29 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Wak Diur Berhenti Memaki

Cerpen :  Anileda

Hampir setiap hari suara Wak Diur terdengar.
Berteriak atau memaki, tak pernah diam.

Dan, tak ada yang melarang. Bak luka, teriakan itu mengering, tapi tetap menawarkan rasa sakit.
Puluhan tahun menempati salah satu rumah kontrakan di Kampung Keluarga, membuat perempuan 50 tahunan ini menjadi salah satu orang yang dituakan. Tak ada yang berani melawannya, warga memilih diam kalau Wak Diur sudah berulah. Malah sebagian warga memilih untuk masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu rapat-rapat tiap kali perempuan bertubuh subur ini mulai berteriak.
“Heh, anjing! pulangkan kereta itu!”
“Kupinjam sebentar dulu. Tak bisa?”

Wak Diur memaki Anto, anak sulung yang baru saja pisah ranjang dengan isterinya.
“Bagus-bagus ko cakap ya. Kok kau pula yang mengatur aku. Kereta bapak kau itu. Jangan ko pakek. Nanti merepet bapak kau. Pusing kepalaku!” teriakan Wak Diur kembali terdengar.

Ah sebentar saja!” ucap Anto menstarter sepeda motor, bersiap untuk pergi.

Wak Diur tak suka. Dia berang, dan kembali mengulang kalimat makian tadi. Anto tak peduli dan pergi begitu saja. Bak kesetanan, Wak Diur mengejar Anto. Dia mengambil batu sekepalan tangan melemparkan ke arah laju sepeda motor yang menderu kencang.

“Memang anak setan kau!” makinya.

Sementara itu, di luar sana, beberapa pasang mata warga Kampung Keluarga diam-diam memperhatikan dari balik jendela rumah. Bak menonton sinetron di layar kaca, mereka pun berbisik-bisik.
“Ah, ngeri kali Wak Diur itu,” ucap salah seorang warga.
“Iya. Tak punya malu,” sahut lainnya.
***

Beberapa warga merasa resah melihat sikap Wak Diur. Mereka merasa kenyamanan mereka untuk tinggal di Kampung Keluarga ini terganggu. Diam-diam, beberapa warga mengadu kepada Pak Masro, Kepala Lingkungan atawa Kepling Kampung Keluarga. Pak Masro kaget ketika sebanyak 10 warga mendatangi rumahnya di malam hari. Apalagi aduan warga adalah tentang Wak Diur, orang yang disegani dan cukup ditakuti di kampung itu.
“Begini Pak Kepling. Menurut saya, sebaiknya Wak Diur itu diamankan saja. Karena sikapnya itu betul-betul mengganggu loh!” ucap Bu Titis memulai perbincangan.

“Diamankan bagaimana? Wak Diur kan bukan penjahat. Cukup dibicarakan saja,” sahut Bu Ratih.
“Apa? Dibicarakan? Itu tak mungkin Buk. Belum bicara saja, Dia sudah memaki. Ih ngeri lah,” bantah Bu Titis.
Keduanya pun saling adu pendapat. Menurut Pak Masro, persoalanan ini harus dibicarakan dengan kepala dan hati yang tenang. Dijelaskannya, kalau keluarga Wak Diur merupakan warga lama yang tinggal di kampung ini. Mereka sudah tinggal di kampung ini jauh sebelum Pak Masro menjadi Kepling. Warga di kampung ini menghormati dan menuakan Wak Diur, jadi agak sulit untuk mengubah Wak Diur, karena sejak dulu dia memang begitu.
“Jadi singkatnya, Pak Kepling tak bisa menyelesaikan masalah ini?” ucap Bu Titis.

“Iya Pak. Kami kan warga Kampung Keluarga juga. Masak kami tidak boleh sih mengadu. Lagian warga yang hadir di sini juga pada setuju kalau Wak Diur itu mengganggu kenyamanan kampung ini,” Bu Ratih menimpali.
“Aduh bagaimana ya? Saya bingung bagaimana supaya situasinya jadi sama-sama enak, begitu,” jelas Pak Masro.
“Kan sudah saya bilang diamankan saja!” sahut Bu Titis.

“Atau dibicarakan dengan Wak Diur,” sambung Bu Ratih.
“Atau jangan-jangan Pak Kepling tak berani?” celetuk warga yang lain.
***

Pak Masro terlihat bingung. Siang itu dia sudah berdiri di depan pintu rumah Wak Diur. Dia tampak gelisah. Berulangkali pria berkumis tebal ini menghapus keringat yang membasahi dahinya. Para tetangga di sekitar rumah Wak Diur pun turut menyaksikan gelagat Pak Masro yang berjanji akan membicarakan tuntutan warga Kampung Keluarga tempo hari. Ditunggu-tunggu, kepling yang juga pebisnis usaha panglong ini tak juga berani mengetuk pintu rumah Wak Diur. Tiba-tiba terdengar sebuah teriakan berisi makian. Pak Masro kaget. Dia mengelus dada. Pintu rumah terbuka, Cita, cucu Wak Diur berlari keluar sembari membanting pintu.
Dia berlari ke luar rumah mengejar cucu pertamanya itu. Pak Masro bengong menonton aksi Wak Diur mengejar Cita.
“Ada apa Pak kepling kesini?” tanya Wak Diur.

“Oh, tidak Buk. Kebetulan saja saya lewat. Jadi sekalian ingin mengecek mengenai pemasangan pipa air PAM bagi warga Kampung Keluarga,” kilah Pak Masro.

“Oh, Saya pikir ada hal penting yang mau dibicarakan,” sahut Wak Diur.
“Baiklah kalau begitu saya permisi dulu ya Buk. Assalamualaikum.”

Pak Masro segera berlalu dari rumah Wak Diur. Beberapa tetangga yang sejak tadi pasang mata dan telinga mendadak kecewa. Benar dugaan beberapa warga kampung tersebut, ternyata Pak Masro tak berani.
“Huh, dasar kepling pengecut!” ketus Bu Titis.

“Ya, ini tak bisa dibiarkan. Pemimpin macam apa itu? Masak tak berani menegur warganya. Padahal dia kita pilih kan karena kita mempercayainya mampu untuk menjaga Kampung Keluarga ini tetap nyaman dan aman!” beber Bu Ratih geram.

Diam-diam, beberapa warga Kampung sepakat untuk membuat perhitungan sendiri dengan Wak Diur. Mereka bermaksud untuk mendatangi rumah Wak Diur beramai-ramai. Tujuannya adalah untuk mengubah Wak Diur. Kalau Wak Diur tak mau, maka warga kampung yang menamakan diri sebagai Kelompok Pembela Kenyamanan Kampung Keluarga (KPK3) ini akan mengusir Wak Diur dari kampung. Surat edaran keikutsertaan aksi ini pun disebarkan ke tiap rumah warga. Ditandatangani oleh Bu Titis sebagai ketuanya dan Bu Ratih sebagai wakil ketuanya.
***

“Pak Kepling…, Pak Kepling.”
“Ada apa?”

“Warga mengamuk Pak. Rumah Wak Diur mau dibakar. Ayo Pak cepat kesana!”
Pak Masro terdiam. Dia terduduk lemas di atas kursi.
Wak Diur menangis kencang. Anak dan cucunya pun turut menangis histeris. Dua anak lelakinya berdiri di depan pintu sambil mengacungkan parang. Pak Masro kalut. Selama dua tahun menjabat sebagai kepling di kampung itu, baru kali ini dia menghadapi persoalan seperti ini. Beberapa warga sudah bersiap di depan halaman rumah Wak Diur. Mereka membawa satu dirijen penuh minyak tanah. Teriakan warga terdengar bersahut-sahutan. Warga ingin Wak Diur tidak memaki lagi. Kalau tidak, Wak Diur harus keluar dari kampung ini. Kalau tak mau juga maka warga akan membakar rumah Wak Diur.
“Hei, tunggu dulu!”

Pak Masro pun menyeruak kerumunan warga dan berdiri di depan rumah Wak Diur. Warga tak peduli. Teriakan untuk membakar rumah Wak Diur pun kian terdengar kencang. Warga melangkah maju, semakin mendekat. Kedua anak lelaki Wak Diur pun bersiap memasang kuda-kuda. Suara tangis Wak Diur pun semakin kencang. Pak Masro sadar, dihadapannya ini bukanlah sekumpulan anak-anak, namun mereka adalah sekumpulan warga yang emosinya sedang terbakar. Tak mudah untuk mendiamkan dan menenangkan mereka. Oh Tuhan, apa yang harus kulakukan? Pak Masro membatin. Sementara langkah warga semakin dekat saja. Jaraknya hanya lima meter lagi hingga berada di depan rumah Wak Diur. Pak Masro pun mengumpulkan kekuatan. Tak ada jalan lain selain memadamkan emosi dengan emosi juga. Pak Masro mengambil kayu kemudian membasahinya dengan minyak tanah, lalu menyulut api pada kayu tersebut. Dalam hitungan detik, api berkobar. Pak Masro mengacungkan kayu berapi itu dihadapan kerumunan warga.

“Sudah saya bilang. Tolong dengarkan dulu. Mengapa kalian tak mendengarkan saya?” teriak Pak Masro.
Tindakan Pak Masro itu membuat beberapa warga yang berdiri di barisan depan melangkah mundur ke belakang. Suara teriakan pun pelan-pelan mulai redup. Warga memandangi Pak Masro. Mereka belum pernah mendapati sikap Pak Masro seperti itu. Kedua matanya memerah. Tulang pada rahang dan urat pada lehernya menonjol. Suara Pak Masro pun tak seperti biasanya, terdengar begitu keras dan membahana.
“Apa masalahmu dengan Wak Diur?”

“Tak ada Pak. Saya cuma ikut-ikutan saja.”
“Kalau kamu?” tunjuk Pak Masro kepada warga lainnya.
“Kata orang Wak Diur suka memaki Pak. Begitu yang saya dengar,” jawabnya.
“Kata orang, kata orang. Apa kata kau sendiri?”

“Saya tidak pernah mendengar itu. Karena rumah saya jauh dari rumah Wak Diur, Pak!”
Dua perempuan maju ke depan. Mereka adalah ibu Titis dan ibu Ratih.

“Kami berdua merasa tidak nyaman dengan kehadiran Wak Diur!” ucap keduanya bersamaan.
“Wak Diur itu suka memaki. Suaranya kencang dan itu sangat mengganggu Pak. Anak saya yang baru tidur langsung terbangun mendengar teriakannya. Saya kan capek menidurkannya. Waktu saya banyak terbuang percuma, pekerjaan saya sering terbengkalai. Semuanya gara-gara dia!” beber Bu Titis.

“Saya juga Pak. Saya ini kan pengantin baru. Sedang ikut program kehamilan. Namun tidak pagi, juga siang bahkan malam, Wak Diur suka berteriak dan memaki. Program hamil gagal karena suami saya jadi tidak sreg lagi gara-gara mendengarkan teriakan dan makian Wak Diur.  Huuh!” sambung Bu Ratih.

Sesaat suasana menjadi hening. Tak puas lontarkan uneg-unegnya, kedua ibu muda ini melanjutkan keluh kesahnya. Tak ada bantahan, semuanya terdiam mendengarkan Bu Ratih dan Bu Titis. Wak Diur pun tak berkata apa-apa. Dia hanya menunduk dan sesekali memandang pada kedua tetangganya.

“Saya takut berbicara dengan Wak Diur. Suaranya kencang kali,” ucap Bu Ratih tiba-tiba.
“Iya. Sebetulnya sudah lama kami ingin menyampaikan langsung pada Wak Diur. Tapi kami tak berani. Nanti disenggak dan dimaki. Kami malu!” sahut Bu Titis pula.

Wak Diur melangkah ke tengah. Berteriak bak orang kesurupan. Mencabik-cabik rambutnya hingga rontok. Dia mengacungkan kayu. Berputar-putar, hingga terjatuh dan berguling-guling. Tubuhnya penuh dengan tanah. Semuanya kaget, warga terpana memandang aksi Wak Diur. Pak Sarmo, Bu Ratih dan Bu Titis pun terdiam. Seperti tersihir. Tak ada satupun yang berani mendekat, bahkan keluarganya sekalipun. Anak-anaknya malah menangis semakin kencang.

“Belasan tahun aku tinggal di kampung ini, tak ada satupun yang protes dengan makianku, dan sekarang kalian ingin membakar rumahku! Membakar aku hidup-hidup! Iya!” teriak Wak Diur lantang.
Bu Ratih dan Bu Titis memandang pada Pak Sarmo. Namun seperti tercekat, Pak Sarmo hanya terdiam. Dia Shock. Tak kuat menghadapi aksi Wak Diur, kedua ibu muda ini pergi berlari menuju rumahnya masing-masing. Mereka menutup pintu rapat-rapat. Mengunci sampai dua kali. Rupanya Wak Diur kian menggila. Dia mendatangi rumah Bu Titis dan Bu Ratih. Berteriak memanggil dan memaki. Memukul pintu dan jendela.
“Ayo bunuh aku!” teriaknya di depan rumah Bu Titis.

Bu Titis kecut sekaligus panik. Dia duduk menyudut di dalam kamar tidurnya. Suaminya belum pulang. Titis menangis. Dua buah tas besar sudah diisi penuh dengan baju dan celana dalam. Ibu muda ini bermaksud minggat ke rumah ibunya. Dia sudah tak tahan lagi. Dia tak mau lagi tinggal di rumah itu, di kampung itu. Begitupun Bu Ratih, dia sudah menyuruh suaminya untuk menjemputnya lewat pintu belakang. Bu Ratih tinggal menunggu aba-aba dari sang suami, kapan waktu yang tepat untuk menyelinap ke jalan, tanpa ketahuan Wak Diur.

Prang. Suara pecahan kaca terdengar. Bu Titis semakin meringkuk di dalam kamarnya. Pak Sarmo memanggil warga lain untuk memegangi Wak Diur. Perempuan yang sudah lama ditinggal sang suami ini termasuk kuat. Dia meronta dan berteriak. Sepuluh pemuda memeganginya, barulah Wak Diur tak bisa bergerak. Tiba-tiba tubuhnya mengejang. Wak Diur memegangi dadanya. Nafasnya putus-putus. Kedua matanya melotot. Tubuh kejangnya berubah kaku.
“Mamak……!” teriakan pilu Anto, anak Wak Diur, membahana mengajak warga Kampung Keluarga merasakan luka yang basah.

Medan Maret 2011

Cerpen :  Anileda

Hampir setiap hari suara Wak Diur terdengar.
Berteriak atau memaki, tak pernah diam.

Dan, tak ada yang melarang. Bak luka, teriakan itu mengering, tapi tetap menawarkan rasa sakit.
Puluhan tahun menempati salah satu rumah kontrakan di Kampung Keluarga, membuat perempuan 50 tahunan ini menjadi salah satu orang yang dituakan. Tak ada yang berani melawannya, warga memilih diam kalau Wak Diur sudah berulah. Malah sebagian warga memilih untuk masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu rapat-rapat tiap kali perempuan bertubuh subur ini mulai berteriak.
“Heh, anjing! pulangkan kereta itu!”
“Kupinjam sebentar dulu. Tak bisa?”

Wak Diur memaki Anto, anak sulung yang baru saja pisah ranjang dengan isterinya.
“Bagus-bagus ko cakap ya. Kok kau pula yang mengatur aku. Kereta bapak kau itu. Jangan ko pakek. Nanti merepet bapak kau. Pusing kepalaku!” teriakan Wak Diur kembali terdengar.

Ah sebentar saja!” ucap Anto menstarter sepeda motor, bersiap untuk pergi.

Wak Diur tak suka. Dia berang, dan kembali mengulang kalimat makian tadi. Anto tak peduli dan pergi begitu saja. Bak kesetanan, Wak Diur mengejar Anto. Dia mengambil batu sekepalan tangan melemparkan ke arah laju sepeda motor yang menderu kencang.

“Memang anak setan kau!” makinya.

Sementara itu, di luar sana, beberapa pasang mata warga Kampung Keluarga diam-diam memperhatikan dari balik jendela rumah. Bak menonton sinetron di layar kaca, mereka pun berbisik-bisik.
“Ah, ngeri kali Wak Diur itu,” ucap salah seorang warga.
“Iya. Tak punya malu,” sahut lainnya.
***

Beberapa warga merasa resah melihat sikap Wak Diur. Mereka merasa kenyamanan mereka untuk tinggal di Kampung Keluarga ini terganggu. Diam-diam, beberapa warga mengadu kepada Pak Masro, Kepala Lingkungan atawa Kepling Kampung Keluarga. Pak Masro kaget ketika sebanyak 10 warga mendatangi rumahnya di malam hari. Apalagi aduan warga adalah tentang Wak Diur, orang yang disegani dan cukup ditakuti di kampung itu.
“Begini Pak Kepling. Menurut saya, sebaiknya Wak Diur itu diamankan saja. Karena sikapnya itu betul-betul mengganggu loh!” ucap Bu Titis memulai perbincangan.

“Diamankan bagaimana? Wak Diur kan bukan penjahat. Cukup dibicarakan saja,” sahut Bu Ratih.
“Apa? Dibicarakan? Itu tak mungkin Buk. Belum bicara saja, Dia sudah memaki. Ih ngeri lah,” bantah Bu Titis.
Keduanya pun saling adu pendapat. Menurut Pak Masro, persoalanan ini harus dibicarakan dengan kepala dan hati yang tenang. Dijelaskannya, kalau keluarga Wak Diur merupakan warga lama yang tinggal di kampung ini. Mereka sudah tinggal di kampung ini jauh sebelum Pak Masro menjadi Kepling. Warga di kampung ini menghormati dan menuakan Wak Diur, jadi agak sulit untuk mengubah Wak Diur, karena sejak dulu dia memang begitu.
“Jadi singkatnya, Pak Kepling tak bisa menyelesaikan masalah ini?” ucap Bu Titis.

“Iya Pak. Kami kan warga Kampung Keluarga juga. Masak kami tidak boleh sih mengadu. Lagian warga yang hadir di sini juga pada setuju kalau Wak Diur itu mengganggu kenyamanan kampung ini,” Bu Ratih menimpali.
“Aduh bagaimana ya? Saya bingung bagaimana supaya situasinya jadi sama-sama enak, begitu,” jelas Pak Masro.
“Kan sudah saya bilang diamankan saja!” sahut Bu Titis.

“Atau dibicarakan dengan Wak Diur,” sambung Bu Ratih.
“Atau jangan-jangan Pak Kepling tak berani?” celetuk warga yang lain.
***

Pak Masro terlihat bingung. Siang itu dia sudah berdiri di depan pintu rumah Wak Diur. Dia tampak gelisah. Berulangkali pria berkumis tebal ini menghapus keringat yang membasahi dahinya. Para tetangga di sekitar rumah Wak Diur pun turut menyaksikan gelagat Pak Masro yang berjanji akan membicarakan tuntutan warga Kampung Keluarga tempo hari. Ditunggu-tunggu, kepling yang juga pebisnis usaha panglong ini tak juga berani mengetuk pintu rumah Wak Diur. Tiba-tiba terdengar sebuah teriakan berisi makian. Pak Masro kaget. Dia mengelus dada. Pintu rumah terbuka, Cita, cucu Wak Diur berlari keluar sembari membanting pintu.
Dia berlari ke luar rumah mengejar cucu pertamanya itu. Pak Masro bengong menonton aksi Wak Diur mengejar Cita.
“Ada apa Pak kepling kesini?” tanya Wak Diur.

“Oh, tidak Buk. Kebetulan saja saya lewat. Jadi sekalian ingin mengecek mengenai pemasangan pipa air PAM bagi warga Kampung Keluarga,” kilah Pak Masro.

“Oh, Saya pikir ada hal penting yang mau dibicarakan,” sahut Wak Diur.
“Baiklah kalau begitu saya permisi dulu ya Buk. Assalamualaikum.”

Pak Masro segera berlalu dari rumah Wak Diur. Beberapa tetangga yang sejak tadi pasang mata dan telinga mendadak kecewa. Benar dugaan beberapa warga kampung tersebut, ternyata Pak Masro tak berani.
“Huh, dasar kepling pengecut!” ketus Bu Titis.

“Ya, ini tak bisa dibiarkan. Pemimpin macam apa itu? Masak tak berani menegur warganya. Padahal dia kita pilih kan karena kita mempercayainya mampu untuk menjaga Kampung Keluarga ini tetap nyaman dan aman!” beber Bu Ratih geram.

Diam-diam, beberapa warga Kampung sepakat untuk membuat perhitungan sendiri dengan Wak Diur. Mereka bermaksud untuk mendatangi rumah Wak Diur beramai-ramai. Tujuannya adalah untuk mengubah Wak Diur. Kalau Wak Diur tak mau, maka warga kampung yang menamakan diri sebagai Kelompok Pembela Kenyamanan Kampung Keluarga (KPK3) ini akan mengusir Wak Diur dari kampung. Surat edaran keikutsertaan aksi ini pun disebarkan ke tiap rumah warga. Ditandatangani oleh Bu Titis sebagai ketuanya dan Bu Ratih sebagai wakil ketuanya.
***

“Pak Kepling…, Pak Kepling.”
“Ada apa?”

“Warga mengamuk Pak. Rumah Wak Diur mau dibakar. Ayo Pak cepat kesana!”
Pak Masro terdiam. Dia terduduk lemas di atas kursi.
Wak Diur menangis kencang. Anak dan cucunya pun turut menangis histeris. Dua anak lelakinya berdiri di depan pintu sambil mengacungkan parang. Pak Masro kalut. Selama dua tahun menjabat sebagai kepling di kampung itu, baru kali ini dia menghadapi persoalan seperti ini. Beberapa warga sudah bersiap di depan halaman rumah Wak Diur. Mereka membawa satu dirijen penuh minyak tanah. Teriakan warga terdengar bersahut-sahutan. Warga ingin Wak Diur tidak memaki lagi. Kalau tidak, Wak Diur harus keluar dari kampung ini. Kalau tak mau juga maka warga akan membakar rumah Wak Diur.
“Hei, tunggu dulu!”

Pak Masro pun menyeruak kerumunan warga dan berdiri di depan rumah Wak Diur. Warga tak peduli. Teriakan untuk membakar rumah Wak Diur pun kian terdengar kencang. Warga melangkah maju, semakin mendekat. Kedua anak lelaki Wak Diur pun bersiap memasang kuda-kuda. Suara tangis Wak Diur pun semakin kencang. Pak Masro sadar, dihadapannya ini bukanlah sekumpulan anak-anak, namun mereka adalah sekumpulan warga yang emosinya sedang terbakar. Tak mudah untuk mendiamkan dan menenangkan mereka. Oh Tuhan, apa yang harus kulakukan? Pak Masro membatin. Sementara langkah warga semakin dekat saja. Jaraknya hanya lima meter lagi hingga berada di depan rumah Wak Diur. Pak Masro pun mengumpulkan kekuatan. Tak ada jalan lain selain memadamkan emosi dengan emosi juga. Pak Masro mengambil kayu kemudian membasahinya dengan minyak tanah, lalu menyulut api pada kayu tersebut. Dalam hitungan detik, api berkobar. Pak Masro mengacungkan kayu berapi itu dihadapan kerumunan warga.

“Sudah saya bilang. Tolong dengarkan dulu. Mengapa kalian tak mendengarkan saya?” teriak Pak Masro.
Tindakan Pak Masro itu membuat beberapa warga yang berdiri di barisan depan melangkah mundur ke belakang. Suara teriakan pun pelan-pelan mulai redup. Warga memandangi Pak Masro. Mereka belum pernah mendapati sikap Pak Masro seperti itu. Kedua matanya memerah. Tulang pada rahang dan urat pada lehernya menonjol. Suara Pak Masro pun tak seperti biasanya, terdengar begitu keras dan membahana.
“Apa masalahmu dengan Wak Diur?”

“Tak ada Pak. Saya cuma ikut-ikutan saja.”
“Kalau kamu?” tunjuk Pak Masro kepada warga lainnya.
“Kata orang Wak Diur suka memaki Pak. Begitu yang saya dengar,” jawabnya.
“Kata orang, kata orang. Apa kata kau sendiri?”

“Saya tidak pernah mendengar itu. Karena rumah saya jauh dari rumah Wak Diur, Pak!”
Dua perempuan maju ke depan. Mereka adalah ibu Titis dan ibu Ratih.

“Kami berdua merasa tidak nyaman dengan kehadiran Wak Diur!” ucap keduanya bersamaan.
“Wak Diur itu suka memaki. Suaranya kencang dan itu sangat mengganggu Pak. Anak saya yang baru tidur langsung terbangun mendengar teriakannya. Saya kan capek menidurkannya. Waktu saya banyak terbuang percuma, pekerjaan saya sering terbengkalai. Semuanya gara-gara dia!” beber Bu Titis.

“Saya juga Pak. Saya ini kan pengantin baru. Sedang ikut program kehamilan. Namun tidak pagi, juga siang bahkan malam, Wak Diur suka berteriak dan memaki. Program hamil gagal karena suami saya jadi tidak sreg lagi gara-gara mendengarkan teriakan dan makian Wak Diur.  Huuh!” sambung Bu Ratih.

Sesaat suasana menjadi hening. Tak puas lontarkan uneg-unegnya, kedua ibu muda ini melanjutkan keluh kesahnya. Tak ada bantahan, semuanya terdiam mendengarkan Bu Ratih dan Bu Titis. Wak Diur pun tak berkata apa-apa. Dia hanya menunduk dan sesekali memandang pada kedua tetangganya.

“Saya takut berbicara dengan Wak Diur. Suaranya kencang kali,” ucap Bu Ratih tiba-tiba.
“Iya. Sebetulnya sudah lama kami ingin menyampaikan langsung pada Wak Diur. Tapi kami tak berani. Nanti disenggak dan dimaki. Kami malu!” sahut Bu Titis pula.

Wak Diur melangkah ke tengah. Berteriak bak orang kesurupan. Mencabik-cabik rambutnya hingga rontok. Dia mengacungkan kayu. Berputar-putar, hingga terjatuh dan berguling-guling. Tubuhnya penuh dengan tanah. Semuanya kaget, warga terpana memandang aksi Wak Diur. Pak Sarmo, Bu Ratih dan Bu Titis pun terdiam. Seperti tersihir. Tak ada satupun yang berani mendekat, bahkan keluarganya sekalipun. Anak-anaknya malah menangis semakin kencang.

“Belasan tahun aku tinggal di kampung ini, tak ada satupun yang protes dengan makianku, dan sekarang kalian ingin membakar rumahku! Membakar aku hidup-hidup! Iya!” teriak Wak Diur lantang.
Bu Ratih dan Bu Titis memandang pada Pak Sarmo. Namun seperti tercekat, Pak Sarmo hanya terdiam. Dia Shock. Tak kuat menghadapi aksi Wak Diur, kedua ibu muda ini pergi berlari menuju rumahnya masing-masing. Mereka menutup pintu rapat-rapat. Mengunci sampai dua kali. Rupanya Wak Diur kian menggila. Dia mendatangi rumah Bu Titis dan Bu Ratih. Berteriak memanggil dan memaki. Memukul pintu dan jendela.
“Ayo bunuh aku!” teriaknya di depan rumah Bu Titis.

Bu Titis kecut sekaligus panik. Dia duduk menyudut di dalam kamar tidurnya. Suaminya belum pulang. Titis menangis. Dua buah tas besar sudah diisi penuh dengan baju dan celana dalam. Ibu muda ini bermaksud minggat ke rumah ibunya. Dia sudah tak tahan lagi. Dia tak mau lagi tinggal di rumah itu, di kampung itu. Begitupun Bu Ratih, dia sudah menyuruh suaminya untuk menjemputnya lewat pintu belakang. Bu Ratih tinggal menunggu aba-aba dari sang suami, kapan waktu yang tepat untuk menyelinap ke jalan, tanpa ketahuan Wak Diur.

Prang. Suara pecahan kaca terdengar. Bu Titis semakin meringkuk di dalam kamarnya. Pak Sarmo memanggil warga lain untuk memegangi Wak Diur. Perempuan yang sudah lama ditinggal sang suami ini termasuk kuat. Dia meronta dan berteriak. Sepuluh pemuda memeganginya, barulah Wak Diur tak bisa bergerak. Tiba-tiba tubuhnya mengejang. Wak Diur memegangi dadanya. Nafasnya putus-putus. Kedua matanya melotot. Tubuh kejangnya berubah kaku.
“Mamak……!” teriakan pilu Anto, anak Wak Diur, membahana mengajak warga Kampung Keluarga merasakan luka yang basah.

Medan Maret 2011

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/