26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Pangkas Rambut Pilihan Tepat Saat Penat

Oleh: Ramadhan Batubara

Belakangan ini Medan begitu panas. Gerah. Berdebu. Kulit menjadi kering dan rambut terlalu cepat basah. Otak pun menjadi penat. Ujung-ujungnya, kepala sibuk mencari pemecahan. Dan, pemecahan yang saya pilih adalah pangkas rambut. Pasalnya, pangkas rambut   di kota ini dapat membuat orang rileks.

Ya, pukul dua siang tiga hari yang lalu, ketika matahari begitu garangnya menghajar bumi, saya mampir ke sebuah rumah toko tempat pangkas. Lokasinya di dekat Sungai Denai atau Sungai Amplas (di peta ditulis Sungai Percut). Jadi kalau dari Terminal Amplas, lurus saja hingga mencapai pertigaan Menteng. Sampai di pertigaan itu, belok kiri, ya Jalan Nawi Harahap. Nah, sebelum jembatan di jalan itu, lihat pertokoan di sisi kanan. Itulah tempat yang saya pilih.

Ruang tempat pangkas itu berbalut kaca di bagian depannya, sesaat terpikir kalau ruangan itu ber-AC. Maka, bergegas saya turun dari sepeda motor, maksudnya untuk ngadem. Kan menyenangkan pangkas dalam suasana sejuk. Sayang, begitu masuk, ternyata ruang itu hanya berfasilitas kipas angin. Ya sudahlah.

Abang tukang pangkas tersenyum dan langsung menyilakan duduk di kursi pangkas. Pemangkasan pun dimulai. Saya memilih ukuran 2 centimeter untuk rambut. Kata abang itu, 1 centimeter terlalu pendek, kesannya malah botak.

Ketam menjelajahi kepala saya. Rambut-rambut yang terpotong berjatuhan, sebagian malah mengenai wajah. Sial. Abang tukang pangkas langsung mematikan kipas angin. Beruntung, ruangan tidak begitu pengap dan panas.

Lalu, masuklah prosesi pangkas itu pada bagian yang saya suka. Abang tukang pangkas menggeser tuas kursi. Posisi saya pun jadi telentang. Abang tukang pangkas lalu menyiapkan pisau cukur.

Dalam posisi itu – yang sejatinya paling saya suka – sering membuat saya gamang. Ya, teringat film yang dibintangi Johnny Depp. Film itu berjudul Sweeney Todd: The Demon Barber of Fleet Street. Film ini mengisahkan kehidupan seorang pemangkas rambut di Era Victorian yang bernama Sweeney Todd (Johnny Depp). Ia ingin membalas dendam kepada orang-orang yang telah memenjarakannya dan memisahkannya dari istri beserta anak perempuannya. Sehingga ia menjadi seorang pembunuh berdarah dingin yang membunuh pelanggannya dengan menggorok leher mereka dengan pisau cukur. Pisaunya yang mahatajam begitu lincah menggorok leher pasien yang telentang seperti saya saat itu.

Si Sweeney Todd ini dibantu oleh Mrs Lovett (Helena Bonham Carter). Tapi bukan dalam membunuh, Mrs Lovett yang menjadikan daging korbannya menjadi komposisi dari kue pai yang dijual di kedai kue miliknya. Fiuh, posisi saya saat itu persis dengan korban Sweeney Todd. Telentang dan siap dicukur. Seperti korban dalam film musikal itu, saya pun pasrah saja ketika tukang cukur memainkan pisaunya di wajah saya. Ah…
Kumis telah lenyap. Kini pisau mahatajam itu berpindah ke dagu. Ah, begitu dekat pisau itu dengan urat leher saya. Saya pejamkan mata, berharap bukan Sweeney Todd yang mencukur jenggot saya.
Pencukuran selesai. Tak ada perih di wajah saya, pun leher tidak berdarah. Luar biasa. Setelah itu abang tukang pangkas mulai memijat kepala saya. Dia oleskan cairan yang mengandung mint. Dingin. Tak sampai disitu, dia pun mengompres jidat saya dengan air dingin. Nikmat.
Tuas dia geserkan, posisi saya berubah lagi menjadi duduk. Tangan abang itu mulai memijat pundak. Tak pelak, saya bertahak atau bersendawa. Angin keluar. Badan terasa ringan. Pandangan pun semakin terang.

Sumpah, pengalaman pangkas semacam ini hanya saya dapati di Sumatera Bagian Utara. Semakin nikmat – karena sering menikmati – ya di Medan. Beberapa waktu lalu saat masih tinggal di Jogja, pangkas hanya sekadar memotong rambut. Ya, sama sekali tidak ada pijatan, mint, hingga kompres air dingin. Pangkas di sana pun tak sampai lima menit. Sedangkan di Medan, seperti di pinggir Sungai Denai atau Sungai Amplas itu, bisa mencapai setengah jam lebih. Pasien benar-benar dimanjakan. Harga hanya sepuluh ribu rupiah. Fiuh…

Dengan kata lain, pijat di Medan telah mencakup potong rambut, bersihkan kumis dan janggut, seta pijat ringan pengusir penat. Tapi ya itu tadi, empat tahun tinggal di Medan dan entah sudah berapa puluh kali pangkas, tetap saja saya gamang saat kursi diluruskan hingga badan telentang. Selalu saja ada kecurigaan, apakah sang tukang pangkas bisa dipercaya. Bagaimana jika dia gila seperti Sweeney Todd. Adalah sangat gampang membunuh pasien yang pasrah bukan? Ah, tak terbayang ketika daging saya dijadikan kue seperti yang dibuat oleh Mrs Lovett. Hm, pikiran itu tampaknya harus saya buang jauh-jauh. Sudahlah, intinya pangkas telah menjadi pilihan saya ketika penat. Terkadang, ketika rambut belum panjang pun saya sering ke tempat seperti ini. Ya, hanya sekadar membersihkan janggot dan kumis yang jarang-jarang. Poinnya, yang saya incar adalah pijatan yang membuat rileks itu.
Mungkin karena itulah, selain warung jajan seperti mie Aceh dan Teh Susu Telur (TST), tukang pangkas seakan jamur di musim penghujan di kota ini. Nyaris di setiap sudut kota pasti ada tukang pangkas, baik ruang yang ber-AC hingga toko ala kadarnya di pinggir jalan yang sempit. Dan semuanya, menyiapkan pelayanan terbaik. Semuanya berlomba agar pelanggan tak lari. Kenapa tidak dinikmati? (*)

Oleh: Ramadhan Batubara

Belakangan ini Medan begitu panas. Gerah. Berdebu. Kulit menjadi kering dan rambut terlalu cepat basah. Otak pun menjadi penat. Ujung-ujungnya, kepala sibuk mencari pemecahan. Dan, pemecahan yang saya pilih adalah pangkas rambut. Pasalnya, pangkas rambut   di kota ini dapat membuat orang rileks.

Ya, pukul dua siang tiga hari yang lalu, ketika matahari begitu garangnya menghajar bumi, saya mampir ke sebuah rumah toko tempat pangkas. Lokasinya di dekat Sungai Denai atau Sungai Amplas (di peta ditulis Sungai Percut). Jadi kalau dari Terminal Amplas, lurus saja hingga mencapai pertigaan Menteng. Sampai di pertigaan itu, belok kiri, ya Jalan Nawi Harahap. Nah, sebelum jembatan di jalan itu, lihat pertokoan di sisi kanan. Itulah tempat yang saya pilih.

Ruang tempat pangkas itu berbalut kaca di bagian depannya, sesaat terpikir kalau ruangan itu ber-AC. Maka, bergegas saya turun dari sepeda motor, maksudnya untuk ngadem. Kan menyenangkan pangkas dalam suasana sejuk. Sayang, begitu masuk, ternyata ruang itu hanya berfasilitas kipas angin. Ya sudahlah.

Abang tukang pangkas tersenyum dan langsung menyilakan duduk di kursi pangkas. Pemangkasan pun dimulai. Saya memilih ukuran 2 centimeter untuk rambut. Kata abang itu, 1 centimeter terlalu pendek, kesannya malah botak.

Ketam menjelajahi kepala saya. Rambut-rambut yang terpotong berjatuhan, sebagian malah mengenai wajah. Sial. Abang tukang pangkas langsung mematikan kipas angin. Beruntung, ruangan tidak begitu pengap dan panas.

Lalu, masuklah prosesi pangkas itu pada bagian yang saya suka. Abang tukang pangkas menggeser tuas kursi. Posisi saya pun jadi telentang. Abang tukang pangkas lalu menyiapkan pisau cukur.

Dalam posisi itu – yang sejatinya paling saya suka – sering membuat saya gamang. Ya, teringat film yang dibintangi Johnny Depp. Film itu berjudul Sweeney Todd: The Demon Barber of Fleet Street. Film ini mengisahkan kehidupan seorang pemangkas rambut di Era Victorian yang bernama Sweeney Todd (Johnny Depp). Ia ingin membalas dendam kepada orang-orang yang telah memenjarakannya dan memisahkannya dari istri beserta anak perempuannya. Sehingga ia menjadi seorang pembunuh berdarah dingin yang membunuh pelanggannya dengan menggorok leher mereka dengan pisau cukur. Pisaunya yang mahatajam begitu lincah menggorok leher pasien yang telentang seperti saya saat itu.

Si Sweeney Todd ini dibantu oleh Mrs Lovett (Helena Bonham Carter). Tapi bukan dalam membunuh, Mrs Lovett yang menjadikan daging korbannya menjadi komposisi dari kue pai yang dijual di kedai kue miliknya. Fiuh, posisi saya saat itu persis dengan korban Sweeney Todd. Telentang dan siap dicukur. Seperti korban dalam film musikal itu, saya pun pasrah saja ketika tukang cukur memainkan pisaunya di wajah saya. Ah…
Kumis telah lenyap. Kini pisau mahatajam itu berpindah ke dagu. Ah, begitu dekat pisau itu dengan urat leher saya. Saya pejamkan mata, berharap bukan Sweeney Todd yang mencukur jenggot saya.
Pencukuran selesai. Tak ada perih di wajah saya, pun leher tidak berdarah. Luar biasa. Setelah itu abang tukang pangkas mulai memijat kepala saya. Dia oleskan cairan yang mengandung mint. Dingin. Tak sampai disitu, dia pun mengompres jidat saya dengan air dingin. Nikmat.
Tuas dia geserkan, posisi saya berubah lagi menjadi duduk. Tangan abang itu mulai memijat pundak. Tak pelak, saya bertahak atau bersendawa. Angin keluar. Badan terasa ringan. Pandangan pun semakin terang.

Sumpah, pengalaman pangkas semacam ini hanya saya dapati di Sumatera Bagian Utara. Semakin nikmat – karena sering menikmati – ya di Medan. Beberapa waktu lalu saat masih tinggal di Jogja, pangkas hanya sekadar memotong rambut. Ya, sama sekali tidak ada pijatan, mint, hingga kompres air dingin. Pangkas di sana pun tak sampai lima menit. Sedangkan di Medan, seperti di pinggir Sungai Denai atau Sungai Amplas itu, bisa mencapai setengah jam lebih. Pasien benar-benar dimanjakan. Harga hanya sepuluh ribu rupiah. Fiuh…

Dengan kata lain, pijat di Medan telah mencakup potong rambut, bersihkan kumis dan janggut, seta pijat ringan pengusir penat. Tapi ya itu tadi, empat tahun tinggal di Medan dan entah sudah berapa puluh kali pangkas, tetap saja saya gamang saat kursi diluruskan hingga badan telentang. Selalu saja ada kecurigaan, apakah sang tukang pangkas bisa dipercaya. Bagaimana jika dia gila seperti Sweeney Todd. Adalah sangat gampang membunuh pasien yang pasrah bukan? Ah, tak terbayang ketika daging saya dijadikan kue seperti yang dibuat oleh Mrs Lovett. Hm, pikiran itu tampaknya harus saya buang jauh-jauh. Sudahlah, intinya pangkas telah menjadi pilihan saya ketika penat. Terkadang, ketika rambut belum panjang pun saya sering ke tempat seperti ini. Ya, hanya sekadar membersihkan janggot dan kumis yang jarang-jarang. Poinnya, yang saya incar adalah pijatan yang membuat rileks itu.
Mungkin karena itulah, selain warung jajan seperti mie Aceh dan Teh Susu Telur (TST), tukang pangkas seakan jamur di musim penghujan di kota ini. Nyaris di setiap sudut kota pasti ada tukang pangkas, baik ruang yang ber-AC hingga toko ala kadarnya di pinggir jalan yang sempit. Dan semuanya, menyiapkan pelayanan terbaik. Semuanya berlomba agar pelanggan tak lari. Kenapa tidak dinikmati? (*)

Artikel Terkait

Mahasiswi Dirampok Wanita Hamil

Jalan Pintas dari Kualanamu

Karya dan Kamar Mandi

Ya atau Tidak Sama Saja …

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/