang lebih kacau lagi, Syamsul pada 21 Nopember 2003 mengajukan pinjaman Rp500 juta ke Bank Mandiri Syariah Cabang Stabat menggunakan nama CV Ansor Bintang Sembilan milik Mahsin, dengan jaminan 5 BPKB mobil Panther milik anggota DPRD yang dibeli dengan kas daerah.

Modus yang sama diulang lagi pada 11 Maret 2004, di bank yang sama, dengan menjaminkan 36 BPKB Panther tersebut, untuk pinjam uang Rp2,5 miliar.

Dalam dakwaan primair, Syamsul diancam  pidana sebagaimana diatur pasal 2 ayat (1) jo pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999, tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.  Ancaman hukuman dalam pasal ini, minimal 4 tahun penjara, maksimal 20 tahun.

Sedang dakwaan subsidair, Syamsul dijerat pasal 3 Jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999, yang terkait dengan penyalahgunaan kewenangan/jabatan. Juga pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana jo pasal 65 ayat (1) KUHPidana. (sam)

Dinikmati Keluarga dan Kolega

Tahun 2000
Rp3,26 miliar yang dikeluarkan bertahap. Rp1,77 miliar untuk keperluan pribadi dan keluarga Syamsul. Sementara, Rp1,49 miliar mengalir ke pihak lain.

Tahun 2001
Rp7,7 miliar diantaranya Rp2,8 miliar untuk keperluan Syamsul dan keluarganya. Yang Rp4,8 miliar mengalir ke sejumlah pihak.

Tahun 2002
Rp13,1 miliar diantaranya untuk keperluan Syamsul dan keluarganya, istri, anak, adik-adiknya. Sedangkan yang Rp8,49 miliar ke pihak lain.

Tahun 2003
Rp10 miliar, Rp7,1 miliar dinikmati Syamsul, istrinya, anak, adik, serta keponakannya. Yang diberikan ke non keluarga Rp2,9 miliar, yang penerimanya sebagian besar juga sama.

Tahun 2004
Rp7,8 miliar untuk Syamsul dan keluarganya tersebut Rp5,31. Sedang ke pihak lain Rp2,49 miliar.

Tahun 2005
Rp4,7 miliar diembat Syamsul dan keluarga Rp3,9 miliar, yang mengalir ke pihak ketiga Rp791 juta, yang penerimanya juga masih sama.

Tahun 2006
Rp5,2 miliar, sebagian besar yakni Rp5,06 miliar dinikmati sendiri oleh Syamsul dan keponakannya. Rp209,5 juta mengalir ke anggota DPRD Langkat, muspida dan beberapa nama lain.

Tahun 2007
Rp6,8 miliar. Lagi-lagi, sebagian besar untuk Syamsul dan keluarganya Rp5,8 miliar. Hanya Rp1 juta saja yang mengalir ke pihak lain.

Sumber: Dakwaan Jaksa

JAKARTA- Sidang perdana kasus dugaan korupsi APBD Langkat Tahun 2000-2007 dengan terdakwa Gubernur Sumatera Utara, Syamsul Arifin digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin  (14/3).
Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dipimpin Chaterina Muliana Girsang mendakwa mantan Bupati Langkat itu telah merugikan keuangan negara sebesar Rp98,71 miliar.

Jaksa menyebutkan, perbuatan Ketua DPD Partai Golkar itu dilakukan secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan pemegang kas Pemkab Langkat, Buyung Ritonga (1998-2006), Kabag Kuangan (1008-2003) yang juga Plh Kabag Keuangan (2003-2004) Surya Djahisa (Kabag Keuangan), Aswan Sufri (Plt Kabag Keuangan), dan Taufik (Plt Kabag Keuangan (2007-2008).

Jaksa menyebut Syamsul telah memerintahkan para bawahannya itu untuk mencairkan kas daerah Kabupaten Langkat selama tahun 2000-2007, yang digunakan untuk kepentingan diri sendiri dan keluarga, kolega serta untuk sejumlah pihak lainnya termasuk wartawan.

“Sehingga merugikan negara sebesar Rp98,716 miliar,” papar Chaterina, dalam sidang yang dipimpin Hakim, Tjokorda Rae Suamba itu.

Jaksa membeberkan modus penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan Syamsul.  “Seolah-olah uang kas daerah tersebut adalah milik pribadi terdakwa,” ujar Chaterina, yang dulunya menjadi anggota JPU kasus pengadaan Damkar dan APBD Medan dengan terdakwa Abdillah dan Ramli Lubis.

Diulas jaksa, Syamsul dalam kurun 2000-2007 memerintahkan Buyung Ritonga menggunakan uang kas yang ada di brankas, atau mencairkan uang dari beberapa rekening pada Bank Sumut Cabang Binjai dan Cabang Stabat, sesuai jumlah yang diminta, tanpa melalui penerbitan Surat Perintah Membayar Uang (SPMU) dan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D). Selain itu, penandatangan cek juga telah diubah lebih dulu oleh Syamsul, sehingga tak lagi melalui permintaan paraf pada bonggol cek kepada kabag keuangan, asisten sekda, sekda, dan wakil bupati secara berjenjang.
Buyung mencatat pengeuaran itu di agenda pribadinya, bukan di pengeluaran kas. Total pengeluaran kas sejak Febrauri 2000-Desember 2007 mencapai Rp52 miliar.

Syamsul, sebagaimana tertuang di dakwaan, juga memerintahkan pengeluaran kas bon. Rinciannya, kas bon Bagian Tata Pemerintahan tahun 2000 Rp139 juta dan 2001 Rp110 juta, total Rp249 juta. Uang ini untuk fee proyek ke Rahmat, Tim Itwilprov Sumut, Tim BPKP Medan, DJA Medan, anggota DPRD Sumut, anggota DPRD Langkat, yang penyerahan dilakukan Buyung secara bertahap atau melalui Taufik atau Asgul, atau Otto Harianto.

Kas bon Bagian Keuangan tahun 2000-2003, Syamsul meminta Buyung mengeluarkan kas untuk bantuan rapat-rapat DPRD, seperti pembahasan RAPBD dan pembahasan LPj Bupati. Total pengeluaran-pengeluaran dari kas bon 2003-2006 mencapai Rp6,02 miliar.

Dengan modus yang sama, juga dikeluarkan kas bon di Dinas PU tahun 2005-2007 sebesar Rp21,8 miliar.
JPU membeberkan, untuk menutup sebagian pengeluaran-pengeluran dana kas tersebut, Syamsul meminta Buyung dan Surya Jahisa untuk melakukan pemotongan anggaran sejumlah Rp10 persen dari beberapa Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di Pemkab Langkat. Surya yang membuat daftar pemotongan anggaran, Buyung yang mengeksekusi dari 2004-2006.

Rinciannya, Bagian Umum dipotong Rp1,5 miliar, Bagian Kepegawaian Rp391,7 juta, Bagian Perekonomian Rp415 juta, Bagian Sosial Rp723 juta, Bagian Orta Rp496,1 juta, Bagian Kapwat Rp12,5 juta, Bagian Tapem Rp950 juta, Bagian Hukum Rp270 juta, Dinas Pendapatan Rp1,325 miliar, Dinas Infokom Rp342,5 juta, dan masih banyak SKPD lain yang dipotong. Total hasil pemotongan Rp12,26 miliar.

“Terdakwa juga meminta Surya Jahisa memungut uang dari pemenang tender atas pembayaran proyek-proyek di Dinas PU sehingga pada tahun 2006 terkumpul sejumlah Rp3,61 miliar,” beber Muhibuddin, anggota JPU membacakan dakwaan. Untuk 2007 jumlahnya Rp5,3 miliar.

Terkait pembelian 43 unit Panther untuk anggota DPRD Langkat, JPU menyebut, itu tak dianggarkan di APBD, namun cek yang diteken Syamsul dan Buyung yang besarnya Rp10,2 miliar. Yang dipakai untuk beli 43 Panther Rp6,7 miliar. Sisanya Rp3,44 miliar, diserahkan Buyung ke Syamsul Rp850 juta. Sisanya lagi mengalir ke banyak pihak, termasuk BPK, Dandim, Fitria Elvi Sukaesih, fraksi, wartawan, Kajatisu, Kejaksaan Agung, Polda Sumut, termasuk Surya Jahisa.

Untuk menutupi sebagian pengeluaran itu, modusnya sama, yakni memotong anggaran SKPD selama 2002-2003, yang besarnya 4-40 persen. Hasilnya, terkumpul Rp4,5 miliar.

Jaksa juga membeberkan penggunaan kas untuk diberikan ke orang lain sebagai pinjaman, yang dari 2003-2006 mencapai Rp1,02 miliar. Atas permintaan Syamsul, Buyung menyerahkan uang kepada Amirudin Kid Rp5 juta, Mahsin Rp50 juta, Eswin S Rp100 juta, Syarifudin Basyir Rp65 juta, Tengku Danil Rp200 juta, PT AKA Rp500 juta, Akiat Rp100 juta.

“Yang mana seluruh uang yang diserahkan sebagai pinjaman tersebut tidak pernah dilunasi oleh pihak ketiga yang melakukan pinjaman,” demikian bunyi dakwaan.

Yang lebih kacau lagi, Syamsul pada 21 Nopember 2003 mengajukan pinjaman Rp500 juta ke Bank Mandiri Syariah Cabang Stabat menggunakan nama CV Ansor Bintang Sembilan milik Mahsin, dengan jaminan 5 BPKB mobil Panther milik anggota DPRD yang dibeli dengan kas daerah.

Modus yang sama diulang lagi pada 11 Maret 2004, di bank yang sama, dengan menjaminkan 36 BPKB Panther tersebut, untuk pinjam uang Rp2,5 miliar.

Dalam dakwaan primair, Syamsul diancam  pidana sebagaimana diatur pasal 2 ayat (1) jo pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999, tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.  Ancaman hukuman dalam pasal ini, minimal 4 tahun penjara, maksimal 20 tahun.

Sedang dakwaan subsidair, Syamsul dijerat pasal 3 Jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999, yang terkait dengan penyalahgunaan kewenangan/jabatan. Juga pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana jo pasal 65 ayat (1) KUHPidana. (sam)

Dinikmati Keluarga dan Kolega

Tahun 2000
Rp3,26 miliar yang dikeluarkan bertahap. Rp1,77 miliar untuk keperluan pribadi dan keluarga Syamsul. Sementara, Rp1,49 miliar mengalir ke pihak lain.

Tahun 2001
Rp7,7 miliar diantaranya Rp2,8 miliar untuk keperluan Syamsul dan keluarganya. Yang Rp4,8 miliar mengalir ke sejumlah pihak.

Tahun 2002
Rp13,1 miliar diantaranya untuk keperluan Syamsul dan keluarganya, istri, anak, adik-adiknya. Sedangkan yang Rp8,49 miliar ke pihak lain.

Tahun 2003
Rp10 miliar, Rp7,1 miliar dinikmati Syamsul, istrinya, anak, adik, serta keponakannya. Yang diberikan ke non keluarga Rp2,9 miliar, yang penerimanya sebagian besar juga sama.

Tahun 2004
Rp7,8 miliar untuk Syamsul dan keluarganya tersebut Rp5,31. Sedang ke pihak lain Rp2,49 miliar.

Tahun 2005
Rp4,7 miliar diembat Syamsul dan keluarga Rp3,9 miliar, yang mengalir ke pihak ketiga Rp791 juta, yang penerimanya juga masih sama.

Tahun 2006
Rp5,2 miliar, sebagian besar yakni Rp5,06 miliar dinikmati sendiri oleh Syamsul dan keponakannya. Rp209,5 juta mengalir ke anggota DPRD Langkat, muspida dan beberapa nama lain.

Tahun 2007
Rp6,8 miliar. Lagi-lagi, sebagian besar untuk Syamsul dan keluarganya Rp5,8 miliar. Hanya Rp1 juta saja yang mengalir ke pihak lain.

Sumber: Dakwaan Jaksa

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/