MEDAN, SUMUTPOS.CO – Bonus demografi Indonesia menjadi kekuatan bagi ekonomi bangsa. Apa lagi, Indonesia menjadi negara kelima terbesar di dunia dalam jumlah penduduk. Patut disyukuri karena menjadikan Indonesia memiliki peran penting di dunia bisnis internasional maupun politik dunia.
Dari total 272 penduduk Indonesia, sebanyak 47,75% atau 128,03 juta jiwa adalah penduduk dengan usia milenial atau Gen X, yang lahir antara tahun 1965 – 1996. Selebihnya, dikatagorikan ke dalam kelompok pre-Baby Boomers, Baby Boomers, Gen Z dan Post Gen Z.
Kepala Kantor Perwakilan Bursa Efek Indonesia (BEI) Sumatera Utara, M Pintor Nasution menjelaskan bahwa usia Gen X ini merupakan rentang usia produktif atau usia orang-orang yang masih bekerja atau menjadi pebisnis dan bisa menghasilkan income.
“Karena mereka kelompok produktif, mereka mampu menyisihkan uang untuk membeli kebutuhan hidup (memiliki daya beli) dan bisa menyisihkan uang untuk berinvestasi,” sebut Pintor dalam keterangan tertulis, Jumat (4/3).
Pintor mengatakan generasi Gen X dan milenial ini memiliki potensi yang besar pula untuk berinvetasi di pasar modal Indonesia. Saat ini ada 2,7 juta investor muda di pasar modal yang usianya di bawah 40 tahun atau berperan dominan sebanyak 80,6% dari seluruh jumlah investor yang tercatat di data PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI).
“Per Desember 2021 investor dengan usia 18-25 tahun bertambah 790.012 orang atau 45,5% dari total investor baru tahun 2021,” ucap Pintor.
Jika dilihat dalam rentang waktu tahun 1996 – 2021, pertumbuhan spektakuler terjadi di kelompok investor dalam rentang usia pada Generasi Milenial dan Z. Jika tahun 1996 jumlah investor di kelompok ini baru sebanyak 68.911 orang, di tahun 2021 naik menjadi 280.569 investor, atau naik 1.798%.
Namun, kelompok ini juga rentan terhadap jebakan investasi bodong yang menjanjikan keuntungan yang sangat besar dan cepat, namun tidak memiliki landasan hukum yang jelas. Untuk itu perlu mengingatkan generasi milenial dan Gen Z untuk memilih investasi di pasar modal yang diawasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan pihak-pihak yang memegang peranan dalam mewujudkan transaksi yang teratur, wajar dan efisien.
“Selain itu, seorang investor dituntut untuk dapat memilih instrumen investasi yang disesuaikan dengan profil risiko dan tujuan investasi masing-masing. Jangan terpengaruh pemberitaan atau informasi yang belum tentu sesuai dengan profil risiko kita. Karena investasi harus disesuaikan dengan tujuan finansial masig masing investor, bukan karena ikut-ikutan,” kata Pintor.
Hindari lima hal yang kerap dilakukan para investor pemula yang tergiur iming-iming dan sekadar ikut-ikutan. Yaitu, pertama, stop untuk berpikir tidak perlu meng-upgrade diri, karena sebelum berinvestasi harus benar-benar memahami strategi berinvestasi dan memahami kinerja perusahaan penerbit saham atau surat utang yang instrumennya hendak kita beli, serta mempelajari teknik Analisa yang dapat digunakan dalam melakukan investasi di pasar modal.
Kedua, stop panik ataupun kalap terhadap fluktuasi harga, karena fluktuasi merupakan sifat dari investasi di pasar modal. Panik hanya akan membuat kerugian jika kita buru-buru menjual saat harga saham turun, tanpa menganalisa kinerja perusahaan. Jika tujuan investasi untuk jangka panjang dan kinerja perusahaan baik, maka fluktuasi jangka pendek tidak perlu mempengaruhi emosi pemodal.
Ketiga, stop berinvestasi menggunakan dana utang. Porsi dana investasi harus menggunakan dana dingin yang dipersiapkan khusus untuk alokasi investasi. Artinya dana ini bukan untuk kebutuhan bulanan atau keperluan jangka pendek. Sehingga jika terjadi risiko penurunan harga yang menggerus modal, tidak akan mempengaruhi kebutuhan jangka pendek.
Keempat, stop termakan rekomendasi tanpa melakukan analisa lanjut. Sebaiknya cari banyak sumber analisa dari riset perusahaan efek tentang perusahaan tercatat yang hendak dibeli atau melakukan kajian terhadap kinerja keuangannya sebelum memutuskan untuk membeli saham atau produknya.
Ia mengatakan jangan tergiur rekomendasi pihak tertentu, yang mungkin tujuannya sekedar menggiring pelaku pasar untuk kepentingan tertentu. Kelima, stop FOMO atau Fear of Missing Out karena tidak kita pungkiri banyak investor saat ini yang hanya sekedar mengikuti tren yang sedang ramai ditengah masa pandemi dan perkembangan teknologi yang ditawarkan.
“Nah, salah satu cara yang bijak dalam mengalokasikan pendapatan seorang investor adalah dengan mengalokasikan 20% saja dari penghasilan bulanan untuk menabung dan berinvestasi. Selebihnya, 50% untuk kebutuhan rutin seperti cicilan bulanan, kebutuhan rumah, proteksi, uang sekolah, dan lain-lain,” tutur Pintor.
Sebanyak 20% perlu dialokasikan untuk kebutuhan lifestyle, seperti budget untuk ngopi, traveling, salon, pusat kebugaran, dan lain-lain. Dan 10% sisanya untuk dana sosial. Adapun persentase pembagian tersebut dapat disesuaikan dengan profil masing masing investor.
Investasi perlu dialokasikan di awal, untuk meningkatkan aset kita di masa depan, memiliki cadangan finansial, mengurangi ketergantungan dengan utang, dan tentunya mengalahkan inflasi.
Rata – rata Inflasi nasional periode 2011 – 2021 sebesar 4,32%, artinya kita harus mencari instrumen yang dapat memberikan imbal hasil di atas inflasi dalam jangka panjang.
“Dan jangan melahirkan sandwich generation baru, yaitu generasi yang memiliki tekanan dalam hal kewajiban finansial yang besar serta himpitan kebutuhan yang ingin dipenuhi. Siapkan dana masa depan melalui investasi dan jadi investor cerdas,” tandasnya.(gus/ram)