JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Irjen Ferdy Sambo resmi disanksi berupa pemberhentian dengan tidak hormat (PTDH) kemarin. Sidang banding yang dipimpin Komjen Agung Budi Maryoto memperkuat hasil sidang komisi kode etik Polri (KKEP) terhadap Sambo. Dalam sidang tersebut Sambo dinilai melakukan perbuatan tercela.
Namun, PTDH terhadap Sambo tersebut bisa jadi bukan akhir dari nasib mantan Kadivpropam tersebut. Pasalnya, dinilai ada peluang untuk Sambo kembali menjadi anggota Polri melalui Peraturan Polri nomor 7/2020 tentang KKEP, khususnya dalam pasal 83 yang berpotensi untuk dilakukan pninjauan kembali dalam masa tiga tahun.
Sidang banding tersebut dimulai sekitar pukul 10.00 kemarin. Sidang tersebut digelar selama tiga jam, dengan keputusan sidang yang dibacakan oleh Irwasum komjen Agung Budi Maryoto. Dalam pembacaan putusan banding tersebut, Agung menuturkan bahwa menolak permohonan banding pemohon. “Menguatkan putusan sidang komisi kode etik,” tegasnya.
Dengan begitu, komisi banding menjatuhkan sanksi etike bahwa Sambo melakukan perbuatan tercela. Serta, memberikan sanksi administratif berupa PTDH. “Tetap dijatuhi PTDH,” paparnya kemarin.
Sementara Kadivhumas Polri Irjen Dedi Prasetyo mengatakan, setelah putusan dari sidang banding tersebut, maka proses administratif berupa PTDH akan dilakukan selama tiga hari kerja setelah diputuskan. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 81 Peraturan Polri nomor 7/2022 tentang KKEP yang menyebutkan bahwa putusan sidang banding dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama tiga hari. “Sesuai peraturan,” jelasnya.
Penyerahan tersebut sudah termasuk seremonial. Namun, kemungkinan besar tidak akan ada seremonial seperti PTDH anggota Polri biasanya, yang dilaksanakan dengan upacara dan pencopotan seragam. “Penyerahan putusan sudah seremonial itu,” paparnya.
Yang pasti, keputusan sidang banding tersebut bersifat final dan mengikat. Sehingga, putusan PTDH tersebut tidak akan berubah. “Nanti proses selanjutnya, saya informasikan,” ujarnya di lobi gedung TNCC kemarin.
Putusan sidang banding tersebut setelah Sambo mengajukan banding atas perbuatannya berupa memerintahkan penembakan terhadap Brigadir Yosua, ajudan dari istrinya Putri Candrawathi. Berkas perkara Sambo untuk pembunuhan terhadap Brigadir Yosua, kini sedang diteliti olej Kejaksaan Agung. Belum ada putusan bahwa berkas perkara dinyatakan lengkap atau P21.
Terkait PTDH dari Sambo, Pengamat Kepolisian Bambang Rukminto mengapresiasi keputusan sidang banding tersebut. Namun, bukan berarti Sambo kehabisan peluang untuk bisa kembali ke Korps Bhayangkara. “Sebab, dalam Pasal 83 Perpol 7/2022 tentang KKEP diatur adanya peninjauan kembali,” paparnya.
Dalam pasal tersebut ayat satu menyebutkan bahwa kapolri berwenang untuk melakukan peninjauan kembali (PK) atas putusan KKEP atau KKEP Banding yang telah final dan mengikat. Lalu, pada ayat dua disebutkan bahwa PK dalam dilakukan apabila putusan KKEP atau banding terdapat kekeliruan. “dan ditemukan alat bukti yang belum diperiksa dalam sidang KKEP atau banding,” jelasnya.
Lalu, dalam ayat tiga juga tertulis bahwa PK sebagaimana dimaksud dalam ayat satu dapat dilakukan paling lama tiga tahun sejak putusan KKEP atau banding. “Dari pasal 83 ini artinya, kewenangan PK hanya dimiliki Kapolri. Terhukum tidak memiliki kewenangan mengajukan PK,” urainya.
Menurutnya, bila kewenangan PK itu dilakukan tanpa ada bukti baru atau terjadi kekeliruan, maka pimpinan sedang menghancurkan kewibawaannya sendiri. “Itu yang akan terjadi bila PK ditempuh,” paparnya.
Apakah dengan pasal 83 tersebut dapat diartikan bahwa sebenarnya putusan banding tidak final dan mengikat? Dia mengatakan bahwa semua tergantung Kapolri. Putusan sidang KKEP dan banding itu bersifat rekomendasi. “Tergantung Kapolri mau mengeluarkan surat keputusan (SK) pemecatan dengan cepat atau tidak,” urainya.
Atau, justru nantinya akan dilemparkan kembali ke Presiden. Mengingat SK pengangkatan polisi dengan pangkat Kombespol ke atas dilakukan oleh Presiden. “Ya begitu,” paparnya kemarin.
Dilihat dari aturan tersebut, dia menilai bahwa sebenarnya POlri berkeinginan mengadopsi UU 31/1997 tentang Peradilan Militer. Namun, justru lupa bahwa kepolisian itu adalah institusi sipil. “Seharusnya mengacu tetap ke KUHP dan KUHAP. Terkait disiplin menggunakan PP 94/2021 tentang disiplin pegawai negeri,” ujarnya. (idr/jpg/adz)