30 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Berpikir Plagiatisme di Warung Bubur Ayam Cirebon

Oleh: Ramadhan Batubara

Jangan pakai kacang. Tolong beri lada yang banyak. Dua kalimat ini saya lontarkan pada penjual bubur ayam ala Cirebon yang ada di seputaran Museum Sumatera Utara. Ya, saya memang butuh bubur akibat fisik yang tidak fit.

Sang penjual pun sigap. Tak sampai lima menit, pesanan saya sudah ada di depan mata. Mangkuk putih yang diberikannya penuh dengan kerupuk berwarna merah. Menggoda. Saya aduk dan satu persatu suapan saya nikmati.

Sayang, lidah memang sedang tidak siap mengecap rasa. Bubur yang biasanya nikmat terasa hambar. Saya tambahi sambal, tidak lupa kecapnya. Fiuh tetap saja.

Lalu, saya lihat ada sate kerang (kalau makanan ini jelas khas Medan). Saya ambil satu tusuk. Saya campur dengan bubur yang sudah berwarna kecoklatan itu. Akibatnya, bubur berubah warna lagi; agak kemerahan. Sumpah, saya berharap akan ada rasa berbeda setelah saya makan itu. Tapi, sekali lagi, sayang. Bubur itu tetap saja hambar.

Nyaris putus asa, saya pun memesan teh manis hangat. Entahlah, saya hanya berharap pada rasa. Dengan kata lain, jika tak dapat asin dan pedas, kenapa tak coba manis?

Rupanya, setelah menunggu sekira sepuluh menit —setelah minuman itu hadir— rasa bisa saya rasakan. Manis memenuhi lidah, bahkan sampai ke kulit bibir. Nikmat.

Saya sendokan lagi bubur ayam itu. Tergigit oleh saya daun bawang dan bawang gorengnya. Tidak menunjukkan rasa luar biasa, memang, tapi cukuplah menambah semangat makan. Ya, perut harus terisi agar obat bisa diminum.

Tapi, harus saya katakan, cukup lama saya harus menghabiskan semangkuk bubur ayam itu. Selain soal rasa yang penuh dengan hambar, pikiran saya juga terbelah. Ini semua karena Sumut Pos edisi pekan lalu mengalami kecelakaan. Tepatnya di halaman sastra di rubrik puisi.

Begitulah, ada puisi yang begitu mirip dengan karya Kahlil Gibran. Ceritanya, puisi itu tentang anak. Nah, ketika ada penikmat sastra yang mengingatkan saya tentang hal itu, saya shock. Ini tentunya sebuah pukulan bagi saya. Ya dengan kata lain, kenapa puisi karya anak Medan yang begitu mirip dengan karya penyair Lebanon itu bisa lolos.

Sempat saya berusaha membela diri (tentunya dalam hati) dan mengatakan kalau dalam dunia sastra ada istilah yang namanya hipogram. Artinya, karya sastra bisa muncul karena ada keterikatan dengan karya sebelumnya.

Dengan kata lain, bisa saja puisi anak Medan itu berlandaskan teori tersebut. Tapi, setelah terbit dan saya perhatikan dengan seksama, ternyata sulit juga diterima. Malah, ini menjurus plagiat.

Saya coba membela diri lagi. Saya katakan pada diri saya: puisi itu tercipta karena terinspirasi secara berlebihan. Tapi, kalimat khas milik Kahlil begitu telanjang dipindahkan oleh anak Medan itu. Dia hanya mengganti persona ‘mu’ pada Kahlil menjadi ‘ku’ pada sajaknya. Fiuh.

Satu lagi yang membuat saya shock, sajak Kahlil tentang anak sudah sering kali saya kutip untuk lantun. Tapi, kenapa ketika meloloskan sajak karya anak Medan itu saya seperti lupa ingatan? Apakah ini karena saya terlalu percaya pada mereka yang mengirimkan karya? Entahlah…

Saya harus akui, soal plagiatisme memang sangat sulit dilawan. Cukup banyak kasus yang telah terjadi. Beberapa redaktur lain pun telah jadi korban. Kali ini mungkin giliran saya. Ya, saya terima itu. Seperti saat ini, saya sedang makan bubur ayam Cirebon. Pertanyaannya, mungkinkah yang saya makan ini juga buah dari plagiatisme?

Maksud saya begini, bubur yang terasa hambar karena lidah saya lagi malas mengecap rasa kan katanya berasal dari Cirebon? Nah, mungkinkah bubur ini jiplakan dari bubur asli Cirebon yang terkenal itu? Sulit juga saya ambil kesimpulan, masalahnya ini sangat luas. Apalagi, soal makanan yang berlabel daerah cenderung tidak dipatenkan. Dia merupakan produk massal. Tercipta melalui proses panjang. Jadi, siapapun bisa mengklaim. Ayolah, berapa rumah makan Padang di Jawa sana yang pemiliknya bukan orang Minang?

Persis dengan warung bubur ayam Cirebon, beberapa langkah dari tempat saya makan ini ada juga warung bubur ayam: namanya warung bubur ayam Jakarta. Hahahahaha.

Tapi begitulah, selain fisik tidak fit, bubur ayam makin tak nikmat karena masalah plagiat memang menghantui saya. Saya kecewa dengan diri saya sendiri. Saya kecewa dengan ‘penyair’ yang saya percayai. Dan, saya ingin Anda masih percaya dengan koran ini. Itu saja. (*)

Oleh: Ramadhan Batubara

Jangan pakai kacang. Tolong beri lada yang banyak. Dua kalimat ini saya lontarkan pada penjual bubur ayam ala Cirebon yang ada di seputaran Museum Sumatera Utara. Ya, saya memang butuh bubur akibat fisik yang tidak fit.

Sang penjual pun sigap. Tak sampai lima menit, pesanan saya sudah ada di depan mata. Mangkuk putih yang diberikannya penuh dengan kerupuk berwarna merah. Menggoda. Saya aduk dan satu persatu suapan saya nikmati.

Sayang, lidah memang sedang tidak siap mengecap rasa. Bubur yang biasanya nikmat terasa hambar. Saya tambahi sambal, tidak lupa kecapnya. Fiuh tetap saja.

Lalu, saya lihat ada sate kerang (kalau makanan ini jelas khas Medan). Saya ambil satu tusuk. Saya campur dengan bubur yang sudah berwarna kecoklatan itu. Akibatnya, bubur berubah warna lagi; agak kemerahan. Sumpah, saya berharap akan ada rasa berbeda setelah saya makan itu. Tapi, sekali lagi, sayang. Bubur itu tetap saja hambar.

Nyaris putus asa, saya pun memesan teh manis hangat. Entahlah, saya hanya berharap pada rasa. Dengan kata lain, jika tak dapat asin dan pedas, kenapa tak coba manis?

Rupanya, setelah menunggu sekira sepuluh menit —setelah minuman itu hadir— rasa bisa saya rasakan. Manis memenuhi lidah, bahkan sampai ke kulit bibir. Nikmat.

Saya sendokan lagi bubur ayam itu. Tergigit oleh saya daun bawang dan bawang gorengnya. Tidak menunjukkan rasa luar biasa, memang, tapi cukuplah menambah semangat makan. Ya, perut harus terisi agar obat bisa diminum.

Tapi, harus saya katakan, cukup lama saya harus menghabiskan semangkuk bubur ayam itu. Selain soal rasa yang penuh dengan hambar, pikiran saya juga terbelah. Ini semua karena Sumut Pos edisi pekan lalu mengalami kecelakaan. Tepatnya di halaman sastra di rubrik puisi.

Begitulah, ada puisi yang begitu mirip dengan karya Kahlil Gibran. Ceritanya, puisi itu tentang anak. Nah, ketika ada penikmat sastra yang mengingatkan saya tentang hal itu, saya shock. Ini tentunya sebuah pukulan bagi saya. Ya dengan kata lain, kenapa puisi karya anak Medan yang begitu mirip dengan karya penyair Lebanon itu bisa lolos.

Sempat saya berusaha membela diri (tentunya dalam hati) dan mengatakan kalau dalam dunia sastra ada istilah yang namanya hipogram. Artinya, karya sastra bisa muncul karena ada keterikatan dengan karya sebelumnya.

Dengan kata lain, bisa saja puisi anak Medan itu berlandaskan teori tersebut. Tapi, setelah terbit dan saya perhatikan dengan seksama, ternyata sulit juga diterima. Malah, ini menjurus plagiat.

Saya coba membela diri lagi. Saya katakan pada diri saya: puisi itu tercipta karena terinspirasi secara berlebihan. Tapi, kalimat khas milik Kahlil begitu telanjang dipindahkan oleh anak Medan itu. Dia hanya mengganti persona ‘mu’ pada Kahlil menjadi ‘ku’ pada sajaknya. Fiuh.

Satu lagi yang membuat saya shock, sajak Kahlil tentang anak sudah sering kali saya kutip untuk lantun. Tapi, kenapa ketika meloloskan sajak karya anak Medan itu saya seperti lupa ingatan? Apakah ini karena saya terlalu percaya pada mereka yang mengirimkan karya? Entahlah…

Saya harus akui, soal plagiatisme memang sangat sulit dilawan. Cukup banyak kasus yang telah terjadi. Beberapa redaktur lain pun telah jadi korban. Kali ini mungkin giliran saya. Ya, saya terima itu. Seperti saat ini, saya sedang makan bubur ayam Cirebon. Pertanyaannya, mungkinkah yang saya makan ini juga buah dari plagiatisme?

Maksud saya begini, bubur yang terasa hambar karena lidah saya lagi malas mengecap rasa kan katanya berasal dari Cirebon? Nah, mungkinkah bubur ini jiplakan dari bubur asli Cirebon yang terkenal itu? Sulit juga saya ambil kesimpulan, masalahnya ini sangat luas. Apalagi, soal makanan yang berlabel daerah cenderung tidak dipatenkan. Dia merupakan produk massal. Tercipta melalui proses panjang. Jadi, siapapun bisa mengklaim. Ayolah, berapa rumah makan Padang di Jawa sana yang pemiliknya bukan orang Minang?

Persis dengan warung bubur ayam Cirebon, beberapa langkah dari tempat saya makan ini ada juga warung bubur ayam: namanya warung bubur ayam Jakarta. Hahahahaha.

Tapi begitulah, selain fisik tidak fit, bubur ayam makin tak nikmat karena masalah plagiat memang menghantui saya. Saya kecewa dengan diri saya sendiri. Saya kecewa dengan ‘penyair’ yang saya percayai. Dan, saya ingin Anda masih percaya dengan koran ini. Itu saja. (*)

Artikel Terkait

Mahasiswi Dirampok Wanita Hamil

Jalan Pintas dari Kualanamu

Karya dan Kamar Mandi

Ya atau Tidak Sama Saja …

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/