Herdiansyah
Wakil Pemimpin Redaksi Sumut Pos
Gundul-gundul pacul. Nyaris tak ada yang tak kenal dengan lagu itu. Lirik yang pendek dengan irama riang membuatnya cepat lekat di ingatan. Tak heran, orang yang tak mengerti bahasa Jawa pun cepat akrab dengan lagu ini.
Meski demikian, tak banyak yang mengetahui kandungan filosofis lagu ini plus siapa penciptanya. Padahal lirik-liriknya meskipun ringkas, menyimpan banyak pesan. Tak cuma untuk para pemimpin, lagu ini juga membawa pesan untuk rakyat kecil dalam memilih pemimpinnya.
Lirik lagu yang diciptakan Raden Syahid (Sunan Kalijaga) pada abad ke-14 itu sangat pas dengan kondisi kekinian di Sumut. Saat bursa cagubsu Pilgub 2013 mulai memanas. Saat masing-masing tokoh mengaku paling layak memimpin provinsi ini. Dan, saat masyarakat bingung melihat narsisnya para tokoh itu.
Memilih dan dipilih adalah hak semua warga negara. Tapi melupakan filosofi Gundul Pacul, membuat semuanya jadi absurd, walau tak cuma Gundul Pacul-nya Sunan Kalijaga yang paling baik. Namun nyayian protes terhadap karut-marutnya kondisi politik dan sosial di akhir kejayaan kerajaan Majapahit saat itu layak jadi renungan dan masukan. Tak lekang dimakan zaman.
Gundul dalam bahasa Jawa adalah style kepala pelontos, tanpa rambut. Kepala adalah lambang kehormatan, kemuliaan setiap orang. Rambut adalah mahkota lambang keindahan kepala. Jadi gundul adalah kehormatan tanpa mahkota. Pacul dalam bahasa Jawa adalah cangkul, yaitu alat petani yang terbuat dari lempeng besi segi empat. Jadi pacul adalah lambang kawula rendah (orang kebanyakan).
Gundul pacul memiliki makna bahwa seorang pemimpin bukan orang yang diberi mahkota, tapi pembawa pacul (cangkul) untuk mencangkul, mengupayakan kesejahteraan bagi rakyatnya. Orang Jawa memaknai pacul Papat Kang Ucul (empat yang lepas). Intinya, kemuliaan seseorang tergantung pada empat hal. Yaitu, bagaimana menggunakan mata, hidung, telinga, dan mulutnya.
Mata digunakan untuk melihat kesulitan rakyat, telinga digunakan untuk mendengar nasihat, hidung digunakan untuk mencium kebaikan, mulut digunakan untuk berkata adil. Jika empat hal itu lepas, maka lepaslah kehormatannya. Gembelengan berarti besar kepala, sombong dan bermain-main dalam menggunakan kehormatannya.
Artinya orang yang kepalanya sudah kehilangan empat indera itu mengakibatkan gembelengan. Nyunggi-nyunggi wakul bermakna menjunjung amanah rakyat. Sifat gembelengan mengakibatkan wakul ngglimpang. Wakul adalah wadah nasi, ngglimpang artinya jatuh. Jadi pemimpin yang gembelengan, amanahnya jatuh, tak bisa dipertahankan lagi.
Lirik terakhir Segane dadi sak latar, secara harfiah berarti nasi yang berada di dalam wakul akan tumpah berserakan. Maknanya, pemimpin yang gembelengan tak bisa dipilih atau dipertahankan. Pasalnya, bakal berantakan dan tak bermanfaat bagi kesejahteraan dan kemaslahatan rakyatnya.
Lantas, siapkah para tokoh yang mulai narsis itu siap jadi gundul pacul? (*)