MEDAN, SUMUTPOS.CO – Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, angka stunting di Sumut mencapai 32,39%. Angka ini lebih tinggi dari nasional yang hanya 30,8%. Artinya, 3 dari 10 anak balita mengalami stunting. Bahkan, dari hasil Riskesdas 2013, Sumut pada urutan ke-6. Namun, pada 2018 turun menjadi urutan ke-14.
Kepala Dinas Kesehatan Sumut, dr Alwi Mujahit Hasibuan tak menampik angka rata-rata kasus stunting di Sumut masih di atas angka nasional berdasarkan data Riskesdas 2018. Sedangkan menurut WHO, persentase angka stunting berada di angka 20%. “Rasanya saya tidak ikhlas, karena 32,39% itu kan sama dengan satu dari tiga anak bertubuh pendek,” katanya kepada wartawan, baru-baru ini.
Alwi mengaku, pihaknya akan mengambil langkah serius dalam mengeliminir kasus stunting di Sumut. Eliminasi stunting ini harus dikebut hingga mencapai angka 0%. “Kalau yang saya inginkan itu 0%, walaupun nantinya memang harus memakan waktu yang cukup lama,” ucapnya.
Kata Alwi, apabila stunting ini hanya sekedar masalah ukuran tubuh yang pendek, hal itu memang bukan menjadi masalah. Hanya saja, karena ada faktor gizi di dalamnya, maka akan membuat otak dan pertumbuhan si anak menjadi terganggu. “Ini artinya satu di antara tiga ini akan kalah bersaing secara absolut pada masanya nanti atau dewasa,” jelasnya.
Dengan begitu, lanjut dia, tentunya si anak akan mengalami kesulitan dalam bersaing dengan teman-teman seumurannya. Apalagi, jika anak-anak ini harus bersaing dengan anak-anak dari luar negeri yang notabene kebutuhan gizinya terpenuhi.
“Angka yang mau dicapai Sumut sebetulnya 27% atau lebih rendah dari angka nasional 30%. Namun hal ini menurutnya bukan sebuah capaian yang diharapkan, sebelum kasus stunting benar-benar dihilangkan. Maka dari itu, dalam mengeliminirnya kita tidak ingin melakukannya sendiri tetapi harus secara bersama-sama dengan mengajak semua lini,” cetusnya.
Diutarakan Alwi, kasus stunting ini sebetulnya dapat diintervensi hingga temuannya menjadi nol kasus.
Caranya, dengan memberikan Air Susu Ibu (ASI) kepada anak selama dua tahun. Sebab, pemberian ASI tersebut menurut hasil penelitian dari Persatuan Ahli Gizi Indonesia, yaitu dilakukan selama delapan kali perhari sampai sang anak merasa kenyang. Hal itu sudah cukup untuk memenuhi gizi sang anak agar terhindar dari stunting.
“Sebenarnya stunting ini kalau diintervensi, yakni pada 1.000 hari pertama kehidupan. Mulai dari konsepsi di dalam rahim (gizi ibu), kemudian pemberian ASI selama dua tahun. Kalau kedua hal ini bisa kita jaga dengan baik, maka stunting itu harusnya nol,” paparnya.
Dia meyakini, semua ibu tentu sayang pada anaknya. Hanya saja, Alwi menilai, banyak ibu yang belum begitu paham bagaimana cara menyayangi anaknya dengan benar, sehingga masalah stunting ini bisa sampai terjadi. “Untuk itu, kita berencana untuk menggandeng Karang Taruna sebagai penggerak menanggulangi stunting . Paling tidak, organisasi bisa melakukan pendampingan bila ada ibu hamil dan menyusui di desanya,” tandas dia. (ris/han)