MEDAN, SUMUTPOS.CO – Rencana belajar tatap muka saat pandemi Covid-19 di sekolah mulai dari tingkat dasar hingga menengah, harus ramah anak. Selain itu, rencana tersebut jangan menjadi klaster baru penularan virus corona.
Psikolog USU, Meutia Nauly menuturkan, wujud sekolah ramah anak ditinjau dari psikologi saat pandemi, tentu memperhatikan protokol kesehatan Covid-19. Misalnya, jumlah anak hanya sepertiga dari keseluruhan, Kemudian, pembelajaran dilakukan di ruang terbuka atau pendingin ruangan dimatikan dan jendela dibuka.
“Kondisi kesehatan anak juga dicek dengan mengukur suhu tubuhnya, serta tidak ada gejala flu, batuk, pilek, bahkan demam. Selain itu, selalu gunakan masker, menjaga jarak saat duduk, budayakan mencuci tangan saat masuk ke sekolah atau kelas,” tutur Meutia dalam diskusi daring dengan tema, Menyongsong Sekolah Tatap Muka yang Aman, Sehat, dan Produktif, yang digelar IAKMI Sumut, Sabtu (27/3).
Dikatakannya, sekolah ramah ramah anak sebetulnya sudah digulirkan mulai tahun 2015. Konsep sekolah tersebut, yaitu bagaimana satuan pendidikan mampu menjamin, memenuhi, menghargai hak-hak anak dan melindungi dari kekerasan, diskriminasi serta perlakuan salah lainnya. Selain itu, mendukung partisipasi anak dalam hal perencanaan, kebijakan, pembelajaran, pengawasan, mekanisme pengaduan terkait hak dan perlindungan satuan pendidikannya.
“Dalam rangka mengarah pada sekolah ramah anak di masa new normal ini, perlu memahami perkembangan anak untuk dapat memberikan pendidikan dan cara berkomunikasi yang baik dengannya. Artinya, edukasi anak dengan cara yang menyenangkan mengenai protokol kesehatan Covid-19. Jadikan rutinitas memakai masker, mencuci tangan, konsumsi makan-makanan bergizi dan vitamin dengan cara yang menyenangkan. Jangan marahi anak jika tidak nyaman menggunakan masker,” ungkap Meutia.
Meski demikian, menurut dia, sekolah tatap muka saat pandemi menjadi sesuatu yang harus benar-benar dipikirkan. “Jangan berpikir pandemi ini akan segera berakhir. Artinya, kita harus berpikir dengan kondisi yang dihadapi saat ini dan menyesuaikan diri tanpa menghambat pemenuhan kebutuhan anak atas pendidikan,” katanya.
Meutia juga mengatakan, pandemi memang menghambat pemenuhan hak anak atas pendidikan. Walau pembelajaran daring sudah berjalan, tetapi membutuhkan banyak pembelajaran dan penyesuaian. Artinya, untuk memenuhinya masih jauh dari harapan yang diinginkan karena memang harus disadari berbagai lini, seperti guru, kesiapan orang tua di rumah hingga kesiapan komunitas masih tertatih-tatih.
“Pembelajaran secara online, di samping masalah teknologi tentu menghadapi keterbatasan-keterbatasan lain dan kurangnya interaksi sosial kepada anak. Padahal, interaksi ini menjadi faktor penting juga di sekolah selain pembelajaran,” ujar dia.
Sementara, dalam kesempatan yang sama Kabid Kesmas Dinkes Sumut, Hery Ambarita menyampaikan, metode pembelajaran tanpa tatap muka sudah pasti mengurangi kualitas penyampaian materi dari guru dan juga pemahaman materi oleh murid. Sebab pembelajaran yang baik itu memang secara tatap muka, tetapi jangan sampai menjadi klaster baru penularan Covid-19.
Hery juga menyampaikan, prinsip kebijakan pendidikan di era pandemi ini yaitu kesehatan dan keselamatan peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan, keluarga, dan masyarakat merupakan prioritas utama dalam menetapkan kebijakan pembelajaran. Selain itu, tumbuh kembang peserta didik dan kondisi psikososial juga menjadi pertimbangan dalam pemenuhan layanan pendidikan selama masa pandemi.
“Sekolah tatap muka memang tidak mudah, membutuhkan komitmen yang tinggi. Murid harus patuh, begitu juga guru, tenaga kependidikan dan unsur-unsur terkait lainnya termasuk keluarga hingga masyarakat,” ujarnya.
Oleh karena itu, penerapan 5M menjadi hal yang mutlak di sekolah dan tidak bisa ditawar-tawar. “Harapan kita, dengan disiplin dan komitmen yang kuat terhadap protokol kesehatan, maka orang-orang yang terlibat di sekolah dapat terhindar dari penularan Covid-19,” sambungnya.
Dia menyatakan, belajar tatap muka saat pandemi tentunya harus meningkatkan teknis kapasitas pembelajaran yang mengacu kepada 5M. Misalnya, kalau sebelumnya satu ruangan diisi oleh 30 murid maka kini dikurangi jumlahnya karena harus mengatur jarak. Selain itu, menyediakan sarana cuci tangan.
Di sisi lain, peserta didik menggunakan perlengkapan sekolah tidak pinjam-meminjam. Saat tiba di rumah, murid disarankan mengganti pakaian dan membersihkan diri sebelum berinteraksi fisik dengan keluarga atau orang lain. “Tidak boleh ada peluang untuk tidak tertib. Setiap sekolah harus membentuk tim Satgas Covid-19 dengan memberdayakan sumber daya yang ada. Sekolah tetap berkoordinasi dengan dinas kesehatan di daerahnya,” tandas dia. (ris)