Menikmati Becak Birmingham Small Arms di Pematangsiantar
Motor gede (moge) umumnya dipakai untuk gaya hidup di perkotaan. Namun, di Pematang Siantar, Sumatera Utara, motor bersilinder 500 cc itu dipakai sebagai becak. Wah, yang menumpang pasti puas karena cepat sampai dan terkesan keren.
DHIMAS GINANJAR, Pematangsiantar
KERINGAT mulai menetes dari dahi Putera (31) saat membersihkan busi mogenya yang kotor di pangkalan becak Jalan Merdeka, Pematang Siantar, Minggu lalu (15/4). Baju biru dongker yang dia kenakan mulai basah oleh keringat. Siang itu cuaca di Kota Pematangsiantar lumayan panas.
“Maklum, yang saya bawa motor tua,” ujar Putera lantas menyebut motornya yang keluaran 1948.
Di pangkalan becak tersebut yang ada hanya motor gede keluaran Inggris berlabel Birmingham Small Arms (BSA) dengann
silinder 350 cc dan 500 cc. Jumlahnya puluhan motor.
Meski masih tampak macho, karat tidak bisa disembunyikan di sejumlah titik bodinya. Ada perbaikan seadanya dengan las atau dempul hijau dan abu-abu untuk menutupi kerusakan moge tua itu. Kelengkapan motor seperti speedometer, pengukur bensin, spion, dan stang kemudinya juga sudah banyak yang berubah. “Umumnya sudah tidak orisinal lagi,” imbuh Putera.
Tak berapa lama muncul motor BSA merah dan kuning yang masih kinclong. Menurut Putera, kedua motor temannya itu baru selesai dicat ulang. Meski begitu, yang paling penting adalah kondisi mesin yang harus selalu prima. “Motor ini bukan untuk koleksi, tapi untuk cari makan. Jadi, mesinnya harus selalu oke,” jelas ketua becak BSA Pematang Siantar itu.
Agar tetap tampil prima, para pembecak harus bisa merawat mogenya sendiri. Pasalnya, tidak ada bengkel khusus yang menangani motor kuno tersebut. Apalagi, suku cadangnya juga langka. Karena itu, mau tak mau, pengbecak harus bisa mengutak-atik mesin, memodifikasi, bahkan menganibal suku cadang kendaraan lain yang cocok untuk BSA.
Yang paling banyak menjadi sasaran ‘kanibalisme’ adalah mobil Daihatsu Hijet atau Daihatsu Zebra. Bagian yang diambil kebanyakan piston karena yang paling sering rusak memang piston. Kebetulan suku cadang kedua kendaraan itu cocok untuk moge BSA.
Saat ini di Siantar mulai bermunculan bengkel motor yang mampu menciptakan onderdil sendiri. Tapi, kebanyakan bahan dasarnya milik kendaraan lain. Misalnya, karburator Kawasaki Binter dipermak agar cocok untuk BSA. Begitu juga aksesori seperti pelat tulisan BSA, knalpot, hingga velg.
Jawa Pos (grup Sumut Pos) sempat merasakan naik becak BSA tersebut. Tapi, tunggangan motor milik Putera terasa kurang nyaman. Dasaran tempat duduknya tanpa busa sehingga terasa keras. Posisi rem kakinya juga berkebalikan dengan rem kaki motor Jepang yang biasanya di kanan.
“Yang tidak biasa pasti tertukar dengan kopling,” terang bapak dua anak itu.
Begitu mesin dinyalakan, bunyi khas moge langsung menggelegar. Berisik, tapi asyik. Sebelum melenggang, jangan lupa mengenakan aksesori seperti jaket kulit dan helm untuk keselamatan. Tampak Army look. Menunggangi motor itu tak kalah keren dibanding naik motor berselinder sama keluaran terbaru.
Putera lantas mengajak Jawa Pos berkeliling kota. Penumpang duduk di kursi sebelah kiri belakang. Enak rasanya. Suspensinya masih empuk. Maklum, Putera menyediakan tempat duduk khusus seharga Rp1,5 juta, lengkap dengan pir di bawahnya.
Bentuk tempat penumpang itu mirip dengan bajaj. Selain tempat duduk yang pendek, ciri khas lain ada pada dindingnya. Tidak melengkung, tapi dibuat dari tiga bagian plastik fiber tebal. Sebab, bila tanpa dinding itu, saat motor digeber kencang penumpang bisa masuk angin.
Sembari mengelilingi kota, dia bercerita tentang awal mula munculnya becak BSA yang berkaitan dengan sejarah kemerdekaan. Ketika para penjajah minggat dari bumi pertiwi, motor-motor tersebut menjadi tidak bertuan. Berbagai sumber menyebut bahwa motor-motor itu banyak ditinggal di Surabaya dan Jakarta.
Seperti diketahui, BSA diproduksi perusahaan yang memasok amunisi dan senjata perang pada 1861, yakni Gunsmiths Grup. Perusahaan itu menjadi produsen motor BSA setelah dibeli Daimler pada 1910. Pemerintah Inggris menyiapkan motor BSA untuk kepentingan angkatan darat dalam Perang Dunia I.
Pada 1960-an para pejuang dari Kota Siantar membawa motor gede itu untuk ‘transmigrasi’ dari Jawa ke Sumatera Utara. Tapi, motor-motor itu lalu ditelantarkan begitu saja. Lama tidak dimanfaatkan. Apalagi, banyak onderdil yang sulit dicari di toko-toko suku cadang. Namun, pelan tapi pasti, motor-motor mangkrak itu satu per satu bisa ‘dihidupkan’ kembali.
Setelah dikumpulkan, ternyata jumlahnya lebih dari seribu motor di Siantar. Tapi, kini tinggal sekitar 200 unit yang bisa dimanfaatkan untuk becak di sudut-sudut kota.
Memang, jalanan di kota pimpinan Wali Kota Hulman Sitorus itu memiliki konfigurasi naik-turun dan tikungan tajam. Itulah sebabnya, pada awal-awal pembangunan Kota Siantar pascakemerdekaan dibutuhkan kendaraan berkekuatan besar. Dan, motor BSA dianggap paling cocok untuk mengarungi jalanan Kota Siantar yang berliku-liku itu.
Putera menjelaskan betapa bandelnya motor BSA. Bila dibandingkan dengan Norton yang juga keluaran Inggris dan BMW dari Jerman, BSA tidak kalah. Gardan kedua motor tersebut termasuk gampang rusak. Sedangkan motor Ariel Motorcycle, sistem pemompaan olinya mudah rusak. “Itu kalau di sini lho ya,” jelasnya.
Hingga kini motor BSA masih bisa diandalkan untuk mencari penghidupan bagi para pengbecak. Setiap hari seorang pembecak mampu mendapatkan penghasilan sekitar Rp300 ribu atau sedikitnya 10 penumpang. Pasalnya, tarif becak spesial itu minimal Rp30 ribu sekali jalan. Tarifnya juga bergantung pada jarak yang ditempuh.
“Lumayanlah bisa untuk menghidupi keluarga meski sederhana,” ujar Putera.
Kendati masih dibutuhkan masyarakat, keberadaan becak BSA makin terdesak. Bukan karena munculnya kendaraan becak lain yang menggunakan motor baru, tetapi godaan uang dari para kolektor. Sebab, ternyata banyak yang suka akan tongkrongan motor BSA. Bahkan, mereka bersedia membelinya dengan harga yang menggiurkan.
Kalau sudah begitu, Putera dan kawan-kawan hanya bisa melongo. Sebab, mereka tidak bisa melarang pemilik BSA menjualnya ke kolektor dan membawanya keluar Kota Siantar.
“Sekarang sudah berkurang banyak. Tinggal sekitar 200 motor yang beroperasi di Siantar,” paparnya.
Iming-iming harga tinggi sempat menggoda Abdi Pramono (39). Saat istrinya sakit dan harus opname di rumah sakit, motornya hampir dijual. Apalagi si calon pembeli memberi harga sampai Rp30 juta dengan kondisi seadanya. “Tapi, transaksi batal karena makelar minta imbalan yang tinggi,” ceritanya.
Padahal, bila Abdi bersedia menjual dengan harga Rp30 juta, untungnya berlipat-lipat. Sebab, dia membeli motor tersebut sepuluh tahun lalu hanya Rp4 juta. Selain itu, dia tidak ingin becak BSA yang khas Siantar hilang ditelan masa.
“Nanti tidak ada lagi cerita Indonesia punya becak 500 cc yang bisa digeber setara motor tunggangan Valentino Rossi di Moto GP,” ujar Abdi. (*)