Oleh: Iwan Junaidi
Redaktur Pelaksana Sumut Pos
PADA dua pekan terakhir, dunia transportasi Indonesia benar-benar terguncang. Masih terngiang di telinga tindakan asusila yang dilakukan supir angkot di Medan terhadap penumpangnya yang yatim piatu, tiba-tiba saja kita kembali dibuat terhenyak saat Badan Narkotika Nasional (BNN) menangkap seorang pilot pesawat Lion Air yang sedang nyabu di Kota Makassar.
Penangkapan terhadap sang pilot tadi pun sontak menguak fakta menarik. Betapa tidak, jika dirinya ditangkap pada pukul 03.30 WIB dan sejatinya kembali bertugas pada pukul 06.00 WIB, maka saat dirinya bertugas menerbangkan pesawat, sesungguhnya pengaruh narkoba sedang “tinggi-tingginya” bekerja di tubuh dan pikiran sang pilot.
Luar biasa, betapa mahal harga yang harus dibayar para penumpang untuk mempercayakan nyawanya kepada sang pilot sontoloyo penguna narkoba tadi. Fiuh….
Tapi, ternyata penyalahgunaan narkoba tak hanya terjadi di atas pesawat yang melibatkan sang pilot bergaji besar. Pasalnya, ternyata ada juga sopir angkot yang pendapatannya entah berantah, kadang ada, kadang tidak, namun tetap nekat menjadi pecandu narkoba.
Jika itu hanya merugikan mereka sendiri, dengan kata lain pendapatan mereka bekerja seharian habis untuk membeli barang haram yang berharga mahal itu, mungkin tak mengapa. Orang pun takkan ribut-ribut menanggapinya. Paling yang keluar dari mulut orang adalah sumpah serapah seperti “Dasar manusia tak tahu diuntung” atau ungkapan lainnya yang sejurus mengarah kepada perbuatan yang merugikan diri sendiri.
Tapi jika karena dampak penggunaan narkoba tadi harus ada yang menjadi korban, seperti seorang gadis yatim piatu yang digilir bak piala, masihkah itu (mempergunakan narkoba) merugikan dirinya seorang.
Semoga apa yang dilakukan sopir tadi bukan karena dirinya terinsipirasi film Perawan Desa yang pada tahun 1980 begitu ngetop dan sukses merengkuh beberapa Piala Citra.
Yang pasti, film yang disutradarai Frank Rorimpandey dengan mengambil kisah nyata pada tahun 1970-an itu tak sekalipun menyuruh para sopir ataupun mereka-mereka yang memiliki mobil untuk bergaya hidup sontoloyo, yang akrab dengan pesta menuman keras dan narkoba, hingga akhirnya tega memperkosa seorang gadis penjual telur bernama Sumarijem atau yang tenar dengan panggilan Sum Kuning.
Tragic ending pada film ini, tatkala seorang tukang bakso menjadi terpidana hingga raibnya sosok Sum Kuning, yang dikemudian hari didapati telah bertukar identitas.
Pertanyaannya, siapa yang pantas disalahkan atas pengulangan dan pengulangan peristiwa yang pernah terjadi pada 41 tahun silam itu? Semoga bukan Frank Rorimpandey ataupun Yati Surachman yang mampu tampil prima dalam memerankan sosok Sum Kuning tadi. (*)