29 C
Medan
Sunday, November 24, 2024
spot_img

Pengembang Pagari Lahan 74 Hektare

LAHAN: Alat berat beroperasi di lahan eks PTPN II di Desa Helvetia, Kecamatan Labuhandeli, yang menjadi barang bukti sitaan Kejagung.

BELAWAN, SUMUTPOS.CO – Masih ingat kasus tindakan pidana korupsi (Tipikor) penguasaan lahan negara seluas 106 hektar di Pasar 4, Desa Helvetia, Kecamatan Labuhandeli, Kabupaten Deliserdang yang ditangani Kejakasaan Agung (Kejagung). Kasus itu telah menjerat Tamin Sukardi menjalani hukuman 6 tahun penjara setelah divonis hukuman oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta di PN Medan.

Berdasarkan putusan itu, lahan eks PTPN II dengan jumlah 106 hektar dengan 2 objek masing – masing 74 hektar dan 32 hektar menjadi barang bukti sitaan Kejagung. Ternyata, lahan seluas 74 hektar yang kini berstatus milik negara kembali disinyalir akan dikuasai oknum pengusaha yang diduga mafia tanah.

Ketua Himpunan Penggarap Pengusahaan Lahan Kosong Negara (HPPLKN) Labuhandeli, Saiful Bahri mengatakan, sejak beberapa hari belakangan, ada sekelompok pekerja melakukan pembersihan dan pemagaran di lahan seluas 74 hektar. Mereka diduga pekerja yang diperintahkan oknum mafia tanah untuk menguasai lahan tersebut, padahal lahan itu masih bersatus penguasaan Kejagung.

Pria yang akrab disapa Sefal ini menduga, para pekerja itu adalah orang-orang suruhan pengusaha berinisial M.

“Yang saya lihat di lapangan, sejumlah alat berat dan pemagaran sudah mereka lakukan. Mereka merupakan pekerja dari PT ACR miliknya M. Aktivitas itu sempat terhenti, karena polisi datang melakukan pengamanan agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan,” ungkap Sefal kepada wartawan, Minggu (7/7).

Ia sebagai aktivis petani tidak terima tanah negara tersebut kembali dirampok oknum mafia tanah. Artinya, kalau ada pihak yang membangun harus ada izin seperti IMB dan lainnya. Tapi izin itu bisa keluar bila ada sertifikat alas hak tanah. Namun sampai saat ini tanah negara itu bukan milik perorangan. Tapi masih milik negara.

Lanjut Sefal, pengembang dari PT ACR didengarnya ada memberikan surat keputusan Mahkamah Agung untuk mengambil kembali lahan itu. Artinya, keputusan Mahkamah Agung itu bukan menerbitkan hak kepada M, tetapi hanya sebatas menguatkan hak. “Kita sebagai petani mengapresiasi kepada polisi yang menjaga keamanan agar tidak terjadi keributan, tapi yang jelas kita tidak ingin tanah negara ini kembali dikuasai mafia tanah,” tegas Sefal.

Pria yang juga menjabat Sekjen Komite Tani Menggugat (KTM) Sumatera Utara ini kembali menegaskan, lahan seluas 74 hektar itu adalah sitaan Kejagung yang nantinya akan dikembalikan kepada Pemerintah Sumatera Utara. Dengan demikian tidak ada dasar M memiliki lahan tersebut.

“Sesuai dengan SK 42, tanah itu diserahkan ke Gubernur Sumatera Utara. Jadi, kita tidak ingin tanah ini kembali dirambah mafia tanah, kita akan terus perjuangkan lahan itu agar tidak jatuh kepada tangan perampok lahan negara,” tegas aktivis petani ini.

Terpisah, Camat Labuhandeli, Safee Sihombing dikonfirmasi melalui via telepon mengaku tidak mengetahui adanya proses pemagaran dan penguasaan di lahan seluas 74 hektar. Sepengetahuannya, status tanah itu masih ditangani Kejagung. “Yang jelas tidak ada pemberitahuan ke kita,” katanya singkat. (fac)

LAHAN: Alat berat beroperasi di lahan eks PTPN II di Desa Helvetia, Kecamatan Labuhandeli, yang menjadi barang bukti sitaan Kejagung.

BELAWAN, SUMUTPOS.CO – Masih ingat kasus tindakan pidana korupsi (Tipikor) penguasaan lahan negara seluas 106 hektar di Pasar 4, Desa Helvetia, Kecamatan Labuhandeli, Kabupaten Deliserdang yang ditangani Kejakasaan Agung (Kejagung). Kasus itu telah menjerat Tamin Sukardi menjalani hukuman 6 tahun penjara setelah divonis hukuman oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta di PN Medan.

Berdasarkan putusan itu, lahan eks PTPN II dengan jumlah 106 hektar dengan 2 objek masing – masing 74 hektar dan 32 hektar menjadi barang bukti sitaan Kejagung. Ternyata, lahan seluas 74 hektar yang kini berstatus milik negara kembali disinyalir akan dikuasai oknum pengusaha yang diduga mafia tanah.

Ketua Himpunan Penggarap Pengusahaan Lahan Kosong Negara (HPPLKN) Labuhandeli, Saiful Bahri mengatakan, sejak beberapa hari belakangan, ada sekelompok pekerja melakukan pembersihan dan pemagaran di lahan seluas 74 hektar. Mereka diduga pekerja yang diperintahkan oknum mafia tanah untuk menguasai lahan tersebut, padahal lahan itu masih bersatus penguasaan Kejagung.

Pria yang akrab disapa Sefal ini menduga, para pekerja itu adalah orang-orang suruhan pengusaha berinisial M.

“Yang saya lihat di lapangan, sejumlah alat berat dan pemagaran sudah mereka lakukan. Mereka merupakan pekerja dari PT ACR miliknya M. Aktivitas itu sempat terhenti, karena polisi datang melakukan pengamanan agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan,” ungkap Sefal kepada wartawan, Minggu (7/7).

Ia sebagai aktivis petani tidak terima tanah negara tersebut kembali dirampok oknum mafia tanah. Artinya, kalau ada pihak yang membangun harus ada izin seperti IMB dan lainnya. Tapi izin itu bisa keluar bila ada sertifikat alas hak tanah. Namun sampai saat ini tanah negara itu bukan milik perorangan. Tapi masih milik negara.

Lanjut Sefal, pengembang dari PT ACR didengarnya ada memberikan surat keputusan Mahkamah Agung untuk mengambil kembali lahan itu. Artinya, keputusan Mahkamah Agung itu bukan menerbitkan hak kepada M, tetapi hanya sebatas menguatkan hak. “Kita sebagai petani mengapresiasi kepada polisi yang menjaga keamanan agar tidak terjadi keributan, tapi yang jelas kita tidak ingin tanah negara ini kembali dikuasai mafia tanah,” tegas Sefal.

Pria yang juga menjabat Sekjen Komite Tani Menggugat (KTM) Sumatera Utara ini kembali menegaskan, lahan seluas 74 hektar itu adalah sitaan Kejagung yang nantinya akan dikembalikan kepada Pemerintah Sumatera Utara. Dengan demikian tidak ada dasar M memiliki lahan tersebut.

“Sesuai dengan SK 42, tanah itu diserahkan ke Gubernur Sumatera Utara. Jadi, kita tidak ingin tanah ini kembali dirambah mafia tanah, kita akan terus perjuangkan lahan itu agar tidak jatuh kepada tangan perampok lahan negara,” tegas aktivis petani ini.

Terpisah, Camat Labuhandeli, Safee Sihombing dikonfirmasi melalui via telepon mengaku tidak mengetahui adanya proses pemagaran dan penguasaan di lahan seluas 74 hektar. Sepengetahuannya, status tanah itu masih ditangani Kejagung. “Yang jelas tidak ada pemberitahuan ke kita,” katanya singkat. (fac)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/