25 C
Medan
Tuesday, November 26, 2024
spot_img

Hakimnya yang Harus Diperbaiki…

Pro-kontra Tentang Ide Pembubaran Pengadilan Tipikor di Daerah

Pembubaran pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) di daerah dinilai bukan merupakan solusi atas buruknya kualitas putusan yang telah terjadi. Setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menolak usulan pembubaran pengadilan Tipikor di daerah, sejumlah fraksi di DPR RI juga melontarkan penolakan yang sama.

JAKARTA – “Untuk saat ini, kami tidak setuju dihapus,” kata Nasir Jamil, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera di Jakarta, kemarin (7/11).

Gagasan pembubaran pengadilan tipikor daerah pernah dilontarkan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD. Bak gayung bersambut, usulan itu juga diamini oleh Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin. Amir menilai, pengadilan Tipikor cukup digelar di Jakarta sebagai pusat ibukota negara.

Menurut Nasir, permintaan penghapusan pengadilan tipikor daerah lebih disebabkan kekecewaan masyarakat dengan sejumlah vonis bebas terhadap terdakwa koruptor. Hal ini merupakan kritikan keras terhadap akuntabilitas dan transparansi di pengadilan tipikor. “Meskipun memang putusan bebas ini bukanlah hal yang aneh,” ujar Nasir.

Jika memang putusan itu terdapat indikasi suap, Nasir menilai hal itu bisa diselidiki oleh Komisi Yudisial. Dirinya mendesak agar KY dan Mahkamah Agung untuk melakukan evaluasi dan menyelidiki keputusan bebas tersebut. “Evaluasi dulu, hasilnya bisa untuk pertimbangan perlu tidaknya pengadilan tipikor, atau mencari alternatif lain,” ujarnya.

Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Lukman Hakim Saifudin menilai pembentukan pengadilan tipikor di daerah yang terlalu banyak menimbulkan kontrol yang sulit. Menurut dia, PPP saat pembahasan pembentukan pengadilan tipikor daerah mempertimbangkan agar tidak di setiap daerah, namun dibentuk dalam sistem region.

“Format pengadilan tipikor daerah saat ini kan kemauan pemerintah, kalau mau dibubarkan terlalu jauh,” ujar Lukman di gedung parlemen.

Menurut Lukman, langkah yang paling tepat adalah melakukan eksaminasi atas putusan hakim. Dalam hal ini, yang boleh menguji putusan hakim adalah pengadilan di atasnya. “Tidak harus putusan hakim, tapi juga proses penuntutannya, sampai kita menemukan masalahnya dimana,” ujarnya.

Bisa jadi, kata Lukman, rendahnya kualitas pengadilan tipikor daerah bisa jadi disebabkan anggaran yang kurang. Maka dari itulah, diperlukan langkah eksaminasi. “Ide langsung bubar ini menurut saya tidak arif, selidiki dulu,” tandasnya.
Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Partai Golongan Karya Azis Syamsuddin juga menolak ide pembubaran Pengadilan Tipikor di daerah. “Tidak (setuju), karena pembentukannya oleh UU,” ujar Aziz.

Menurut Azis, lahirnya keputusan hakim tidak bisa dilihat tunggal. Ada proses panjang yang utuh sejak dimulainya penyidikan sampai penuntutan dan proses sidang. “Ini harus kita garis bawahi terhadap rangkaian proses projustisia (penyidikan, penuntutan) dan fakta hukum yang berkembang di dalam persidangan serta keyakinan Hakim dalam membuat keputusan,” tandasnya.

Anggota Komisi III DPR Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya Martin Hutabarat menambahkan, dirinya juga tidak sependapat jika pengadilan tipikor di daerah dibubarkan. Dia sependapat dengan usulan sebaiknya pengadilan tipikor dibentuk dalam region-region tertentu untuk memudahkan pengawasan. “Saya melihat provinsi kecil seperti Babel (Bangka Belitung), Sulawesi Barat atau Gorontal belum memerlukan,” ujar Martin.

Jika pembentukan pengadilan tipikor dibentuk di region tertentu, jumlahnya tentu tidak sebanyak saat ini. Menurut Martin, ketentuan itu memerlukan sebuah revisi dari UU tipikor. Namun, jangan sampai nanti momentum untuk melakukan revisi digunakan untuk membubarkan pengadilan tipikor daerah seluruhnya. “Merevisi bukan berarti menghapuskan, dibuat dulu regional, lalu dikaji kembali urgensinya,” tandasnya.

Wakil Ketua DPR Pramono Anung mengatakan dibandingkan pengadilan umum biasa, keberadaan pengadilan tipikor di daerah masih menjadi harapan publik. Kalau ada pengadilan tipikor yang membuat putusan berbeda dari tuntutan, lanjut dia, tentunya ini yang salah bukan pengadilan tipikornya.

Pram begitu Pramono Anung biasa disapa menduga hakim tertentu telah membuka ruang “pendekatan” yang selama ini tidak pernah terjadi di pengadilan tipikor pusat. “Makanya, yang harus diperbaiki para hakimnya. Bukan membubarkan  pengadilan tipikor di daerah,” ujar politisi PDIP, itu. Dia mendorong adanya evaluasi menyeluruh terhadap Mahkamah Agung (MA) terkait kebijakan besar dalam menempatkan hakim di pengadilan tipikor daerah. (bay/pri/jpnn)

Pro-kontra Tentang Ide Pembubaran Pengadilan Tipikor di Daerah

Pembubaran pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) di daerah dinilai bukan merupakan solusi atas buruknya kualitas putusan yang telah terjadi. Setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menolak usulan pembubaran pengadilan Tipikor di daerah, sejumlah fraksi di DPR RI juga melontarkan penolakan yang sama.

JAKARTA – “Untuk saat ini, kami tidak setuju dihapus,” kata Nasir Jamil, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera di Jakarta, kemarin (7/11).

Gagasan pembubaran pengadilan tipikor daerah pernah dilontarkan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD. Bak gayung bersambut, usulan itu juga diamini oleh Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin. Amir menilai, pengadilan Tipikor cukup digelar di Jakarta sebagai pusat ibukota negara.

Menurut Nasir, permintaan penghapusan pengadilan tipikor daerah lebih disebabkan kekecewaan masyarakat dengan sejumlah vonis bebas terhadap terdakwa koruptor. Hal ini merupakan kritikan keras terhadap akuntabilitas dan transparansi di pengadilan tipikor. “Meskipun memang putusan bebas ini bukanlah hal yang aneh,” ujar Nasir.

Jika memang putusan itu terdapat indikasi suap, Nasir menilai hal itu bisa diselidiki oleh Komisi Yudisial. Dirinya mendesak agar KY dan Mahkamah Agung untuk melakukan evaluasi dan menyelidiki keputusan bebas tersebut. “Evaluasi dulu, hasilnya bisa untuk pertimbangan perlu tidaknya pengadilan tipikor, atau mencari alternatif lain,” ujarnya.

Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Lukman Hakim Saifudin menilai pembentukan pengadilan tipikor di daerah yang terlalu banyak menimbulkan kontrol yang sulit. Menurut dia, PPP saat pembahasan pembentukan pengadilan tipikor daerah mempertimbangkan agar tidak di setiap daerah, namun dibentuk dalam sistem region.

“Format pengadilan tipikor daerah saat ini kan kemauan pemerintah, kalau mau dibubarkan terlalu jauh,” ujar Lukman di gedung parlemen.

Menurut Lukman, langkah yang paling tepat adalah melakukan eksaminasi atas putusan hakim. Dalam hal ini, yang boleh menguji putusan hakim adalah pengadilan di atasnya. “Tidak harus putusan hakim, tapi juga proses penuntutannya, sampai kita menemukan masalahnya dimana,” ujarnya.

Bisa jadi, kata Lukman, rendahnya kualitas pengadilan tipikor daerah bisa jadi disebabkan anggaran yang kurang. Maka dari itulah, diperlukan langkah eksaminasi. “Ide langsung bubar ini menurut saya tidak arif, selidiki dulu,” tandasnya.
Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Partai Golongan Karya Azis Syamsuddin juga menolak ide pembubaran Pengadilan Tipikor di daerah. “Tidak (setuju), karena pembentukannya oleh UU,” ujar Aziz.

Menurut Azis, lahirnya keputusan hakim tidak bisa dilihat tunggal. Ada proses panjang yang utuh sejak dimulainya penyidikan sampai penuntutan dan proses sidang. “Ini harus kita garis bawahi terhadap rangkaian proses projustisia (penyidikan, penuntutan) dan fakta hukum yang berkembang di dalam persidangan serta keyakinan Hakim dalam membuat keputusan,” tandasnya.

Anggota Komisi III DPR Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya Martin Hutabarat menambahkan, dirinya juga tidak sependapat jika pengadilan tipikor di daerah dibubarkan. Dia sependapat dengan usulan sebaiknya pengadilan tipikor dibentuk dalam region-region tertentu untuk memudahkan pengawasan. “Saya melihat provinsi kecil seperti Babel (Bangka Belitung), Sulawesi Barat atau Gorontal belum memerlukan,” ujar Martin.

Jika pembentukan pengadilan tipikor dibentuk di region tertentu, jumlahnya tentu tidak sebanyak saat ini. Menurut Martin, ketentuan itu memerlukan sebuah revisi dari UU tipikor. Namun, jangan sampai nanti momentum untuk melakukan revisi digunakan untuk membubarkan pengadilan tipikor daerah seluruhnya. “Merevisi bukan berarti menghapuskan, dibuat dulu regional, lalu dikaji kembali urgensinya,” tandasnya.

Wakil Ketua DPR Pramono Anung mengatakan dibandingkan pengadilan umum biasa, keberadaan pengadilan tipikor di daerah masih menjadi harapan publik. Kalau ada pengadilan tipikor yang membuat putusan berbeda dari tuntutan, lanjut dia, tentunya ini yang salah bukan pengadilan tipikornya.

Pram begitu Pramono Anung biasa disapa menduga hakim tertentu telah membuka ruang “pendekatan” yang selama ini tidak pernah terjadi di pengadilan tipikor pusat. “Makanya, yang harus diperbaiki para hakimnya. Bukan membubarkan  pengadilan tipikor di daerah,” ujar politisi PDIP, itu. Dia mendorong adanya evaluasi menyeluruh terhadap Mahkamah Agung (MA) terkait kebijakan besar dalam menempatkan hakim di pengadilan tipikor daerah. (bay/pri/jpnn)

Artikel Terkait

Gatot Ligat Permulus Jalan Sumut

Gatot-Sutias Saling Setia

Erry Nuradi Minta PNS Profesional

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/