29 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Yang Dipercaya yang Dikambinghitamkan

Ramadhan Batubara

Dan, Abraham Samad terpilih menjadi ketua Komisi Pemberantas Korupsi (KPK). Ada kepercayaan. Ada haru. Ada bangga. Tentu, ada harapan. Setidaknya sosok ini diharapkan mampu mengerjakan pekerjaan yang tertunda pun pekerjaan lain yang masih dalam incaran. 

Secara pribadi saya memberikan apresiasi positif pada lelaki berjambang ini. Namun,saya bertanya dalam hati: benarkah si Samad ini diberikan kepercayaan atau akan menjadi kambing hitam semata. Terus terang, di negeri ini soal kepercayaan itu sudah melebar maknanya. Setuju atau tidak, perhatikanlah para pemimpin baru di lembaga, daerah, organisasi, perusahaan, dan komunitas- komunitas, adakah mereka menjadi pahlawan seperti yang dimimpikan? Kita tidak perlu berbicara soal presiden atau gubernur,walikota atau bupati, kita bicara lingkup yang lebih kecil saja.

Begini, ambil contoh di sebuah perusahaan. Berhubung saya hidup di lingkungan koran, kita ambil saja contohnya sebuah surat kabar. Ceritanya, sebuat saja si Polan yang dipromosikan menjadi redaktur ekonomi; yang sebelumnya posisi itu belum ada di tempat dia bekerja karena redaktur sebelumnya dipecat. Mungkin, bagi beberapa orang, menjadi redaktur adalah posisi keren. Maka, banggalah si Polan ini. Dia kabarkan pada saudarasaudaranya kalau dia telah diangkat sebagai redaktur. Dia pun tambah semangat ke kantor.

Masalahnya, adakah dia dipercaya menjadi redaktur itu karena memang dia punya kemampuan? Tentu, jawaban bijak sang redaktur pelaksanahinggapemimpinredaksi adalah demikian. Namun, bagaimana jika koran itu memiliki ‘kekurangtajaman’ di berita ekonomi.

Dan, masalah desk ekonomi ini terus menjadi senjata pemilik koran untuk ‘menyerang’ pemimpin redaksi dan redaktur pelaksana. Nah, ketika si Polan mulai bekerja, kalau memang redaktur pelaksana dan pemimpin redaksi adalah yang memandang kemajuan koran, maka mereka akan memberi pengarahan pada si Polan untuk tambah kreatif. Ketika si Polan salah, maka yang muncul adalah motivasi maju dan bukan pembiaran. Tapi bagaimana jika sebaliknya, maksudnya para pemimpin itu hanya sekadar ingin cuci tangan. Maka, si Polan akan mendapat kebingungan yang sangat besar.

Dia bisa mati gaya karena tidak diberi pengarahan tentang kerjanya. Dia berjalan sendiri, seakan diberi kebebasan padahal tidakjuga. Sangpemimpinpuncenderung tak peduli, pasalnya mereka telah berlindung dibalik nama si Polan.

Jika jelek, makamerekaakan mengatakan pada sang pemilik kalau redakturnya tak becus. Jika bagus, mereka akan membusungkan dada. Intinya, mereka aman karena telah mengisi kekosongan desk ekonomi, masalah bagus atau tidaknya, kan itu urusan si Polan. Memang, soal bawahan itu urusan pemimpin. Tapi, si redakturpelaksanadanpemimpinredaksi bisa mengelak dengan mengatakan: mereka juga bawahan karena atasan mereka adalah sang pemilik. Mental pemimpin seperti ini dipercaya atau tidak pasti ada di dunia ini. Maka, yang dipercayanya menempati sebuah posisi pun sejatinya adalah kambing hitam. Ada juga pemimpin yang tidak ingin usahanya maju. Hm, bagaimana ini? Nah, kalau soal ini jelas mengarah ke ‘politik kantor’.

Ambil contoh, bisnis koran lagi. Anggaplah si Polan menjadi pimpinan di sebuah koran yang memiliki cabang di berbagai daerah. Dia memegang Medan, misalnya. Ternyata seiring waktu, si Polan cukup mencintai Medan dan tak mau dipindahkan ke daerah lain. Dia sudah merasa pas dengan Medan. Tak pelak, dia pun membuat koran yang dipimpinnya ini tidak maju-maju. Menurut si Polan, dalam rapat pimpinan di pusat, Medan masalahnya kompleks. Dia pun bercerita tentang sulitnya para anggota diatur. Rapat pimpinan di pusat menerima laporan itu dengan jujur. Kenapa? Karena sejatinya si Polan orang kepercayaan dan bukan kambing hitam dari para pimpinan pusat. Maka, tetap dipertahankanlah si Polan di Medan. Pasalnya, rapat pimpinan menganggap hanya si Polanlah sosok yang tepat untuk Medan. Padahal, semua itu adalah olahan si Polan. Dia memilih bawahannya, yang mengepalai divisi, adalah orang-orang yang dia kambing hitamkan. Jika ada orang yang dia pilih itu ternyata cukup menjanjikan, misalnya mampu membuat kerja kondusif dan oplah meningkat, kan tinggal dibuang. Lalu, cari lagi orang yang bisa dikambinghitamkan. Hehehehehe.

Jika begitu, bukankah yang diangkat si Polan menjadi pemimpin devisi atau apapun istilahnya, adalah korban? Begitulah, hal semacam inilah yang saya takuti dari terpilihnya Abraham Samad. Ayolah, KPK itu lembaga yang cukup dimusuhi orang kan? Dan, yang memusuhi lembaga ini bukan orang kecil, semuanya adalah sosok penting; baik di daerah maupun pusat. Menilik kasus-kasus yang belum selesai, mungkinkah Samad mampu menuntaskannya? Memang kita tak boleh pesimis. Seperti kata Khalil Gibran: jika masuk ke taman mawar, lihatlah kelopak bunganya, jangan durinya. Tapi, korupsi di negeri ini sudah menjadi kerja alias massal. Tapi sudahlah, toh Samad telah terpilih. Kini tinggal kita mau meilainya seperti apa; sosok teripilih atau hanya sekadar kambing hitam. Bukankah begitu? (*)

Ramadhan Batubara

Dan, Abraham Samad terpilih menjadi ketua Komisi Pemberantas Korupsi (KPK). Ada kepercayaan. Ada haru. Ada bangga. Tentu, ada harapan. Setidaknya sosok ini diharapkan mampu mengerjakan pekerjaan yang tertunda pun pekerjaan lain yang masih dalam incaran. 

Secara pribadi saya memberikan apresiasi positif pada lelaki berjambang ini. Namun,saya bertanya dalam hati: benarkah si Samad ini diberikan kepercayaan atau akan menjadi kambing hitam semata. Terus terang, di negeri ini soal kepercayaan itu sudah melebar maknanya. Setuju atau tidak, perhatikanlah para pemimpin baru di lembaga, daerah, organisasi, perusahaan, dan komunitas- komunitas, adakah mereka menjadi pahlawan seperti yang dimimpikan? Kita tidak perlu berbicara soal presiden atau gubernur,walikota atau bupati, kita bicara lingkup yang lebih kecil saja.

Begini, ambil contoh di sebuah perusahaan. Berhubung saya hidup di lingkungan koran, kita ambil saja contohnya sebuah surat kabar. Ceritanya, sebuat saja si Polan yang dipromosikan menjadi redaktur ekonomi; yang sebelumnya posisi itu belum ada di tempat dia bekerja karena redaktur sebelumnya dipecat. Mungkin, bagi beberapa orang, menjadi redaktur adalah posisi keren. Maka, banggalah si Polan ini. Dia kabarkan pada saudarasaudaranya kalau dia telah diangkat sebagai redaktur. Dia pun tambah semangat ke kantor.

Masalahnya, adakah dia dipercaya menjadi redaktur itu karena memang dia punya kemampuan? Tentu, jawaban bijak sang redaktur pelaksanahinggapemimpinredaksi adalah demikian. Namun, bagaimana jika koran itu memiliki ‘kekurangtajaman’ di berita ekonomi.

Dan, masalah desk ekonomi ini terus menjadi senjata pemilik koran untuk ‘menyerang’ pemimpin redaksi dan redaktur pelaksana. Nah, ketika si Polan mulai bekerja, kalau memang redaktur pelaksana dan pemimpin redaksi adalah yang memandang kemajuan koran, maka mereka akan memberi pengarahan pada si Polan untuk tambah kreatif. Ketika si Polan salah, maka yang muncul adalah motivasi maju dan bukan pembiaran. Tapi bagaimana jika sebaliknya, maksudnya para pemimpin itu hanya sekadar ingin cuci tangan. Maka, si Polan akan mendapat kebingungan yang sangat besar.

Dia bisa mati gaya karena tidak diberi pengarahan tentang kerjanya. Dia berjalan sendiri, seakan diberi kebebasan padahal tidakjuga. Sangpemimpinpuncenderung tak peduli, pasalnya mereka telah berlindung dibalik nama si Polan.

Jika jelek, makamerekaakan mengatakan pada sang pemilik kalau redakturnya tak becus. Jika bagus, mereka akan membusungkan dada. Intinya, mereka aman karena telah mengisi kekosongan desk ekonomi, masalah bagus atau tidaknya, kan itu urusan si Polan. Memang, soal bawahan itu urusan pemimpin. Tapi, si redakturpelaksanadanpemimpinredaksi bisa mengelak dengan mengatakan: mereka juga bawahan karena atasan mereka adalah sang pemilik. Mental pemimpin seperti ini dipercaya atau tidak pasti ada di dunia ini. Maka, yang dipercayanya menempati sebuah posisi pun sejatinya adalah kambing hitam. Ada juga pemimpin yang tidak ingin usahanya maju. Hm, bagaimana ini? Nah, kalau soal ini jelas mengarah ke ‘politik kantor’.

Ambil contoh, bisnis koran lagi. Anggaplah si Polan menjadi pimpinan di sebuah koran yang memiliki cabang di berbagai daerah. Dia memegang Medan, misalnya. Ternyata seiring waktu, si Polan cukup mencintai Medan dan tak mau dipindahkan ke daerah lain. Dia sudah merasa pas dengan Medan. Tak pelak, dia pun membuat koran yang dipimpinnya ini tidak maju-maju. Menurut si Polan, dalam rapat pimpinan di pusat, Medan masalahnya kompleks. Dia pun bercerita tentang sulitnya para anggota diatur. Rapat pimpinan di pusat menerima laporan itu dengan jujur. Kenapa? Karena sejatinya si Polan orang kepercayaan dan bukan kambing hitam dari para pimpinan pusat. Maka, tetap dipertahankanlah si Polan di Medan. Pasalnya, rapat pimpinan menganggap hanya si Polanlah sosok yang tepat untuk Medan. Padahal, semua itu adalah olahan si Polan. Dia memilih bawahannya, yang mengepalai divisi, adalah orang-orang yang dia kambing hitamkan. Jika ada orang yang dia pilih itu ternyata cukup menjanjikan, misalnya mampu membuat kerja kondusif dan oplah meningkat, kan tinggal dibuang. Lalu, cari lagi orang yang bisa dikambinghitamkan. Hehehehehe.

Jika begitu, bukankah yang diangkat si Polan menjadi pemimpin devisi atau apapun istilahnya, adalah korban? Begitulah, hal semacam inilah yang saya takuti dari terpilihnya Abraham Samad. Ayolah, KPK itu lembaga yang cukup dimusuhi orang kan? Dan, yang memusuhi lembaga ini bukan orang kecil, semuanya adalah sosok penting; baik di daerah maupun pusat. Menilik kasus-kasus yang belum selesai, mungkinkah Samad mampu menuntaskannya? Memang kita tak boleh pesimis. Seperti kata Khalil Gibran: jika masuk ke taman mawar, lihatlah kelopak bunganya, jangan durinya. Tapi, korupsi di negeri ini sudah menjadi kerja alias massal. Tapi sudahlah, toh Samad telah terpilih. Kini tinggal kita mau meilainya seperti apa; sosok teripilih atau hanya sekadar kambing hitam. Bukankah begitu? (*)

Previous article
Next article

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/