27 C
Medan
Monday, October 28, 2024
spot_img

Dirikan Sekolah Monyet, Siswa Wajib Ngasong di Jalan

Zainal Abidin, Kembangkan Pelatihan Entrepreneurship dengan Cara Ekstrem

Pelatihan entrepreneurship kini dilakukan di mana-mana. Tapi, yang dikembangkan motivator Zainal Abidin cenderung ekstrem. Salah satu di antaranya, dia menyuruh peserta untuk menjadi pengasong di jalan-jalan. Banyak yang akhirnya menjadi pengusaha betulan setelah mengikuti kelas unik itu.

Suasana workshop Zainal Abidin di Jalan Pasar Minggu kemarin (18/4)  tampak ramai. Sejumlah anak muda memadati barisan kios yang menghadap ke Gang Potlot, markas grup band Slank. Zainal yang akrab disapa Bang Jay Teroris itu terlihat sedang mengarahkan beberapa peserta workshop yang sibuk membuat kerajinan tangan seperti tas, poster, dan stiker.
“Bikin usaha itu jangan cengeng. Ada masalah dikit putus asa, ada masalah dikit langsung keluar?” kata Jay kepada salah seorang peserta pelatihan entrepreneurship Bayu Kertapati.

Gaya Jay memang keras. Dia tidak mau calon pengusaha didikannya menjadi cengeng dan manja. Mereka harus fight menghadapi semua kesulitan usaha dengan gagah dan berani Karena gayanya yang keras dan ekstrem itu, banyak siswanya yang mengeluh. Anehnya, meski merasa mangkel, mereka tetap bersedia menimba ilmu kepada lelaki 43 tahun itu.

Yang unik, sekolah itu diberi nama oleh Jay dengan Sekolah Monyet. Nama tersebut merupakan sindiran kepada para pengangguran dan orang-orang yang tak kunjung mau berusaha. “Monyet aja bisa cari duit, masak kita tidak bisa,” katanya.

Di Sekolah Monyet, metode pelatihannya sangat keras. Setiap peserta tidak boleh manja. Mereka harus benar-benar serius seperti mencari duit adalah persoalan hidup dan mati. Sebelum ikut pelatihan, mereka harus teken kontrak di atas meterai. Kontrak itu menyatakan bahwa mereka harus menuruti perintah mentor tanpa bertanya. Mereka juga harus menyertakan surat tidak keberatan yang ditandatangani orangtua atau suami/istri.

Bayu Kertapati merasakan betul bagaimana metode Jay yang keras itu. Suatu ketika Bayu dan tujuh siswa yang lain dibawa ke Jogjakarta. Mereka diberi waktu tiga hari untuk kembali ke Jakarta bagaimanapun caranya. Padahal, dia tidak boleh membawa uang. Mereka hanya dimodali masing-masing satu botol air mineral kemasan 500 mililiter dan sebungkus mi instan.

Bayu yang saat itu bingung memutuskan pergi ke kawasan Malioboro. Kebetulan, dia bisa berbahasa Inggris meski pas-pasan. Air mineral yang harga benderolnya Rp1.500 dia jual Rp5 ribu kepada wisatawan asing. Uangnya kemudian dia gunakan untuk kulakan air mineral lagi dan dijual kembali kepada turis asing sampai terkumpul uang lumayan banyak.

“Saya lupa dapat berapa. Yang jelas, sebagian saya pakai untuk ‘hidup’ di Jogja, sebagian untuk modal pulang ke Jakarta,” cerita pemuda 23 tahun itu.

Hari kedua, Bayu tidak berjualan air mineral lagi. Tapi, dia diterima menjadi tukang cuci piring di sebuah restoran hotel di dekat Malioboro. Lumayan. Dalam dua kali sif, uang yang dia dapat sudah cukup untuk membeli tiket kereta pulang ke Jakarta.
“Saya benar-benar beruntung mendapat pekerjaan itu,” kata Bayu, lantas tersenyum.

Metode pelatihan Jay tidak berhenti sampai di situ. Dia terus mendampingi anak didiknya sampai bisnis mereka berjalan stabil. Jay juga membawa mereka untuk bersilaturahmi ke begawan bisnis Indonesia, Bob Sadino. Delapan siswa tersebut kini memiliki bisnis sendiri-sendiri. Ada yang membuka usaha makanan di Kalimantan, bahkan ada yang mulai bisnis properti di Jakarta.

Jay menegaskan, melatih berwirausaha tidak cukup dengan seminar dan sekadar kata-kata motivasi. Harus dengan melakukan praktik langsung yang ‘berdarah-darah’. Karena itu, dia selalu mengawali pelatihannya dengan menyuruh peserta berjualan air mineral. “Istilahnya ngasong,” katanya.

Metode tersebut awalnya dia praktikkan saat memimpin Institut Kemandirian yang dikelola Dompet Dhuafa pada 2005-2011. Dia menyuruh para pengangguran berjualan air mineral. Margin dari berjualan air mineral itu lalu disimpan untuk modal. Praktik tersebut dilakukan berulang-ulang hingga modal mulai membesar. Baru setelah itu mereka berpindah ke bisnis yang lain.

Suami Utari Widowati itu menambahkan, berjualan air mineral sangat bermanfaat untuk memutus urat malu calon pengusaha. Padahal, rasa malu merupakan hambatan besar seseorang saat memulai usaha. Di jalanan, pengangguran yang dia latih mungkin bertemu dengan tetangga, teman, bahkan calon mertua.

“Awalnya mereka kikuk, tapi lama-lama terbiasa. Yang ketemu calon mertua akhirnya malah menjadi mertua beneran karena buktinya dia sudah bisa cari duit,” kata lulusan Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Jawa Tengah, itu.
Jay memang dikenal keras mendidik calon pengusaha. Bahkan, sebutan ‘teroris’ yang disematkan di belakang nama panggilannya bukan tanpa alasan.

Julukan tersebut diberikan kepada lelaki subur itu karena dia selalu ‘meneror’ murid-muridnya dengan pertanyaan-pertanyaan sengit. Misalnya, kapan bikin usaha? Kapan resign dari pekerjaan? Atau, ‘teror-teror’ pertanyaan lain. Baik dengan menelepon maupun bertemu langsung dengan siswa. “Bangsa ini sudah kebal dari kata-kata inspirasi. Sudah kebal dari kata-kata motivasi. Kita butuh teror mental,” tegasnya.

Gaya Jay yang ekstrem itu ada sejarahnya. Pada 2005, dia sempat berguru ilmu wirausaha di sebuah kota di Provinsi Surat Thani, Thailand. Di desa kecil sekitar 5-6 jam dari Bangkok itu, Jay menghabiskan waktu mengamati tempat monyet dilatih bekerja. Tidak tanggung-tanggung, selama dua bulan dia mengamati sekolah tersebut.

Di sekolah itu monyet-monyet diajari mencari duit. Yang paling sederhana ialah bekerja sebagai pemetik kelapa. Mamalia yang gemar bergelantungan itu diajari memanjat pohon kelapa, kemudian membedakan kelapa tua dan kelapa muda. Kelapa yang sudah tua dipetik untuk kemudian dijual ke pedagang.

Jay memperhatikan betul bagaimana monyet-monyet itu dilatih. Untuk membedakan kelapa muda dan tua, misalnya, mereka harus mengocok kelapa terlebih dahulu. Kalau tidak ada suaranya, berarti kelapa masih muda. Kalau terdengar kecipak air, berarti kelapa sudah tua dan bisa dipetik.

Dari situ bapak satu anak itu mengambil kesimpulan bahwa melatih binatang cuma dengan menggunakan satu kunci. Yakni, kedisiplinan. Usia berapa pun monyet itu mulai dilatih yang penting mereka melakukan secara berulang dan terus-menerus.
“Itulah yang kemudian saya bawa ke Indonesia untuk melatih para pengangguran,” katanya bersemangat. (*)

Zainal Abidin, Kembangkan Pelatihan Entrepreneurship dengan Cara Ekstrem

Pelatihan entrepreneurship kini dilakukan di mana-mana. Tapi, yang dikembangkan motivator Zainal Abidin cenderung ekstrem. Salah satu di antaranya, dia menyuruh peserta untuk menjadi pengasong di jalan-jalan. Banyak yang akhirnya menjadi pengusaha betulan setelah mengikuti kelas unik itu.

Suasana workshop Zainal Abidin di Jalan Pasar Minggu kemarin (18/4)  tampak ramai. Sejumlah anak muda memadati barisan kios yang menghadap ke Gang Potlot, markas grup band Slank. Zainal yang akrab disapa Bang Jay Teroris itu terlihat sedang mengarahkan beberapa peserta workshop yang sibuk membuat kerajinan tangan seperti tas, poster, dan stiker.
“Bikin usaha itu jangan cengeng. Ada masalah dikit putus asa, ada masalah dikit langsung keluar?” kata Jay kepada salah seorang peserta pelatihan entrepreneurship Bayu Kertapati.

Gaya Jay memang keras. Dia tidak mau calon pengusaha didikannya menjadi cengeng dan manja. Mereka harus fight menghadapi semua kesulitan usaha dengan gagah dan berani Karena gayanya yang keras dan ekstrem itu, banyak siswanya yang mengeluh. Anehnya, meski merasa mangkel, mereka tetap bersedia menimba ilmu kepada lelaki 43 tahun itu.

Yang unik, sekolah itu diberi nama oleh Jay dengan Sekolah Monyet. Nama tersebut merupakan sindiran kepada para pengangguran dan orang-orang yang tak kunjung mau berusaha. “Monyet aja bisa cari duit, masak kita tidak bisa,” katanya.

Di Sekolah Monyet, metode pelatihannya sangat keras. Setiap peserta tidak boleh manja. Mereka harus benar-benar serius seperti mencari duit adalah persoalan hidup dan mati. Sebelum ikut pelatihan, mereka harus teken kontrak di atas meterai. Kontrak itu menyatakan bahwa mereka harus menuruti perintah mentor tanpa bertanya. Mereka juga harus menyertakan surat tidak keberatan yang ditandatangani orangtua atau suami/istri.

Bayu Kertapati merasakan betul bagaimana metode Jay yang keras itu. Suatu ketika Bayu dan tujuh siswa yang lain dibawa ke Jogjakarta. Mereka diberi waktu tiga hari untuk kembali ke Jakarta bagaimanapun caranya. Padahal, dia tidak boleh membawa uang. Mereka hanya dimodali masing-masing satu botol air mineral kemasan 500 mililiter dan sebungkus mi instan.

Bayu yang saat itu bingung memutuskan pergi ke kawasan Malioboro. Kebetulan, dia bisa berbahasa Inggris meski pas-pasan. Air mineral yang harga benderolnya Rp1.500 dia jual Rp5 ribu kepada wisatawan asing. Uangnya kemudian dia gunakan untuk kulakan air mineral lagi dan dijual kembali kepada turis asing sampai terkumpul uang lumayan banyak.

“Saya lupa dapat berapa. Yang jelas, sebagian saya pakai untuk ‘hidup’ di Jogja, sebagian untuk modal pulang ke Jakarta,” cerita pemuda 23 tahun itu.

Hari kedua, Bayu tidak berjualan air mineral lagi. Tapi, dia diterima menjadi tukang cuci piring di sebuah restoran hotel di dekat Malioboro. Lumayan. Dalam dua kali sif, uang yang dia dapat sudah cukup untuk membeli tiket kereta pulang ke Jakarta.
“Saya benar-benar beruntung mendapat pekerjaan itu,” kata Bayu, lantas tersenyum.

Metode pelatihan Jay tidak berhenti sampai di situ. Dia terus mendampingi anak didiknya sampai bisnis mereka berjalan stabil. Jay juga membawa mereka untuk bersilaturahmi ke begawan bisnis Indonesia, Bob Sadino. Delapan siswa tersebut kini memiliki bisnis sendiri-sendiri. Ada yang membuka usaha makanan di Kalimantan, bahkan ada yang mulai bisnis properti di Jakarta.

Jay menegaskan, melatih berwirausaha tidak cukup dengan seminar dan sekadar kata-kata motivasi. Harus dengan melakukan praktik langsung yang ‘berdarah-darah’. Karena itu, dia selalu mengawali pelatihannya dengan menyuruh peserta berjualan air mineral. “Istilahnya ngasong,” katanya.

Metode tersebut awalnya dia praktikkan saat memimpin Institut Kemandirian yang dikelola Dompet Dhuafa pada 2005-2011. Dia menyuruh para pengangguran berjualan air mineral. Margin dari berjualan air mineral itu lalu disimpan untuk modal. Praktik tersebut dilakukan berulang-ulang hingga modal mulai membesar. Baru setelah itu mereka berpindah ke bisnis yang lain.

Suami Utari Widowati itu menambahkan, berjualan air mineral sangat bermanfaat untuk memutus urat malu calon pengusaha. Padahal, rasa malu merupakan hambatan besar seseorang saat memulai usaha. Di jalanan, pengangguran yang dia latih mungkin bertemu dengan tetangga, teman, bahkan calon mertua.

“Awalnya mereka kikuk, tapi lama-lama terbiasa. Yang ketemu calon mertua akhirnya malah menjadi mertua beneran karena buktinya dia sudah bisa cari duit,” kata lulusan Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Jawa Tengah, itu.
Jay memang dikenal keras mendidik calon pengusaha. Bahkan, sebutan ‘teroris’ yang disematkan di belakang nama panggilannya bukan tanpa alasan.

Julukan tersebut diberikan kepada lelaki subur itu karena dia selalu ‘meneror’ murid-muridnya dengan pertanyaan-pertanyaan sengit. Misalnya, kapan bikin usaha? Kapan resign dari pekerjaan? Atau, ‘teror-teror’ pertanyaan lain. Baik dengan menelepon maupun bertemu langsung dengan siswa. “Bangsa ini sudah kebal dari kata-kata inspirasi. Sudah kebal dari kata-kata motivasi. Kita butuh teror mental,” tegasnya.

Gaya Jay yang ekstrem itu ada sejarahnya. Pada 2005, dia sempat berguru ilmu wirausaha di sebuah kota di Provinsi Surat Thani, Thailand. Di desa kecil sekitar 5-6 jam dari Bangkok itu, Jay menghabiskan waktu mengamati tempat monyet dilatih bekerja. Tidak tanggung-tanggung, selama dua bulan dia mengamati sekolah tersebut.

Di sekolah itu monyet-monyet diajari mencari duit. Yang paling sederhana ialah bekerja sebagai pemetik kelapa. Mamalia yang gemar bergelantungan itu diajari memanjat pohon kelapa, kemudian membedakan kelapa tua dan kelapa muda. Kelapa yang sudah tua dipetik untuk kemudian dijual ke pedagang.

Jay memperhatikan betul bagaimana monyet-monyet itu dilatih. Untuk membedakan kelapa muda dan tua, misalnya, mereka harus mengocok kelapa terlebih dahulu. Kalau tidak ada suaranya, berarti kelapa masih muda. Kalau terdengar kecipak air, berarti kelapa sudah tua dan bisa dipetik.

Dari situ bapak satu anak itu mengambil kesimpulan bahwa melatih binatang cuma dengan menggunakan satu kunci. Yakni, kedisiplinan. Usia berapa pun monyet itu mulai dilatih yang penting mereka melakukan secara berulang dan terus-menerus.
“Itulah yang kemudian saya bawa ke Indonesia untuk melatih para pengangguran,” katanya bersemangat. (*)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/