25 C
Medan
Saturday, November 23, 2024
spot_img

Tuah Serbuk Kayu

Zulkifli

Bagi yang mengenal Zulkifli (43) tentunya sepakat kalau pengusaha jamur tiram di Tebing Tinggi tersebut sebagai sosok yang menyenangkan. Ya, dia adalah tokoh yang murah senyum, murah tertawa, dan sering bercanda. Namun siapa tahu, kalau kehidupannya penuh liku. Beruntung, serbuk kayu telah membangkitkan semangat hidupnya.

Sejatinya Zulkifli merupakan asli orang dari Kota Medan dengan kelahiran tanggal 18 Maret 1968  yang beralamat di Jalan Sei Sikambing, Pasar II, Medan. Dia meraih gelar sarjana pertanian dengan lulusan tahun 1995 dari Institut Pertanian (Stiper) Yogyakarta. Di Kota Pelajar itulah dia menemukan Sulastri yang kemudian dinikahinya pada 1995 lalu.

Nah, liku hidup Zulkifli dimulai sejak dia menikah dan menjadi sarjana. Mulanya setelah perkawinan, mereka pulang ke Sumatera Utara. Zulkifli bekerja sebagai asisten di perkebunan Teh Hijau di Pematang Siantar selama tiga tahun. Krisis moneter global pada 1998 lalu ternyata membuat perusahaan tempatnya bekerja bangkrut. “Karena bangkrut dan saya tak bekerja, saya bersama istri kembali lagi ke Yogya untuk mencari pekerjaan, namun di sana tetap juga tak ada pekerjaan,’’ urai Zulkifli di rumahnya di Jalan Bakti, Gang Cik Ramlah, Lingkungan V, Kelurahan Damarsari, Kecamatan Padang Hilir, Kota Tebing Tinggi , belum lama ini.

Karena tak ada pekerjaan di Yogya, Zulkifli memutuskan bersama istrinya untuk kembali di Sumatera Utara. Masih pada 1998, Zulkifli pun mencoba peruntungan dengan merantau di Kota Tebing Tinggi, tepatnya di daerah Kebun Sayur, Jalan Abdul Hamid, Sungai Segiling Kota Tebing Tinggi. Dia membangun usaha baru yakni membudidayakan peternakan sekaligus pembibitan burung puyuh.

Namun, usaha yang digeluti selama empat tahun menuai kegagalan karena semua burung puyuhnya telah mati terserang maraknya virus flu burung. “Lalu, daripada menganggur, saya coba berjualan kain batik yang didatangkan dari Yogya sambil berpikir mencari pekerjaan atau usaha lain,” kenangnya.

Nah, sambil berjualan batik keliling di Kota Tebing Tinggi terbersit dipikirannya untuk memulai usaha lain. Ya, dilihatnya banyak industri pengolahan kayu di kawasan kota tersebut. Karena itu, banyak pula menghasilkan limbah yang berupa serbuk gergaji. Dan, limbah itu dibuang ke sembarang tempat. Maka, mulai tahun 2005, dirinya melakukan riset terkait limbah tadi.

Dalam otaknya, bagaimana jika serbuk kayutersebut dijadikan mediasi jamur tiram. Setidaknya, soal jamur telah ia pelajari di masa kuliah tempo dulu. “Riset pertama gagal dan saya tak putus asa. Sambil berjualan, saya lakukan riset kembali tahun 2006 dan barulah tahun 2007 pemerintah Kota Tebing Tinggi melalui bagian Badan Pemberdayaan Masyarakat Kota (BPMK) mengajak kerja sama untuk pengembangbiakan budidaya jamur tiram. Dan, usaha tersebut berlanjut sampai sekarang,” senyum Zulkifli.

Dikatakannya, serbuk kayu yang dijadikan mediasi jamur berasal dari serbuk gergaji kayu karet dengan pembelian per mobilnya harga Rp300.000.

Cara pengolahannya menjadi baglog siap jual adalah serbuk kayu dicampur dengan kapur yang mengandung kalsium, tepung jagung, tepung tapioka dan dedak sekam padi. Setelah dicampur kemudian dimasukan ke dalam plastik dan dipadatkan. Selanjutnya untuk menseterilkan kuman atau virus pengganggu pertumbuhan jamur, baglog dikukus (dimasak) selama 4 hingga 6 jam dengan suhu rata-rata 100 celcius.

Setelah proses itu terlewati, baglog didiamkan selama dua puluh empat jam dan setelah itu baru dimasukan bibit (spora) jamur. “Untuk per satu baglog yang sudah diisi spora jamur saya jual Rp5.000 dan untuk bibit spora yang masih F2 (keturunan kedua) saya jual per botolnya dengan harga Rp25.000,’’ terang Zulkifli.

Lalu, bagaimana dengan penjual? Zulkifli kembali tersenyum. Dengan bangga dikatakannya kalau jamur yang dihasilkannya dijual ke supermarket atau pusat perbelanjaan di daerah sekitar hingga di Kota Medan. Kedepan Zulkifli berharap kepada para sarjana untuk bisa menciptakan usaha sendiri yang bisa menampung tenaga kerja. “Kita bangga bisa mempekerjakan empat orang karyawan,” pungkas lelaki yang juga tercatat sebagai guru honorer di salah satu Madrasah Aliyah Negeri (MAN) yang ada di Kota Tebing Tinggi. (mag-3)

Zulkifli

Bagi yang mengenal Zulkifli (43) tentunya sepakat kalau pengusaha jamur tiram di Tebing Tinggi tersebut sebagai sosok yang menyenangkan. Ya, dia adalah tokoh yang murah senyum, murah tertawa, dan sering bercanda. Namun siapa tahu, kalau kehidupannya penuh liku. Beruntung, serbuk kayu telah membangkitkan semangat hidupnya.

Sejatinya Zulkifli merupakan asli orang dari Kota Medan dengan kelahiran tanggal 18 Maret 1968  yang beralamat di Jalan Sei Sikambing, Pasar II, Medan. Dia meraih gelar sarjana pertanian dengan lulusan tahun 1995 dari Institut Pertanian (Stiper) Yogyakarta. Di Kota Pelajar itulah dia menemukan Sulastri yang kemudian dinikahinya pada 1995 lalu.

Nah, liku hidup Zulkifli dimulai sejak dia menikah dan menjadi sarjana. Mulanya setelah perkawinan, mereka pulang ke Sumatera Utara. Zulkifli bekerja sebagai asisten di perkebunan Teh Hijau di Pematang Siantar selama tiga tahun. Krisis moneter global pada 1998 lalu ternyata membuat perusahaan tempatnya bekerja bangkrut. “Karena bangkrut dan saya tak bekerja, saya bersama istri kembali lagi ke Yogya untuk mencari pekerjaan, namun di sana tetap juga tak ada pekerjaan,’’ urai Zulkifli di rumahnya di Jalan Bakti, Gang Cik Ramlah, Lingkungan V, Kelurahan Damarsari, Kecamatan Padang Hilir, Kota Tebing Tinggi , belum lama ini.

Karena tak ada pekerjaan di Yogya, Zulkifli memutuskan bersama istrinya untuk kembali di Sumatera Utara. Masih pada 1998, Zulkifli pun mencoba peruntungan dengan merantau di Kota Tebing Tinggi, tepatnya di daerah Kebun Sayur, Jalan Abdul Hamid, Sungai Segiling Kota Tebing Tinggi. Dia membangun usaha baru yakni membudidayakan peternakan sekaligus pembibitan burung puyuh.

Namun, usaha yang digeluti selama empat tahun menuai kegagalan karena semua burung puyuhnya telah mati terserang maraknya virus flu burung. “Lalu, daripada menganggur, saya coba berjualan kain batik yang didatangkan dari Yogya sambil berpikir mencari pekerjaan atau usaha lain,” kenangnya.

Nah, sambil berjualan batik keliling di Kota Tebing Tinggi terbersit dipikirannya untuk memulai usaha lain. Ya, dilihatnya banyak industri pengolahan kayu di kawasan kota tersebut. Karena itu, banyak pula menghasilkan limbah yang berupa serbuk gergaji. Dan, limbah itu dibuang ke sembarang tempat. Maka, mulai tahun 2005, dirinya melakukan riset terkait limbah tadi.

Dalam otaknya, bagaimana jika serbuk kayutersebut dijadikan mediasi jamur tiram. Setidaknya, soal jamur telah ia pelajari di masa kuliah tempo dulu. “Riset pertama gagal dan saya tak putus asa. Sambil berjualan, saya lakukan riset kembali tahun 2006 dan barulah tahun 2007 pemerintah Kota Tebing Tinggi melalui bagian Badan Pemberdayaan Masyarakat Kota (BPMK) mengajak kerja sama untuk pengembangbiakan budidaya jamur tiram. Dan, usaha tersebut berlanjut sampai sekarang,” senyum Zulkifli.

Dikatakannya, serbuk kayu yang dijadikan mediasi jamur berasal dari serbuk gergaji kayu karet dengan pembelian per mobilnya harga Rp300.000.

Cara pengolahannya menjadi baglog siap jual adalah serbuk kayu dicampur dengan kapur yang mengandung kalsium, tepung jagung, tepung tapioka dan dedak sekam padi. Setelah dicampur kemudian dimasukan ke dalam plastik dan dipadatkan. Selanjutnya untuk menseterilkan kuman atau virus pengganggu pertumbuhan jamur, baglog dikukus (dimasak) selama 4 hingga 6 jam dengan suhu rata-rata 100 celcius.

Setelah proses itu terlewati, baglog didiamkan selama dua puluh empat jam dan setelah itu baru dimasukan bibit (spora) jamur. “Untuk per satu baglog yang sudah diisi spora jamur saya jual Rp5.000 dan untuk bibit spora yang masih F2 (keturunan kedua) saya jual per botolnya dengan harga Rp25.000,’’ terang Zulkifli.

Lalu, bagaimana dengan penjual? Zulkifli kembali tersenyum. Dengan bangga dikatakannya kalau jamur yang dihasilkannya dijual ke supermarket atau pusat perbelanjaan di daerah sekitar hingga di Kota Medan. Kedepan Zulkifli berharap kepada para sarjana untuk bisa menciptakan usaha sendiri yang bisa menampung tenaga kerja. “Kita bangga bisa mempekerjakan empat orang karyawan,” pungkas lelaki yang juga tercatat sebagai guru honorer di salah satu Madrasah Aliyah Negeri (MAN) yang ada di Kota Tebing Tinggi. (mag-3)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/