26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Nursedima Parhusip: Masyarakat Jangan Mau di Provokasi LSM

SIMALUNGUN, SUMUTPOS.CO – Selisih paham mengenai pengakuan tanah adat di kawasan Hutan Tanaman Industri (HTI), antara masyarakat Desa Natumingka Kecamatan Borbor Kabupaten Toba, dengan PT. Toba Pulp Lestari, Tbk (TPL), menarik simpati salah satu tokoh aktivis masyarakat Simalungun sekaligus petani yang pernah terprovokasi, dengan salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) melalui program pendampingan.

“Tidak ada gunanya bentrok antara masyarakat dan perusahaan, sebaiknya bekerjasama dan bermitra, sehingga pemerintah dalam hal ini dinas kehutanan dapat merekomendasi masyarakat, untuk program pengembangan. Karena semua lahan adalah milik negara dan bukan milik opung kita,” tutur Nursedima Parhusip kepada sejumlah media melalui telepon selular, Kamis (3/6).

Nursedima Parhusip adalah masyarakat Dusun II Nagahulambu, Kabupaten Simalungun Provinsi Sumatera Utara. Diusianya yang sudah memasuki 67 tahun ini merupakan satu dari puluhan masyarakat, korban dari provokasi salah satu LSM selama belasan tahun.

Nursedima menuturkan, lebih dari 12 tahun dirinya berteman dengan salah satu LSM, dengan program pendampingan masyarakat menuntut tanah adat. Namun hasilnya tidak pernah ada kejelasan dalam setiap perjuangan. Masyarakat hanya diajak untuk melakukan aksi protes melawan pemerintah dan perusahaan, namun hasilnya tidak pernah ada kejelasan.

“Saya sudah berteman dengan KSPPM dan AMAN lebih dari cukup, biaya dan waktu sudah terkuras hanya mendengarkan dan mengikuti arahan mereka yang tidak jelas. Kami sebagai masyarakat dirugikan dengan sumbangan biaya dan waktu kami,” ungkap Nursediam Parhusip.

Dengan pengalaman dan perjuangan yang tidak ada artinya, Nursedima mengimbau masyarakat Natumingka untuk tidak terprovokasi dengan pihak ke tiga (LSM), dan sengaja dibentrokkan dengan perusahaan. Karena menurutnya kerugian terbesar malah terjadi pada masyarakat yang menjadi korban, baik secara fisik maupun mental.

Tuntutan pengakuan tanah adat sebaiknya dibicarakan dengan cara perdamaian antara masyarakat, pemerintah dan perusahaan. Karena menurutnya semua mekanisme tersebut sudah ada aturan hukum yang diberlakukan negara, dan tidak begitu saja dapat diakui oleh pemerintah.

Menurut Nursedima Parhusip, saat ini lebih baik masyarakat saling bekerjasama dengan pemerintah dan perusahaan dalam membangun perkampungan Natumingka.

“Harapan saya kepada masyarakat Natumingka, sebaiknya jangan mau masyarakat dibentrokkan KSPPM atau AMAN dengan perusahaan. Karena sebenarnya kehadiran perusahaan ditengah masyarakat sangat berguna, dalam membantu pembangunan, seperti jalan mendukung pertanian dan perekonomian,” harap Nursedima Parhusip.

Kini lahan pertanian dan perkebunan warga Dusun II Nagahulambu yang berada diwilayah konsesi PT. Toba Pulp Lestari, Tbk telah menjadi program tumpang sari. Hasil dari perkebunan seperti pohon aren, jengkol dan lainnya dapat dipanen masyarakat dan mendapatkan dukungan dari pihak perusahaan. (ram)

SIMALUNGUN, SUMUTPOS.CO – Selisih paham mengenai pengakuan tanah adat di kawasan Hutan Tanaman Industri (HTI), antara masyarakat Desa Natumingka Kecamatan Borbor Kabupaten Toba, dengan PT. Toba Pulp Lestari, Tbk (TPL), menarik simpati salah satu tokoh aktivis masyarakat Simalungun sekaligus petani yang pernah terprovokasi, dengan salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) melalui program pendampingan.

“Tidak ada gunanya bentrok antara masyarakat dan perusahaan, sebaiknya bekerjasama dan bermitra, sehingga pemerintah dalam hal ini dinas kehutanan dapat merekomendasi masyarakat, untuk program pengembangan. Karena semua lahan adalah milik negara dan bukan milik opung kita,” tutur Nursedima Parhusip kepada sejumlah media melalui telepon selular, Kamis (3/6).

Nursedima Parhusip adalah masyarakat Dusun II Nagahulambu, Kabupaten Simalungun Provinsi Sumatera Utara. Diusianya yang sudah memasuki 67 tahun ini merupakan satu dari puluhan masyarakat, korban dari provokasi salah satu LSM selama belasan tahun.

Nursedima menuturkan, lebih dari 12 tahun dirinya berteman dengan salah satu LSM, dengan program pendampingan masyarakat menuntut tanah adat. Namun hasilnya tidak pernah ada kejelasan dalam setiap perjuangan. Masyarakat hanya diajak untuk melakukan aksi protes melawan pemerintah dan perusahaan, namun hasilnya tidak pernah ada kejelasan.

“Saya sudah berteman dengan KSPPM dan AMAN lebih dari cukup, biaya dan waktu sudah terkuras hanya mendengarkan dan mengikuti arahan mereka yang tidak jelas. Kami sebagai masyarakat dirugikan dengan sumbangan biaya dan waktu kami,” ungkap Nursediam Parhusip.

Dengan pengalaman dan perjuangan yang tidak ada artinya, Nursedima mengimbau masyarakat Natumingka untuk tidak terprovokasi dengan pihak ke tiga (LSM), dan sengaja dibentrokkan dengan perusahaan. Karena menurutnya kerugian terbesar malah terjadi pada masyarakat yang menjadi korban, baik secara fisik maupun mental.

Tuntutan pengakuan tanah adat sebaiknya dibicarakan dengan cara perdamaian antara masyarakat, pemerintah dan perusahaan. Karena menurutnya semua mekanisme tersebut sudah ada aturan hukum yang diberlakukan negara, dan tidak begitu saja dapat diakui oleh pemerintah.

Menurut Nursedima Parhusip, saat ini lebih baik masyarakat saling bekerjasama dengan pemerintah dan perusahaan dalam membangun perkampungan Natumingka.

“Harapan saya kepada masyarakat Natumingka, sebaiknya jangan mau masyarakat dibentrokkan KSPPM atau AMAN dengan perusahaan. Karena sebenarnya kehadiran perusahaan ditengah masyarakat sangat berguna, dalam membantu pembangunan, seperti jalan mendukung pertanian dan perekonomian,” harap Nursedima Parhusip.

Kini lahan pertanian dan perkebunan warga Dusun II Nagahulambu yang berada diwilayah konsesi PT. Toba Pulp Lestari, Tbk telah menjadi program tumpang sari. Hasil dari perkebunan seperti pohon aren, jengkol dan lainnya dapat dipanen masyarakat dan mendapatkan dukungan dari pihak perusahaan. (ram)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/