TEBING TINGGI–Kata pemulung identik dengan pencari barang-barang bekas. Kehidupannya pun jadi kotor dan penuh bakteri. Namun, siapa duga kalau mereka bisa dijadikan pahlawan bagi keberlangsungan bumi ini. Buktinya, apa yang mereka kutip adalah sampah rumah tangga berupa bahan-bahan plastik yang kalau dibuang ke tanah tidak bisa terurai dengan tanah sampai ratusan tahun.
Sayangnya, beberapa pemulung malah tidak begitu mengerti dengan apa yang telah mereka lakukan untuk bumi ini. Setidaknya, ini adalah pengakuan pasangan suami istri, R Hutabarat (37) dan K Br Lubis (32) yang dikunjungi Sumut Pos, Minggu (13/2). Ya, pasangan yang tinggal di Jalan Baja, Lingkungan II, Kelurahan Damar Sari, Kecamatan Padang Hilir, Kota Tebing Tinggi ini sudah lima tahun menjalani hidup sebagai pemulung. “Kami hanya mencari sesuap nasi. Kebetulan nafkah kami berasal dari sampah plastik yang tidak bisa terurai dengan tanah sampai ratusan tahun,” ujar K Br Lubis.
Diakui oleh K Br Lubis, plastik yang dikumpulkan banyak dari warga dengan sengaja mencari-cari di lubang-lubang sampah dan juga di tempat pembuangan akhir (TPA) sampah. Lanjutnya, ada sebanyak 16o jenis plastik yang tak bisa mengurai dengan tanah. “Bahkan tanah tersebut apabila ditanami tanaman akan mati atau tumbuh tapi tidak subur,” kata Br Lubis lagi.
Sementara itu suaminya , R Hutabarat mengatakan sampah plastik tersebut setelah dicuci bersih kemudiaan dijemur, lalu dipisahkan menurut jenisnya. Setelah dipisahkan dan dimasukan ke karung atau goni masing-masing baru dijual kepada agen yang berada di Medan.
Dari satu kilo plastik kering, mereka akan mendapat bayaran Rp2800. “Tanpa ada pemulung plastik, maka kota tidak akan bersih dari sampah rumah tangga yang tidak bisa terurai dengan tanah seperti plastik ini,” tegas Hutabarat. (mag-3)