WASHINGTON D.C, SUMUTPOS.CO – Kegiatan Public Lecture pada The CSIS ASEAN Leadership Forum berjudul “Indonesia’s Economic Priorities: A Conversation with Airlangga Hartarto” telah berlangsung pada tanggal 24 Oktober 2022 di Gedung CSIS Washington D.C. Pertemuan tersebut turut dihadiri oleh Menteri Perindustrian beserta beberapa Pejabat Eselon 1 dan 2 Kemenko Perekonomian dan Kementerian Perindustrian.
Sesi awal dibuka oleh John J. Hamre, Presiden dan CEO CSIS dengan Gregory B. Poling, Director CSIS untuk Kawasan Asia Tenggara sebagai moderator. Dalam pembukaannya, Presiden CSIS menegaskan, “Komunitas global perlu melihat peran Airlangga Hartarto dalam posisinya sebagai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Indonesia, dalam menstabilkan perekonomian Indonesia menghadapi pandemi Covid-19 dan krisis multidimensi global akhir-akhir ini”.
“Perekonomian Indonesia saat ini telah berjalan dengan sangat baik, dan dengan recovery ekonomi dari pandemi yang terus berlanjut dengan kecepatan tinggi. Pertumbuhan PDB Indonesia sebesar lebih 5% saat ini telah melampaui pertumbuhan PDB Indonesia pra-pandemi. Dalam rilis laporan World Economic Outlook terbaru pada bulan Oktober 2022, International Monetary Fund (IMF) memperkirakan pertumbuhan ekonomi untuk Indonesia sebesar 5,3% dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi global kembali turun menjadi 3,2%,” papar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.
Pada tahun 2023, Indonesia akan menjadi Ketua ASEAN dimana ASEAN Economic Community akan tetap menjadi komitmen utamanya. Dengan menjadi Ketua ASEAN tahun depan, Indonesia akan melihat upaya-upaya perluasan kerjasama regional dengan mitra ASEAN seperti Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP). Perjanjian perdagangan serupa dinilai akan semakin memikat, mengingat rantai-pasok global dapat mendukung ketahanan ekonomi negara-negara dunia dalam menghadapi berbagai krisis di masa depan. Indonesia berharap fasilitasi perdagangan yang lebih luas dapat mengurangi tarif bea masuk sekitar 92% barang dan jasa.
Selanjutnya, dalam kesempatan tersebut Menko Airlangga juga menjelaskan tentang lesson learned yang diperoleh Indonesia di masa pandemi yakni pertama, dalam situasi ekonomi yang sulit, pendekatan kebijakan harus fleksibel dengan semua instrumen kebijakan yang harus siap dan memiliki kapasitas maksimal. Kedua, di masa pandemi, respons kebijakan kesehatan dan ekonomi harus dilakukan secara bersamaan. Ketiga, menjaga momentum pertumbuhan adalah kunci keberhasilan strategi kebijakan untuk mengatasi pandemi. Di bawah Komite PC-PEN, Indonesia menerapkan kebijakan “Gas dan Rem” untuk menyeimbangkan aspek kesehatan (kehidupan) dan aspek ekonomi (penghidupan). Keempat, pentingnya meningkatkan kapasitas pelayanan kesehatan di dalam negeri.
“Saya percaya bahwa pada masa-masa perlambatan ekonomi adalah kesempatan bagi negara-negara seperti Indonesia untuk melakukan reformasi struktural. Reformasi yang mungkin bisa membutuhkan waktu 70 tahun untuk menyelesaikannya, namun Indonesia bisa melakukannya selama pandemi Covid-19 sehingga ketika pandemi hampir berakhir, kami mulai melakukan restrukturisasi dan reformasi ekonomi,” jelas Menko Airlangga.
Kemudian dalam kesempatan tersebut Menko Airlangga juga menyampaikan bahwa Indonesia juga memanfaatkan momentum pandemi Covid-19 untuk mengembangkan transformasi digital, antara lain penggunaan aplikasi PeduliLindungi dan mengembangkan sistem e-payment menggunakan QR atau dikenal dengan QRIS. Selain itu, Menko Airlangga juga menekankan bahwa Indonesia berkomitmen untuk turut berperan menghadapi tantangan perubahan iklim global melalui transformasi energi dengan upaya diversifikasi energi dan upaya konservasi energi.
Pada kesempatan yang sama, Menko Airlangga juga menekankan pentingnya menjaga stabilitas likuiditas dan nilai tukar. Pada bulan Maret 2022, US Federal Reserve telah meluncurkan Foreign and International Monetary Authorities (FIMO), di mana Bank Indonesia telah mendapatkan akses ke FIMO melalui repurchase agreement line senilai USD60 miliar.
Pada Presidensi G20 Indonesia, terdapat empat (4) agenda utama yakni Global Public Health System; Economic Transformation and Digitalization; Food and Energy Security dan Green Energy Transition. Agenda-agenda ini akan terus berlanjut pada agenda G20, mengingat relevansinya terhadap perekonomian negara berkembang ataupun negara maju.
Pemerintah Indonesia menyambut dengan baik inisiatif Indo-Pacific Economic Framework (IPEF) dan menyampaikan komitmen untuk aktif di semua pilar IPEF, dan mengharapkan Kerjasama ini dapat memberikan manfaat yang signifikan bagi Indonesia dan seluruh kawasan Indo-Pasifik.
Dalam sesi tanya jawab, terdapat berbagai isu yang menarik perhatian, antara lain yang terkait dengan perkembangan Ibukota Nusantara (IKN), potensi Indonesia di dalam skema Kerjasama IPEF, serta upaya pemerintah dalam mendorong industri semikonduktor di Indonesia.
Terkait dengan kerjasama Indo-Pacific Economic Framework (IPEF), Menko Airlangga menekankan bahwa Indonesia optimis terhadap deliverables dari IPEF dan mempunyai komitmen kuat terhadap semua pilar IPEF. Hal tersebut penting karena anggota-anggota IPEF memiliki latar kondisi ekonomi yang berbeda. Selain pilar-pilar dalam IPEF tersebut, Menko Airlangga menegaskan tentang pentingnya akses pasar dalam IPEF.
“Indonesia berharap IPEF dapat memiliki komitmen serta konsensus di antara negara-negara yang terlibat, dan kami berharap dalam satu tahun Indonesia dan negara-negara lain dapat mencapai kesepakatan dalam semua pilar pembahasan tersebut,” kata Menko Airlangga.
Selanjutnya, terkait keketuaan Indonesia pada ASEAN tahun 2023, Menko Airlangga menyatakan bahwa Indonesia akan melanjutkan ke-empat pilar yang dibahas dalam G20 yakni arsitektur kesehatan global, transformasi digital, transisi energi, dan ketahanan pangan.
“Saya ingin menggarisbawahi bahwa ASEAN dengan 10 negara anggota memiliki ekonomi, luas lahan dan populasi yang luas. Indonesia terus mendukung komitmen Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Selain itu juga terdapat Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP), yang pertama kali diperkenalkan pada tahun 2011 saat Indonesia memimpin ASEAN. Daya tarik perjanjian tersebut sekarang bahkan lebih tinggi, sangat penting untuk mendukung rantai pasokan global, serta kami berharap bahwa fasilitasi untuk menghilangkan 92% dari tarif bea masuk,” jelas Menko Airlangga.
Pertemuan tersebut berlangsung cukup interaktif. Menko Airlangga juga menjawab pertanyaan-pertanyaan para audiens yang hadir secara hybrid terkait G20, IPEF, ketahanan pangan Indonesia, pemindahan Ibu Kota Negara dan transisi energi yang tengah dilakukan Indonesia. Pertemuan tersebut dimoderatori oleh Director CSIS untuk Kawasan Asia Tenggara Gregory B. Poling. (ltg/fsr/hls/*)