JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Sejumlah menteri yang digadang masuk bursa calon presiden dan wakil presiden mendapat angin segar. Sebab, mereka tidak lagi diwajibkan mundur jika mengikuti kontestasi pemilihan presiden (pilpres) 2024 nanti.
Sejumlah nama kerap disebut dalam bursa pilpres. Yang paling menonjol sebut saja Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto sebagai calon presiden. Selain itu, masih ada sosok Menteri BUMN Erick Thohir dan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno sebagai calon wakil presiden.
Kepastian itu muncul setelah muncul putusan Mahkamah Konstitusi nomor 68/PUU-XX/2022 yang dibacakan kemarin (31/10). Gugatan pasal 170 UU nomor 7 tahun 2017 itu diajukan oleh Partai Garuda.
Dalam aturan sebelumnya, hak tidak mundur hanya berlaku terhadap Presiden, Wakil Presiden, Pimpinan dan anggota MPR, DPR, DPD, dan para kepala daerah. Nah, dalam putusan terbaru, MK memasukkan menteri sebagai jabatan yang punya hak sama. “Sepanjang menteri dan pejabat setingkat menteri mendapat persetujuan dan izin cuti dari presiden,” kata Ketua MK Anwar Usman saat membacakan putusan.
Dalam pertimbangan hukumnya, hakim MK Arief Hidayat menjelaskan, sebagai seorang warga negara yang mengemban jabatan tertentu, seorang menteri tetap melekat hak konstitusional warga negara. “Seharusnya hak konstitusionalnya dalam mendapatkan kesempatan untuk dipilih maupun memilih tidak boleh dikurangi,” ujarnya.
Terkait putusan MK sebelumnya yang mewajibkan ASN, pegawai BUMN/BUMD mundur saat kontestasi, hal itu terkait dengan isu netralitas. Sementara jabatan menteri, MK memandang berbeda.
Jabatan menteri, lanjut Arief, menjalani jenjang karir yang panjang dan bisa menjadi puncak karir seseorang. “Tanpa harus mengundurkan diri, kematangan profesionalitas pejabat yang dimaksud masih dapat dipergunakan di dalam memberikan kontribusi dalam pembangunan bangsa dan negara,” tuturnya.
Lebih lanjut lagi, adanya perlakuan yang berbeda terhadap menteri bisa menimbulkan pembatasan dalam pemenuhan hak konstitusional. Hal itu termasuk bentuk diskriminasi terhadap partai politik ketika ingin mencalonkan kader terbaiknya sebagai capres atau cawapres.
Pendapat berbeda atau dissenting opinion disampaikan hakim MK Saldi Isra. Selain tidak etis, Saldi menilai aturan itu itu bisa menimbulkan persoalan instabilitas pemerintahan. Misalnya, jika ada presiden incumbent dan menteri yang sama-sama maju dalam pilpres. “Sangat mungkin terjadi kondisi yang memperhadapkan presiden incumbent dengan menteri yang notabene bawahan presiden,” ujarnya.
Pengalaman itu, kata Saldi, sangat mungkin terjadi. Dalam pilpres 2004, Indonesia pernah mengalami di mana Megawati Soekarnoputri selaku presiden incumbent berhadapan dengan para menterinya. “Beruntungnya, Susilo Bambang Yudhyono, Jusuf Kalla, dan Agum Gumelar menyatakan mundur sebagai anggota kabinet,” jelasnya.
Persoalan itu, kata Saldi, bisa bertambah jika nanti ada menteri yang bisa mengalahkan presiden incumbent. Saat masa transisi pemerintahan, ada potensi munculnya instabilitas politik. (far/bay/jpg)