Oleh: Iwan junaidi
Redaktur Pelaksana Sumut Pos
PADA setiap harinya di halaman publik interaktif yang terbit di Harian Sumut Pos, selalu ada sms dari masyarakat yang menyatakan ketidakpuasannya terkait sistem yang mengatur keluarnya akta kelahiran seorang anak.
Perasaan apriori yang terlahir dari rasa tidak percaya kepada sistem birokrasi di negeri ini, tetap menjadi alasan utama atas rasa keberatan (jika tak ingin disebut menolak) pada sistem yang berlaku.
Sebelumnya disebutkan jika seorang anak yang belum memiliki akta kelahiran di saat usianya telah menginjak setahun atau lebih, maka harus mengurusnya lewat pengadilan negeri.
Tak tahu, apakah kebijakan ini didasari pada sebuah kebijakan terkait pencatatan dan pendataan jumlah penduduk semata, atau lebih dari itu, ingin memberi efek jera kepada orang tua yang dianggap lalai mendaftarkan anaknya ke dinas kependudukan.
Yang pasti, sejauh ini pemerintah menetapkan aturan ini berdasar pada beberapa hal seperti Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan UU No. 23 Tahun 2006, Peraturan Presiden No. 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil, Kompilasi Hukum Islam (Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991).
Sayangnya, dari semua yang disebutkan tadi tidak ada yang menyatakan secara gamblang jika seorang anak yang telah berusia setahun namun belum memiliki akta kelahiran harus terlebih dahulu mengikuti sidang di pengadilan negeri.
Bahkan, pada aturan terbaru yakni peraturan presiden nomor 25 tahun 2008 sama sekali tidak ada disebutkan kata-kata pengadilan negeri atau sejenisnya, termasuk pada pasal 53 yang membahas khusus tentang pencatatan kelahiran penduduk warga Negara Indonesia. Bah.
Jadi, jangan heran bila sejauh ini pengadilan negeri Medan belum sekalipun menggelar sedang terkait masalah ini. Beberapa orang
tua yang secara intens terus mengikuti perkembangan masalah ini pun sering bartanya-tanya, adakah pasal-pasal di kitab undang-undnag perdata yang membahas masalah ini. Atau, ketiadaan pasal-pasal inikah yang menjadi penyebab kenapa pengadilan negeri Medan belum pernah menggelar sidang terkait terbitnya akta kelahiran.
Sesungguhnya seorang anak terlahir ke dunia bukan saja anugerah bagi kedua orangtuanya semata. Lebih dari itu, ke depan diharapkan anak-anak yang terlahir tadi menjadi tonggak berdirinya pilar-pilar kejayaan bangsa ini. Lantas kenapa harus dipersulit?
Jika hanya karena terlambat memperoleh akta kelahiran, adakah pihak-pihak yang dirugikan karenanya? Tidak ada kan?! Jadi, apa masalahnya? Toh, bagaimanapun juga, mustahil ada orang tua yang tak ingin mendaftarkan kelahiran anaknya, sebab kelak untuk dapat diterima di sebuah sekolah, si anak harus terlebih dahulu menunjukkan akta kelahirannya.
Untungnya tiga pekan lalu Mendagri Gemawan Fauzie telah mengeluarkan surat edaran tentang penundaan berlakunya Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 yang mengatur tentang Administrasi Kependudukan, hangga setahun ke depan.
Alasannya, tak ingin melihat para orang tua menjadi korban dari birokrasi di negeri ini yang dianggap masih bertele-tele. Nah,.. lho?
Waduh Pak Menteri… sejujurnya masyarakat akan senang mendengar berita ini. Namun kenapa cuma harus ditunda? Kenapa tidak diusulkan saja kepada tuan presiden yang terhormat, agar dihentikan saja aturan yang dapat membuat masyarakat terjerat pada sebuah sistem birokrasi yang bertele-tele.
Toh.. tak ada pihak yang akan dirugikan akibat dari kelalaian orangtua mengurus akta kelahiran anaknya yang masih berusia di bawah setahun. Arghhhhh. (*)