Darwin (38 tahun), seorang calon investor properti, setengah tak percaya dengan harga rumah di sebuah kompleks di kawasan Sunggal. Tahun 2009 saat membeli satu unit rumah di salah satu cluster untuk tempat tinggalnya, harganya masih di bawah Rp250 juta dan harga tanah per meter persegi baru sekitar Rp250-300 ribu. Akan tetapi, November tahun lalu, ketika mencoba investasi rumah singgah alias kos-kosan harian untuk pebisnis atau pelancong asal luar Medan di cluster yang sama, ternyata harganya sudah berlipat-lipat. Harga per unit di cluster itu, yang termurah mencapai Rp550 juta. Padahal, luas bangunannya kurang-lebih sama dengan unit yang dia beli sekitar dua tahun silam. Anehnya, kenaikan harga tak menyusutkan minat orang. Sejumlah cluster di kawasan yang dulunya jarang disentuh investor properti itu banyak yang sold out.
mengundang decak kagum banyak pihak, tak hanya investor properti seperti Darwin. Tapi juga pendatang asal Jakarta yang mandah ke kota ketiga terbesar di Indonesia ini. Mereka yang tinggal di seputar Medan pasti merasakan pesatnya geliat kawasan Sunggal, Tanjung Morawa, atau Cemara yang kini sudah menjelma menjadi hamparan kota baru itu.
Konsep kota mandiri di masa depan itu terletak di pinggir batas kota Medan, misalnya Sunggal dengan Binjai, Tanjung Morawa yang mendekati ibukota Kabupaten Deli Serdang, dan Cemara yang mulai ‘’mengkotakan’’ wilayah Medan Utara. Sebentar lagi kawasan Percut Sei Tuan juga menyusul dikembangkan sebagai kota baru, menambah perbendaharaan kota mandiri yang perlahan menggeser Medan sebagai kota moderen tanpa lawan. Di hamparan kota baru ini, boleh dibilang semua serba ada: pom bensin besar, sentra ATM, ruko-ruko moderen. Mulai dari sekolah (TK hingga kampus perguruan tinggi) juga mulai dibangun, pusat perkakas terlengkap, perkantoran, dan tentu saja tempat favorit anak muda: kafe gaul.
Kawasan Sunggal atau Cemara sesungguhnya hanyalah satu bukti sentuhan midas para investor di bisnis properti.
Mereka piawai menyulap tanah di berbagai proyek propertinya menjadi emas bernilai mahal, melalui proyek-proyek properti dari berbagai lapisan, dari ruko mahal, menengah, hingga cluster bergaya mediteranian ala Eropa. Masalah harga tentunya soal strategi marketing belaka. Ada yang terjangkau kocek kalangan atas, tapi tak lupa pula dikembangkan cluster bagi mereka yang berkantong ‘’pas-pasan’’. Itu pula kenapa berbagai proyek properti yang dikembangkan di dua kawasan itu lebih dari sekadar meraih sukses atau laris, tetapi juga menjadi pionir.
Hal itu tak hanya di tanah Sunggal dan Cemara, tetapi juga di sejumlah proyek di kawasan pinggiran lainnya. Sebut contoh di proyek ‘’pengkotaan’’ Tanjung Morawa. Sedikitnya lahan ratusan hektar, yang bermula dari areal sepi tanpa penghuni, sukses disulap menjadi kota satelit yang lengkap, terdiri dari kawasan permukiman, komersial, dan industri terpadu. Sejak 2002, area itu dikembangkan menjadi kota mandiri, memiliki sederet cluster hunian yang diburu pembeli. Harga tanahnya terus membubung. Jika delapan tahun lalu harga tanah di sana masih berkisar Rp100-200 ribu per meter persegi, belakangan sudah mencapai Rp1-1,5 juta per meter persegi.
Fenomena pertumbuhan ke arah lingkar luar kota ini diakui betul oleh Ketua Umum DPD Real Estate Indonesia (REI) Sumut Tomi Wistan. Tomi, yang berada di Singapura saat menjawab wawancara Sumut Pos lewat email, mengatakan, selain membangun ruko, para pengembang di Medan tertarik untuk membangun sentra bisnis dan kota satelit. Para pemain dari luar juga mulai berdatangan menanamkan investasi properti di Medan. Sebut misalnya Kelompok Ciputra yang mengembangkan permukiman elit Citra Garden di kawasan Padang Bulan. Dulunya kawasan ini terkesan sungkan dijamah investor. Selain lokasinya yang terlalu dekat dengan bandara, juga telanjur dicap daerah padat hunian dan slums. Namun sentuhan Kelompok Ciputra yang dengan optimistis membangun Citra Garden membuat mata investor properti terbelalak bahwa perumahan ini ternyata laku dan sangat diminati masyarakat kelas atas.
Tomi melihat banyak pengembang yang tidak lagi berorientasi mencari lahan di sentra bisnis yang sudah ada, namun justru berlomba mengembangkan kawasan pinggiran untuk disulap menjadi ‘’perkotaan’’ baru. Seperti misalnya kelompok pengembang senior yang merancang pengembangan kawasan bisnis dan hunian moderen di Jalan Pancing.
“Pengembangan kota satelit dan kawasan bisnis baru ini sangat diminati masyarakat,” tukas Tomi.
Jika mengacu data terakhir yang dirilis REI Sumut ada sekitar 5.000-6.000 unit properti baru yang mampu dibangun para developer setiap tahun. Angka ini sebetulnya masih jauh lebih rendah dibandingkan kebutuhan riil masyarakat terhadap permukiman. Statistik permintaan pada tahun 2010, misalnya, lumayan fantastis. REI Sumut mencatat 18.000- 22.000 unit rumah berbagai kelas harus dipasok oleh pengembang untuk memenuhi kebutuhan calon pemilik dan investor perumahan.
Ada berbagai faktor kenapa pertumbuhan permintaan itu cukup tinggi. Kecuali banyaknya pendatang di Medan, menurut Tomi, pertumbuhan penduduk Medan secara alami juga ikut meningkatkan permintaan perumahan. Dari berbagai sumber, misalnya, statistik permintaan properti itu datang dari Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang dengan berbagai alasan memilih untuk berinvestasi properti di Medan.
Mereka membeli rumah dari berbagai tipe yang dibangun para pengembang, khususnya di sejumlah titik lokasi yang berdekatan aksesnya dengan gerbang masuk Medan-Aceh.
Jamak diketahui Sunggal dan Medan Baru menjadi incaran para investor properti asal NAD ini.
Ada gula ada semut. Bisnis para pengusaha asal Tanah Rencong itu juga marak di lokasi-lokasi tersebut. Pasar ini pula yang cepat dimanfaatkan para pengembang untuk membeli lahan-lahan tidur di kawasan Sunggal agar dibangun menjadi lokasi hunian terbaru. Proses ‘’pengkotaan’’ daerah pinggiran ini pun semakin menjadi-jadi seiiring tingginya permintaan properti di wilayah yang dulu-dulunya sempat diberi julukan negatif: ‘’tempat jin buang anak’’ tersebut.
Contoh lain, proyek pengembangan sentra bisnis baru yang diberi label Pancing Bisnis Center (PBC) di Jalan Pancing, Medan. Dulunya proyek ini dicap proyek mubazir oleh sebagian investor properti. Proyek itu dimiliki konsorsium sejumlah pengembang besar dan memakan puluhan hektar lahan tidur. Konsep kota satelit yang dikembangkan di dekat Universitas Negeri Medan itu kemudian dipasarkan secara perlahan. Kompleks bisnis ini mengembangkan ratusan ruko siap huni dengan jumlah blok yang terus mendekati abjad G. Saat ini kawasan PBC ini menjadi salah satu primadona di wilayah timur Medan. Tentu saja, selain PBC, masih banyak proyek properti lainnya yang juga tergolong sukses. Lantas, apa yang menjadi rahasia sukses para investor propeerti tersebut? Bila diamati, sukses ini tak lepas dari mindset pengembang properti yang visioner menjalankan bisnis mereka. Jenis pengembang ini berbeda dengan pengembang lain yang lebih suka bersikap pasif- menunggu lokasinya ramai, aksesnya bagus, dan lain sebagainya. ‘’Kalau mau sukses ya, sejak awal investor properti jangan takut menjadi pionir.
Mereka harus menjadi pihak yang mengawali. Memang ada konsekuensinya. Misalnya investasi lebih mahal, tapi buahnya sangat sepadan. Bila sukses menjadi pelopor, umumnya akan menjadi pemimpin di bisnisnya,’’ ungkap Marihot Nainggolan, investor properti yang juga mantan pemegang sahan di PBC.
Contoh paling konkret, menurut Marihot, seperti dilakukan konsorsium pengembang di PBC. Begitu mendapat lahan dan konsep yang pas, konsorsium pengembang ini langsung tancap gas membangun kawasan tersebut secara total.
Kawasan ini dulunya sangat terpencil tapi sekarang harga properti di lokasi ini melonjak tak terkendali. Hal ini seperti pengakuan Jane Erawati, seorang Notaris/PPAT di Deli Serdang. Pada tahun 2007 saat dia mencari kantor yang strategis untuk profesinya, PBC adalah salah satu opsi kala itu. ‘’Harga satu ruko tiga lantai saat itu masih Rp600 juta-an.
Saya berpikir lebih baik mengontrak ruko dulu, tapi sekarang menyesal karena nilai ruko yang saya tawar tadi sekarang bernilai Rp800 juta,’’ katanya kepada Sumut Pos.
*** MEMILIKI nyali menjadi pioner alias pelopor. Tampaknya hal ini menjadi faktor utama yang mengantarkan pengembang manapun besar dan sukses. Mindset pelopor itu pada gilirannya membuat cara pengelolaan dan prinsip-prinsip bisnis yang dijalankan kelompok properti yang berani mengembangkan kawasan pinggiran berbeda dengan pengembang pada umumnya. Sebagai contoh, pengusaha properti umumnya punya prinsip bahwa kunci sukses usaha properti adalah lokasi, lokasi, dan lokasi. Ini sudah menjadi kaidah umum yang biasa dipegang kebanyakan pengusaha properti. Hanya saja para pengembang perumahan di kawasan pinggiran yang kini sudah mengkonsep ‘’perkotaan’’ baru itu tidak lagi menomersatukan lokasi.
Semua lokasi bisa menjadi emas jika dikembangkan secara total dengan konsep perumahan dus trik pemasaran yang prima. “Banyak pengembang cuma berpikir lokasi, lokasi, dan lokasi, padahal yang sebetulnya perlu dipikirkan adalah akses, akses, dan akses. Lokasi bagus dan jaraknya yang dekat dengan pusat kota nggak banyak membantu bila aksesnya sulit bin rumit,” Marihot kembali menjelaskan.
Karena cara pandang itu, tak mengherankan, dalam kacamatanya, konsorsium pengembang PBC, berusaha membangun aksesibilitas pada setiap proyeknya di tahap awal pengembangan kawasan. Khususnya dengan membuka sumbat-sumbat transportasi. Cara yang biasa dilakukan antara lain dengan membuka akses tol ke proyek-proyeknya.
‘’Dan ini bukan isapan jempol. Proyek PBC dan sekitarnya, misalnya, sudah lama dipikirkan aksesnya ke tol Belmera. Ada beberapa titik yang tinggal direalisasikan saja.
Misalnya akses di lurusan jalan Selamet Ketaren ke arah Unimed,’’ ujarnya.
Pertumbuhan plus kebutuhan akan ‘’perkotaan’’ baru agaknya mengikuti teori inverse alias berbanding lurus. Ini akibat situasi kota Medan yang semakin mendekati titik jenuh bila ditinjau dari konsep perkotaan moderen. Selain lahan yang kian sempit, tata ruang kota juga semakin jumpalitan alias tak beraturan. Di Medan Baru, misalnya, banyak rumah tinggal yang disulap menjadi ruko, bahkan bukan hal asing lagi melihat ada hotel yang berhimpitan dengan rumah penduduk. Tak jelas lagi mana areal permukiman dan kawasan komersial. Dominasi kota Medan sebagai areal bisnis dan perkantoran adalah satu dari sekian penyebab kenapa orang-orang bertahan di lingkar kota. Akibatnya mudah ditebak. Harga sewa rumah di Medan naik berlipatlipat.
Di inti kota seperti Medan Baru, misalnya, sewa rumah bergerak dari Rp20 juta hingga Rp40 juta per tahun. Jangan ditanya lagi harga jual rumah di cluster-cluster baru di tempat tersebut. Maka Anda tak perlu terkejut bila berkesempatan mengitari wilayah Medan Baru. Di ruas jalan Darussalam- yang menurut Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Medan terdata sebagai jalan arteri dan kawasan hunian- sudah dijumpai sejumlah bangunan hotel bertaraf bintang tiga. Bergerak sedikit ke dalam, di ruas jalan Sei Kapuas atau Sei Berantas, misalnya, sejumlah lahan kosong sekonyong-konyong disulap menjadi cluster-cluster dengan tipe rumah moderen minimalis.
Tentu saja pasar yang dibidik adalah keluarga kecil dari kelas pekerja yang punya kantor di inti kota. Soal harga tentunya bisa Anda lacak sendiri. Di pusat-pusat perbelanjaan, agen-agen perumahan minimalis ini menawarkan harga rumah hingga Rp400 juta untuk tipe 38, atau hampir dua setengah kali lipat dibandingkan rumah bertipe serupa di cluster kawasan Marelan yang menjorok di utara Medan. Keinginan merambah pasar properti baru, sekaligus menumbangkan dominasi Medan sebagai kota utama ini pula yang ingin dilakukan para pengembang kreatif. Selain bermodal konsep, mereka adalah konsorsium pengembang yang berani menanam investasi jangka panjang dengan harapan menjadi ‘’pemain tunggal’’ di wilayah ‘’perkotaan’’ baru tersebut. Ini artinya kecenderungan mengembangkan kawasan ‘’perkotaan’’ baru tampak semakin menggelora di hati para pemodal perumahan. Soal ini, pengamat properti Panangian Simanungkalit- yang juga menakhodai kantor konsultan properti, Panangian Simanungkalit & Associates (PSA)- mengutarakan, prospek investasi properti di Sumut sangat bagus. Selain ditopang pertumbuhan ekonomi yang selalu di atas rata-rata nasional atau lebih dari 5,6 persen, lapisan kelas menengah di kota ini relatif besar dan punya daya beli yang relatif stabil.
“Saya cermati tak ada ruginya mengembangkan perumahan di Sumut. Prospeknya sangat menggiurkan karena masyarakat di Medan ternyata gandrung menginvestasikan uangnya untuk properti,” ujarnya.
Panangian melihat ada tren baru di Sumut bahwa orangorang kaya di daerah ini selain membeli rumah untuk usaha dan tempat tinggal, juga membelikan rumah untuk anak dan cucunya. Golongan kaya di daerah ini sangat sayang pada cucunya dengan membelikan properti sebagai hadiah dan tempat usaha.
Golongan ini, jelasnya, ternyata tidak suka utang. “Mereka membeli rumah atau tempat usaha dengan tunai,” tuturnya.
Panangian memaparkan Medan sebagai ibu kota provinsi dan kota nomor tiga terbesar di Indonesia memiliki lapisan masyarakat menengah yang relatif besar. Golongan menengah tersebut terdiri dari golongan muda produktif yang pola konsumsinya tidak dipengaruhi oleh pinjaman perbankan, namun kekuatan modal sendiri. Mereka memiliki daya beli sangat kuat, serta gemar melakukan investasi rumah, ruko, dan rumah tempat usaha yang sekaligus dijadikan tempat tinggal.
Gara-gara permintaan yang tinggi itu tak keliru bila kita cermati lima tahun terakhir ruko dan rumah kantor (rukan) kian bergeser ke pinggiran kota dan tumbuh bak cendawan di musim hujan. Pertumbuhan ruko dan rukan itu jelas menunjukkan investasi properti sangat diminati konsumen.
Sejumlah pengembang mengendus pasar itu sebagai peluang bisnis. Menjamurnya properti juga buah dukungan perbankan yang menyokong pembiayaan, terutama modal usaha developer.
“Kalau dilihat dari pesatnya jumlah perumahan di Medan, adalah bukti kalau pertumbuhan bisnis properti tergolong besar. Ini tentunya tak terlepas dari sokongan perbankan hingga pengusaha bisa menjalankan roda usahanya dengan baik. Kondisi ini berdampak pada pertumbuhan ekonomi Sumut secara keseluruhan,” ujar pengamat ekonomi dari Universitas HKBP Nommensen, DR Parulian Simanjuntak, kepada Sumut Pos.
Merujuk data terakhir terbitan Bank Indonesia (BI) Kantor Regional Sumut dan Aceh, Parulian menunjukkan, penyaluran kredit properti di Sumut mencapai Rp842,37 miliar.
Penyaluran ini lebih besar ke real estate perumahan menengah, besar atau mewah (tipe diatas 70) senilai Rp231,13 miliar dan untuk real estate perumahan flat/apartemen senilai Rp224,30 miliar. Begitu pula pengucuran kredit bagi real estate gedung perbelanjaan dan perkantoran yang masingmasing mencapai Rp76,78 miliar dan Rp70,51 miliar per tahun. Luar biasa! Angka fantastis yang disodorkan Parulian tentu benar adanya. Coba Anda jalan-jalan di kawasan ‘’perkotaan’’ baru. Kini ruko dan rukan berbaris memenuhi ringroad di Jalan Gagak Hitam. Semuanya itu menunjukkan inti kota bukan lagi pasar prospektif untuk dikembangkan. Maka, properti menjulang, apakah itu pusat perbelanjaan, apartemen, atau hotel berbintang, tinggal menunggu waktu saja untuk dipindahkan ke lingkar luar kota Medan. Paling ditunggu para pengembang tentulah tuntasnya bandara internasional Kuala Namu di Pantai Labu, Deli Serdang.
Maka, Harapan ‘’pengkotaan’’ baru ini ibarat menunggu sentuhan investasi di tanah sepi. (valdesz)
Kota Baru Butuh Lahan Sedikitnya 3.000 Hektar
Pertumbuhan kota baru menggantikan Medan sebagai kota utama di Sumut tentu bukan sekadar harapan belaka. Properti yang terus menjamur adalah prospek ke arah sana. Hanya saja banyak pihak menyayangkan kenapa pertumbuhan itu baru berjalan dua tahun belakangan ini, tidak sedari dulu sehingga proses pengkotaan itu semestinya sudah bisa dinikmati sekarang ini. Bagaimana sebetulnya pola ‘’pengkotaan’’ kawasan pinggiran ini? Untuk itu pula Sumut Pos mewawancarai Ketua DPD REI Sumut Tomi Wistan. Tomi yang kebetulan sedang di Singapura bertemu sejumlah relasi bisnisnya di sana menjawab sejumlah pertanyaan lewat email.
Ada sembilan provinsi di Indonesia yang akan dikembangkan menjadi kota baru, salah satunya Sumatera Utara. Ketua Umum DPP REI, Setyo Maharso mengatakan, Sumut merupakan satu dari sembilan provinsi yang disepakati REI dan Kementerian Perumahan Rakyat untuk menjadi pengembangan kota baru tersebut. Dalam kacamata Bapak bagaimana kesiapan Sumut menyambut program ini?
Sebenarnya yang telah direncanakan oleh Kemenpera di seluruh Indonesia ada pengembangan 24 Kota Baru. Dan yang sudah di targetkan dan diusulkan tahap awal adalah 10 Kota Baru, dimana salah satunya adalah Sumut. Kami melihat bahwa dengan kondisi Sumut dimana jumlah penduduknya sudah diatas 12 juta jiwa dan sebagian besar bertempat tinggal di wilayah Medan dan Deli Serdang yang mencapai hampir 5 juta jiwa. Dan dengan didukung oleh pertumbuhan ekonomi yang baik diatas rata-rata nasional serta juga wilayah Sumut menjadi koridor Sumatera dalam program MP3EI. Tentu nantinya diharapkan pertumbuhan ekonomi di Sumut bisa makin tinggi lagi, yang akhirnya membuat daya dukung kota di Sumut terutama Medan akan makin membesar dan diperlukan suatu kawasan yang bisa menjadi kawasan baru yaitu berupa kota baru sebagai penampung segala aspek kehidupan yang berbasis ekonomi. Tetapi semuanya itu agak sulit terwujud kalau ketersediaan lahan/lokasi belum bisa ditentukan dan ditetapkan. Karena untuk kota baru minimal 3000 hektar sampar 10.000 hektar.
Di sejumlah kawasan bisnis properti mulai bertumbuh pesat, apakah peluang pengembangan kota satelit Medan-Binjai-Deli Serdang sampai pada pengembangan properti saja?
Apakah tidak ada peluang untuk pengembangan untuk aspek lain? Mebidang sebagai daerah yang terpadat penduduknya dan aktivitas ekonomi dan sosial juga terbesar di daerah ini, tentu peluang pengembangan kawasan ini menjadi lebih besar. Tentu tidak hanya di sektor perumahan saja, tetapi juga di daerah ini dapat dikembangkan sebagai daerah kawasan industri, pergudangan, agrowisata, pendidikan, olah raga, kawasan pemerintahan, bahkan bisa kita kembangkan sebagai cybercity maupun sebagai waterfrontcity yang include di dalamnya sebagai bagian yang menyatu dan saling melengkapi satu sama lain. Sehingga Kota Baru itu benar benar bisa terwujud dan melayani kehidupan kota itu sendiri dan berbasis ekonomi.
Apakah menjamurnya properti di Medan saat ini masih dalam tahap terkendali? Jangan-jangan nanti kita mengalami semacam apa yang diistilahkan mortgage di AS?
REI sendiri punya konsep agar pertumbuhan perumahan dan pengembalian kredit tetap seimbang? Sampai saat ini melihat situasi lapangan perkembangan properti masih terkendali, dan daya serap pasar masih tinggi dengan dibuktikannya penjualan properti menengah bawah maupun menengah atas masih terserap dengan baik, walaupun ada beberapa proyek yang sedikit terkesan tidak jalan tetapi itu tidak bisa menjadi barometer karena satu proyek yang tidak berhasil bisa karena management usaha, cashflow, trik marketing, lokasi atau lahan yang bermasalah.
Kami melihat, dengan beberapa indikator pertumbuhan ekonomi khususnya di Sumut seperti pertumbuhan ekonomi diatas rata-rata nasional dengan didukung oleh sumber pendapatan masyarakat yang makin baik khususnya di sektor perkebunan sawit dan karet, pertanian, pertambangan.
Dan secara pelayanan ekonomi,Sumut tidak hanya melayani masyarakat Sumut tetapi juga dari masyarakat Aceh, Riau bahkan Sumbar.
Pendapatan rata rata perkapita masyarakat Indonesia sudah di atas 3.000 dollar AS sehingga kebutuhan papan juga makin meningkat.Selain itu dengan adanya jumlah penduduk yang muda beberapa kali lipat dibanding dengan orang tua sekarang, ini dianggap menjadi peluang dalam mengembangkan sektor properti di Indonesia termasuk Sumut sendiri. jika ditambah dengan inflasi yang terkendali dibawah 6% dan BI rate yang cenderung makin turun yang saat ini sudah 6 persen, dukungan perbankan juga makin membaik, kebutuhan perumahan secara nasional saja sangat banyak, dimana backlog secara nasional 13,6 juta unit. Kalau ada kekuatiran akan terjadinya mortgage seperti yang terjadi di Amerika, tentu kita optimis hal tersebut masih jauh sekali.
Kondisi perbankan kita saat ini punya pengalaman pada 1997 dimana properti juga menjadi salah satu sektor yang membuat kredit macet.
Ada rencana PTPN2 termasuk Pemerintah Provinsi Sumut membuka kota baru, termasuk masalah pembebasan lahan di Percut Sei Tuan sebagai lokasi kota baru. Seperti apa REI melihatnya? Sejauh ini bagaimana perkembangannya di antara stakeholders (PTPN2, Pemprov, dan REI)?
Kami tentu menyambut sangat baik adanya rencana PTPN2 maupun Pempropsu untuk membuka kota baru. Dan tentu semuanya haruslah sesuai dengan peraturan dan hukum yang berlaku di negara Indonesia, maka REI siap untuk mendukungnya.
Apalagi REI sendiri punya jaringan dari pengembang lokal, nasional bahkan international. PTPN2 sendiri telah membuka dan mengundang calon investor dalam Beauty Contest yang telah dilakukan pada Desember 2011 dan Januari 2012. Apabila ini bisa terwujud dan sesuai dengan peraturan dan hukum yang berlaku dan tentu juga harus sesuai dengan RTRW Pempropsu, REI sendiri siap untuk dilibatkan dan berharap agar terjadi proporsional pengembang lokal dengan luar. REI memandang untuk menentukan lokasi kota baru tentu harus terlibat pihak ketiga sebagai pemilik lahan selain Pemda. Karena lahan itu sudah hrs ada dan memang layak serta dapat dijadikan sebagai lokasi pengembangan kota baru. Memang saat ini salah satu lokasi yang layak adalah tanah PTPN karena proses pembebasannya sendiri tidak terlalu banyak melibatkan banyak pihak.
Tentu akan menjadi lebih mudah apalagi kalau sudah ada koordinasi dan persetujuan Pempropsu sesuai dengan RTRW.
Medan Sunggal, Tanjung Morawa, dan Cemara saat ini adalah kawasan pinggiran yang terus’’dikotakan’’, seperti apa Pak Tomi melihatnya? Apakah REI sudah punya konsep agar muncul kota-kota baru model ‘’kota mandiri’’ seperti Lippo Karawaci di Jakarta yang dikembangkan oleh para anggota REI di Sumut?
Memang ketiga lokasi tersebut ditambah daerah Johor dan Hervetia saat ini perkembangan perumahan berkembang sangat pesat di wilayah tersebut. Tentu kita berharap juga akan bisa berkembang juga di daerah lain, sehingga perkembangan itu bisa lebih merata dan tidak terfokus ke beberapa wilayah saja yang akhirnya akan membuat lalu lintas juga makin padat. Dengan banyaknya wilayah yang bisa berkembang tentu berdampak baik terhadap kondisi daerah tersebut terutama terhadap perekonomian masyarakat sekitarnya. Tetapi tentu juga harus dibarengi dengan dukungan infrastruktur yang memadai dari pemerintah daerah. Dengan kondisi Sumut yang memiliki jumlah penduduk 12 juta jiwa dan 5 juta yang menghuni di Medan dan Deli Serdang.
Tentu kota baru-kota baru yang bisa dibangun tidak bisa sebesar apa yang dibangun oleh pengembang di Jakarta maupun Jawa. Mereka didukung oleh infrastruktur yang lebih baik.
Terakhir, seperti apa Bapak melihat pertumbuhan properti di Mebidang?
Kenapa kita jauh tertinggal disbanding Surabaya dan Makassar? Mebidang sendiri tentu akan berkembang seiring dengan pertumbuhan perekonomian Sumut sendiri dan keberadaan beberapa mega proyek yang ada di Mebidang sendiri seperti Bandara Kuala Namu dan Jalan Tol Medan-Kuala Namu, dan juga dukungan proyek di luar Mebidang yang tergabung dalam perencanaan MP3EI akan menumbuh kembangkan Mebidang sendiri mulai saat ini sampai nanti.Pertumbuhan Surabaya memang jauh lebih besar karena jumlah penduduknya juga lebih besar dan dukungan infrastruktur juga lebih baik. Tetapi untuk Makassar, sy tidak berani mengatakan bahwa pertumbuhan Medan kalah dibanding dengan Makasar.
Secara kasat mata memang karena Makasar ada beberapa proyek seperti bandara baru dan proyek TransTv yang berpusat di Makasar sehingga terlihat perkembangannya jadi luar biasa. Saya yakin Medan nantinya akan jauh lebih maju dan berkembang lebih pesat lagi kalau 43 proyek MP3EI inoi bisa berjalan sesuai rencana. (valdesz)