30 C
Medan
Monday, October 28, 2024
spot_img

Sidang Dugaan Penganiayaan Serda Sahat Sitorus, Pengacara Keluarga Minta Majelis Hakim Diganti

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Pasca meninggalnya Serda Sahat Wira Sitorus anggota TNI yang meninggal diduga dianiaya pimpinannya, Kamaruddin Simanjuntak selaku kuasa hukumnya angkat bicara. Dia meminta agar Majelis hakim Pengadilan Militer Tinggi I Medan, yang mengadili perkara tersebut agar diganti karena dinilai tak kooperatif.

Hal itu dikatakannya karena pihaknya menilai, dalam persidangan ditemukan salah satu anggota Majelis hakim, diduga berpihak kepada terdakwa, yaitu Mayor Arh Gede Henry Widyastana.

Dugaan tersebut, dinilai karena adanya pertanyaan dari Majelis hakim yang memojokkan keluarga korban.

“Pertanyaan tersebut seakan-akan menyalahkan klien kami yang menanyakan kenapa anaknya dimasukkan kedalam tentara,” kata Kamaruddin, Kamis (19/1) malam.

Pihaknya juga telah melayangkan surat kepada Panglima TNI, Mahkamah Agung, Oditur Militer terkait sikap dari Majelis hakim tersebut.

“Supaya hakim yang bersangkutan segera diganti, karena tidak menunjukkan rasa simpati dan empati kepada klien kami,” tegasnya.

Hal tersebut dilakukan, agar peristiwa ini tidak terjadi lagi. Karena menurut dia, tidak zamannya lagi tentara harus disiksa, karena sistem peperangan dahulu dengan sekarang sudah berbeda.

Kamarudin juga menceritakan mengenai awal mula perkara penganiayaan hinggal meninggal dunia yang saat ini ditanganinya.

Pada tahun 2018, Presiden Joko Widodo melakukan kunjungan di Baganbatu, Kota Pekanbaru, yang memerlukan konsentrasi pengaman berlapis dari Polisi dan Tentara.

Dalam kegiatan itu, diduga tidak terdapat koordinasi yang baik dari Tentara, yang menyebabkan Tentaran yang melakukan penjagaan tidak kebagian makanan.

Kemudian, Serda Sahat, berinsiatif menyediakan minuman dan roti kepada rekan-rekannya. Namun, hal tersebut tidak mendapat respon baik dari pimpinannya yaitu Mayor Arh Gede Henry Widyastana.

Pimpanannya itu pun marah, karena melihat anggotanya tidak kebagian makanan. “Kemarahan itu diluapkan kepada Ibu dari korban yaitu klien kami,” kata Kamarudin.

Dirinya menjelaskan, kliennya itu adalah istri dari Danramil yang saat ini bertugas di Dumai. Lanjut diceritakan Pengacara Brigadir Josua ini, Tioma Tambunan selaku ibu dari korban, menceritakan hal tersebut kepada suaminya.

Lantas, ayah dari korban yaitu Kapten Hulman Sitorus memberitahu kan hal tersebut kepada Komandan Kodim. Lalu, lanjutnya, Komandan Kodim itu menegur Gede Henry. Akibatnya, diduga timbul rasa sakit hati dari Mayor Arh Gede Henry Widyastana.

“Kemudian, selang beberapa waktu saat adanya pelatihan di Denrudal 004 Dumai, kesempatan itu digunakan Gede untuk membalaskan dendamnya,” ucapnya.

Dalam peristiwa itu, diduga korban disiksa secara berlebihan selama masa orientasi atau pelatihan yang berujung pada kematiannya.

“Korban disiksa dengan cara ditenggelamkan, dihajar, dipaksa berlari, dipaksa berdiri, dan seterusnya,” beber pria asal Kecamatan Siborongborong itu.

“Penyiksaan itu sangat jahat dan kejam menurut informasi yang kami peroleh,” tambahnya.

Kemudian, dari tahun 2018 sampai 2022, tidak ada tindakan yang tegas dari institusi untuk menindak pelaku. Dalam peristiwa ini, pihaknya menilai pembunuhan ini ialah pembunuhan berencana.

“Saat dirumah sakit pun, dia tidak datang untuk menjenguk. Dia datang kerumah sakit tapi bukan untuk melihat korban, melainkan untuk bertanya ke dokter,” jelasnya.

Selesai bertemu dokter, jelasnya, pelaku menunjukkan wajah menantang ibu korban. “Masih ingat dengan saya?,” ucap Kamaruddin menurukan ucapan Gede.

“Itulah kami begitu yakin, pembunuhan itu berencana dan terstruktur. Oleh karena itu, tidak berlebihan kami apabila meminta kepada pimpinan TNI, bahwa yang seperti ini tidak layak berdinas di TNI, harus PTDH dan ditahan, karena kasihan nanti kalau muncul korban-korban lain,” tegasnya.

Sementara, Poltak Silitonga selaku tim kuasa hukum korban, mengatakan pihaknya meminta kepada Pengadilan Tinggi Militer I Medan, agar terdakwa ditahan.

“Alasan kami, kami takut dia (terdakwa) bisa mempengaruhi saksi-saksi yang lain untuk memberikan keterangan tidak benar. Kami juga menduga, adanya deal-deal yang tidak patuh secara hukum untuk membebaskan terdakwa dari pertanggungjawaban hukum,” tukasnya. (man)

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Pasca meninggalnya Serda Sahat Wira Sitorus anggota TNI yang meninggal diduga dianiaya pimpinannya, Kamaruddin Simanjuntak selaku kuasa hukumnya angkat bicara. Dia meminta agar Majelis hakim Pengadilan Militer Tinggi I Medan, yang mengadili perkara tersebut agar diganti karena dinilai tak kooperatif.

Hal itu dikatakannya karena pihaknya menilai, dalam persidangan ditemukan salah satu anggota Majelis hakim, diduga berpihak kepada terdakwa, yaitu Mayor Arh Gede Henry Widyastana.

Dugaan tersebut, dinilai karena adanya pertanyaan dari Majelis hakim yang memojokkan keluarga korban.

“Pertanyaan tersebut seakan-akan menyalahkan klien kami yang menanyakan kenapa anaknya dimasukkan kedalam tentara,” kata Kamaruddin, Kamis (19/1) malam.

Pihaknya juga telah melayangkan surat kepada Panglima TNI, Mahkamah Agung, Oditur Militer terkait sikap dari Majelis hakim tersebut.

“Supaya hakim yang bersangkutan segera diganti, karena tidak menunjukkan rasa simpati dan empati kepada klien kami,” tegasnya.

Hal tersebut dilakukan, agar peristiwa ini tidak terjadi lagi. Karena menurut dia, tidak zamannya lagi tentara harus disiksa, karena sistem peperangan dahulu dengan sekarang sudah berbeda.

Kamarudin juga menceritakan mengenai awal mula perkara penganiayaan hinggal meninggal dunia yang saat ini ditanganinya.

Pada tahun 2018, Presiden Joko Widodo melakukan kunjungan di Baganbatu, Kota Pekanbaru, yang memerlukan konsentrasi pengaman berlapis dari Polisi dan Tentara.

Dalam kegiatan itu, diduga tidak terdapat koordinasi yang baik dari Tentara, yang menyebabkan Tentaran yang melakukan penjagaan tidak kebagian makanan.

Kemudian, Serda Sahat, berinsiatif menyediakan minuman dan roti kepada rekan-rekannya. Namun, hal tersebut tidak mendapat respon baik dari pimpinannya yaitu Mayor Arh Gede Henry Widyastana.

Pimpanannya itu pun marah, karena melihat anggotanya tidak kebagian makanan. “Kemarahan itu diluapkan kepada Ibu dari korban yaitu klien kami,” kata Kamarudin.

Dirinya menjelaskan, kliennya itu adalah istri dari Danramil yang saat ini bertugas di Dumai. Lanjut diceritakan Pengacara Brigadir Josua ini, Tioma Tambunan selaku ibu dari korban, menceritakan hal tersebut kepada suaminya.

Lantas, ayah dari korban yaitu Kapten Hulman Sitorus memberitahu kan hal tersebut kepada Komandan Kodim. Lalu, lanjutnya, Komandan Kodim itu menegur Gede Henry. Akibatnya, diduga timbul rasa sakit hati dari Mayor Arh Gede Henry Widyastana.

“Kemudian, selang beberapa waktu saat adanya pelatihan di Denrudal 004 Dumai, kesempatan itu digunakan Gede untuk membalaskan dendamnya,” ucapnya.

Dalam peristiwa itu, diduga korban disiksa secara berlebihan selama masa orientasi atau pelatihan yang berujung pada kematiannya.

“Korban disiksa dengan cara ditenggelamkan, dihajar, dipaksa berlari, dipaksa berdiri, dan seterusnya,” beber pria asal Kecamatan Siborongborong itu.

“Penyiksaan itu sangat jahat dan kejam menurut informasi yang kami peroleh,” tambahnya.

Kemudian, dari tahun 2018 sampai 2022, tidak ada tindakan yang tegas dari institusi untuk menindak pelaku. Dalam peristiwa ini, pihaknya menilai pembunuhan ini ialah pembunuhan berencana.

“Saat dirumah sakit pun, dia tidak datang untuk menjenguk. Dia datang kerumah sakit tapi bukan untuk melihat korban, melainkan untuk bertanya ke dokter,” jelasnya.

Selesai bertemu dokter, jelasnya, pelaku menunjukkan wajah menantang ibu korban. “Masih ingat dengan saya?,” ucap Kamaruddin menurukan ucapan Gede.

“Itulah kami begitu yakin, pembunuhan itu berencana dan terstruktur. Oleh karena itu, tidak berlebihan kami apabila meminta kepada pimpinan TNI, bahwa yang seperti ini tidak layak berdinas di TNI, harus PTDH dan ditahan, karena kasihan nanti kalau muncul korban-korban lain,” tegasnya.

Sementara, Poltak Silitonga selaku tim kuasa hukum korban, mengatakan pihaknya meminta kepada Pengadilan Tinggi Militer I Medan, agar terdakwa ditahan.

“Alasan kami, kami takut dia (terdakwa) bisa mempengaruhi saksi-saksi yang lain untuk memberikan keterangan tidak benar. Kami juga menduga, adanya deal-deal yang tidak patuh secara hukum untuk membebaskan terdakwa dari pertanggungjawaban hukum,” tukasnya. (man)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/