26 C
Medan
Saturday, November 23, 2024
spot_img

Siang-siang di KTV Stroom, Selecta Building Medan (3/Habis)

Yang Bukan Polisi Saja Bisa Tahu

Siang di Karaoke Televisi (KTV) Stroom ternyata memang menyenangkan. Ruang 6×8 meter yang kami kuasai bak dunia tersendiri. Tidak ada yang mengganggu dan tidak ada yang mau tahu.

Penulis bersandar di sofa, sendirian. Cindy dan sang kolega di sofa tengah. Sedangkan Donny dan si ‘David Beckham’ berbisik di sofa yang ada di pojok lainnya. Karaoke tidak juga dinyalakan.

“Kalau kurang bilang…” cetus sang kolega.
Penulis hanya tersenyum. Donny dan si ‘David Beckham’ pun tersenyum. “Tapi, Bang, tempat ini kenapa tak tercium dengan polisi?” tanya penulis pada sang kolega.

Sang kolega terbahak. Cindy langsung duduk bersandar. Sofa empuk berwana gelap itu terasa sangat pas dengan perempuan berkulit putih yang memakai blazer warna gelap. Apalagi ketika dia mengubah letak kakinya, paha putih yang dimilikinya begitu mencolok di antara properti yang berwana hitam itu.
“Begini aja… dari jam 3-an lah kau udah di sini kan? Nah, kekmana kau lihat, aman kan?” jawab sang kolega.
“Berarti polisi tak tahu?”

“Bukan kekgitu,” timpal si Donny. “Aman bukan berarti polisi tak tahu dan aman bukan berarti polisi ikut membantu… intinya gak usah dipikir,” tambah Donny.
Entah apa yang dimaksud dengan kalimat Donny. Tapi, penulis merasa pasti ada sesuatu yang terjadi di Stroom ini hingga polisi terkesan tidak tahu, pura-pura tidak tahu, dan tidak mau tahu?

Belum sempat penulis menemukan jawaban atau sekadar penenang dari pertanyaan itu, si Cindy kembali mengganti posisi kakinya. Tidak itu saja, dia pun malah menyadarkan kepalanya di badan sang kolega; mukanya kini mengarah penulis.

Entah tahu penulis memperhatikan si Cindy, sang kolega langsung memberikan pertanyaan mengejutkan. “Mau kau?” katanya. Lucunya, Cindy bukan marah dengan kalimat tawaran sang kolega pada penulis, dia malah tersenyum manis; malah sangat manis.
Melihat itu penulis hanya tersenyum. “Nantilah itu, Bang. Aku cuma makin penasaran dengan Stroom yang terkesan aman-aman saja beroperasi seperti ini tanpa terendus pihak polisi,” jawab penulis berusaha mengelak tawaran yang menggiurkan itu.

Sang kolega tak menjawab, pandangannya malah dialihkan ke Donny. Ya, seakan memberi sinyal agar Donny saja yang menjelaskan pertanyaan tadi. Maka, dengan posisi duduk tegak, Donny mulai membuka mulut. “Sebenarnya semua tahu. Persis dengan waitress, pasti tahu dengan peredaran narkoba di sini. Bahkan, waitress termasuk ujung tombaknya,” jelas Donny.

Lalu, tanpa diminta Donny menerangkan seperti apa kerja waiterss dalam menawarkan narkoba. Posisi waitress menjcari pelanggan. Tapi, waitress kerjanya bukan seperti jual kacang goreng; teriak-teriak hingga merayu jalan pembeli. Untuk di KTV, waitress cenderung lebih cool. Mereka bertugas seperti waitress kebanyakan. Tapi, setelah ada sinyal atau kode dari pembeli, barulah mereka beraksi.

“Misalnya ada tamu baru yang masuk ke bilik. Tamu itu mulai berkaraoke dan memesan minuman dan makanan. Tak lama kemudian, tamu minta housemusic. Nah, jenis musik ini lah yang dianggap sinyal oleh waitress. Ya sudah, langsung saja dia tawari si tamu,” jelas Donny dengan kalem.

Sambil membakar rokok, Donny kembali menjelaskan peran waitress. Katanya, kebanyakan waitress sekadar menawarkan saja. Setelah si pembeli berniat, maka si BD (bandar) yang langsung turun tangan. “Kayak ekstasi tadi, kan BD-nya yang langsung ngantar kan?”
Penulis tersenyum. Tambah tersenyum ketika mendapati Cindy kini mulai merangkul sang kolega. “Mau gak kau?” tanya sang kolega lagi.“Nggak lah Bang,” spontan penulis menjawab.

“Ya, sudah. Kalau gitu kami cabut dululah. Kalian lanjut saja di sini ya….” katanya sambil menggandeng Cindy. Keduanya meninggalkan ruangan melalui pintu dalam.

Jelas, mereka akan pindah ke kamar ‘eksekusi’. Terserahlah, itu kan urusan mereka. “Terus, polisinya kekmana?”
Donny tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Dia menghisap rokoknya dalam-dalam. Lucunya, si ‘David Beckham’ juga melakukan hal yang sama; dia bakar rokok dan menghisapnya dalam-dalam.

“Begini Bos, ini kan sudah kayak judi di sepak bola. Maksudnya, pertandingan diatur oleh judi, siapa yang bilang itu tak ada? Tapi kenyataannya, kasus pengaturan skor malah banyak ditemukan,” kali ini yang menjawab si ‘David Beckham’.

“Kalau kita mau menempatkan posisi polisi untuk Stroom ini, ya mungkin pura-pura tak tahu lah…” sambut Donny.
Donny kembali menjelaskan soal bebas dan gampangnya tamu untuk mendapatkan ekstasi di Stroom. “Jadi, lucu juga kan kalau polisi tak tahu, sementara yang bukan polisi saja bisa tahu…” katanya.

Penulis paham apa yang dimaksud Donny. Penulis pun tak berusaha mengorek lebih jauh soal polisi itu. Melihat penulis yang sudah sedikit tenang, Donny dan si ‘David Beckham’ pun serentak duduk bersandar. “Nanti kuajak kau ke tempat lain, masih banyak tempat seperti Stroom ini. Capek kau nulisnya nanti?” kekeh Donny.

“Ya, sebelum mereka sibuk menutup diri dan menyimpan narkobanya rapat-rapat karena dia tulis,” sambung si “David Beckham’.
Penulis kembali tersenyum. Memang bukan rahasia lagi apa yang dimaksud oleh si ‘David Beckham’. Penulis juga sadar, setelah tulisan ini dicetak, maka Stroom pasti akan ‘tiarap’ dulu. “Jika marak lagi, kan tinggal tulis lagi,” jawab penulis enteng.
Mendengar jawaban spontan penulis, keduanya langsung tertawa. Sinar ruang pun terpancar dari mata mereka. “Ayo hidupkan barang (karaoke, Red) tuh!” teriak Donny.

Si ‘David Beckham’ garuk-garuk kepala sambil mengambil remote control. “Kan gak harus teriak-teriak…” keluhnya.
Penulis tersenyum. Teringat sang kolega dan Cindy, sudahkah ‘eksekusi’ dilakukan? (*)

Yang Bukan Polisi Saja Bisa Tahu

Siang di Karaoke Televisi (KTV) Stroom ternyata memang menyenangkan. Ruang 6×8 meter yang kami kuasai bak dunia tersendiri. Tidak ada yang mengganggu dan tidak ada yang mau tahu.

Penulis bersandar di sofa, sendirian. Cindy dan sang kolega di sofa tengah. Sedangkan Donny dan si ‘David Beckham’ berbisik di sofa yang ada di pojok lainnya. Karaoke tidak juga dinyalakan.

“Kalau kurang bilang…” cetus sang kolega.
Penulis hanya tersenyum. Donny dan si ‘David Beckham’ pun tersenyum. “Tapi, Bang, tempat ini kenapa tak tercium dengan polisi?” tanya penulis pada sang kolega.

Sang kolega terbahak. Cindy langsung duduk bersandar. Sofa empuk berwana gelap itu terasa sangat pas dengan perempuan berkulit putih yang memakai blazer warna gelap. Apalagi ketika dia mengubah letak kakinya, paha putih yang dimilikinya begitu mencolok di antara properti yang berwana hitam itu.
“Begini aja… dari jam 3-an lah kau udah di sini kan? Nah, kekmana kau lihat, aman kan?” jawab sang kolega.
“Berarti polisi tak tahu?”

“Bukan kekgitu,” timpal si Donny. “Aman bukan berarti polisi tak tahu dan aman bukan berarti polisi ikut membantu… intinya gak usah dipikir,” tambah Donny.
Entah apa yang dimaksud dengan kalimat Donny. Tapi, penulis merasa pasti ada sesuatu yang terjadi di Stroom ini hingga polisi terkesan tidak tahu, pura-pura tidak tahu, dan tidak mau tahu?

Belum sempat penulis menemukan jawaban atau sekadar penenang dari pertanyaan itu, si Cindy kembali mengganti posisi kakinya. Tidak itu saja, dia pun malah menyadarkan kepalanya di badan sang kolega; mukanya kini mengarah penulis.

Entah tahu penulis memperhatikan si Cindy, sang kolega langsung memberikan pertanyaan mengejutkan. “Mau kau?” katanya. Lucunya, Cindy bukan marah dengan kalimat tawaran sang kolega pada penulis, dia malah tersenyum manis; malah sangat manis.
Melihat itu penulis hanya tersenyum. “Nantilah itu, Bang. Aku cuma makin penasaran dengan Stroom yang terkesan aman-aman saja beroperasi seperti ini tanpa terendus pihak polisi,” jawab penulis berusaha mengelak tawaran yang menggiurkan itu.

Sang kolega tak menjawab, pandangannya malah dialihkan ke Donny. Ya, seakan memberi sinyal agar Donny saja yang menjelaskan pertanyaan tadi. Maka, dengan posisi duduk tegak, Donny mulai membuka mulut. “Sebenarnya semua tahu. Persis dengan waitress, pasti tahu dengan peredaran narkoba di sini. Bahkan, waitress termasuk ujung tombaknya,” jelas Donny.

Lalu, tanpa diminta Donny menerangkan seperti apa kerja waiterss dalam menawarkan narkoba. Posisi waitress menjcari pelanggan. Tapi, waitress kerjanya bukan seperti jual kacang goreng; teriak-teriak hingga merayu jalan pembeli. Untuk di KTV, waitress cenderung lebih cool. Mereka bertugas seperti waitress kebanyakan. Tapi, setelah ada sinyal atau kode dari pembeli, barulah mereka beraksi.

“Misalnya ada tamu baru yang masuk ke bilik. Tamu itu mulai berkaraoke dan memesan minuman dan makanan. Tak lama kemudian, tamu minta housemusic. Nah, jenis musik ini lah yang dianggap sinyal oleh waitress. Ya sudah, langsung saja dia tawari si tamu,” jelas Donny dengan kalem.

Sambil membakar rokok, Donny kembali menjelaskan peran waitress. Katanya, kebanyakan waitress sekadar menawarkan saja. Setelah si pembeli berniat, maka si BD (bandar) yang langsung turun tangan. “Kayak ekstasi tadi, kan BD-nya yang langsung ngantar kan?”
Penulis tersenyum. Tambah tersenyum ketika mendapati Cindy kini mulai merangkul sang kolega. “Mau gak kau?” tanya sang kolega lagi.“Nggak lah Bang,” spontan penulis menjawab.

“Ya, sudah. Kalau gitu kami cabut dululah. Kalian lanjut saja di sini ya….” katanya sambil menggandeng Cindy. Keduanya meninggalkan ruangan melalui pintu dalam.

Jelas, mereka akan pindah ke kamar ‘eksekusi’. Terserahlah, itu kan urusan mereka. “Terus, polisinya kekmana?”
Donny tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Dia menghisap rokoknya dalam-dalam. Lucunya, si ‘David Beckham’ juga melakukan hal yang sama; dia bakar rokok dan menghisapnya dalam-dalam.

“Begini Bos, ini kan sudah kayak judi di sepak bola. Maksudnya, pertandingan diatur oleh judi, siapa yang bilang itu tak ada? Tapi kenyataannya, kasus pengaturan skor malah banyak ditemukan,” kali ini yang menjawab si ‘David Beckham’.

“Kalau kita mau menempatkan posisi polisi untuk Stroom ini, ya mungkin pura-pura tak tahu lah…” sambut Donny.
Donny kembali menjelaskan soal bebas dan gampangnya tamu untuk mendapatkan ekstasi di Stroom. “Jadi, lucu juga kan kalau polisi tak tahu, sementara yang bukan polisi saja bisa tahu…” katanya.

Penulis paham apa yang dimaksud Donny. Penulis pun tak berusaha mengorek lebih jauh soal polisi itu. Melihat penulis yang sudah sedikit tenang, Donny dan si ‘David Beckham’ pun serentak duduk bersandar. “Nanti kuajak kau ke tempat lain, masih banyak tempat seperti Stroom ini. Capek kau nulisnya nanti?” kekeh Donny.

“Ya, sebelum mereka sibuk menutup diri dan menyimpan narkobanya rapat-rapat karena dia tulis,” sambung si “David Beckham’.
Penulis kembali tersenyum. Memang bukan rahasia lagi apa yang dimaksud oleh si ‘David Beckham’. Penulis juga sadar, setelah tulisan ini dicetak, maka Stroom pasti akan ‘tiarap’ dulu. “Jika marak lagi, kan tinggal tulis lagi,” jawab penulis enteng.
Mendengar jawaban spontan penulis, keduanya langsung tertawa. Sinar ruang pun terpancar dari mata mereka. “Ayo hidupkan barang (karaoke, Red) tuh!” teriak Donny.

Si ‘David Beckham’ garuk-garuk kepala sambil mengambil remote control. “Kan gak harus teriak-teriak…” keluhnya.
Penulis tersenyum. Teringat sang kolega dan Cindy, sudahkah ‘eksekusi’ dilakukan? (*)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/