25 C
Medan
Saturday, September 28, 2024

Ancaman Senpi di Sekitar Kita

Komplotan perampok bersenjata api (senpi) berhasil dibekuk pihak Poldasu. Seorang anggota mereka ditangkap di Labuhanbatu, Minggu (6/5) lalu. Kejadian ini seakan menegaskan penggunaan senpi ilegal begitu marak. Dan, hal ini sesuai dengan data yang menyatakan ada 15.000 senpi ilegal di wilayah Sumut.

SAAT ini peredaran dan penyalahgunaan senpi mulai meningkatkan rasa tidak aman. Bukan hanya itu senpi acapkali digunakan aparat untuk menakut-nakuti masyarakat atau sebaliknya sebagai alat perlawanan terhadap penegak hukum. Lembaga monitor hak asasi manusia, Imparsial mengkhawatirkan maraknya aksi penembakan dengan senjata api belakangan ini. Pelaku bukan saja aparat tapi juga warga sipil yang memanfaatkannya untuk berbuat kriminal.

“Imparsial memandang merebaknya kasus-kasus penyalahgunaan senjata api baik oleh aparat keamanan ataupun warga sipil pada dasarnya bukan hal baru dan sudah mencapai taraf yang sangat mengkhawatirkan,” kata Direktur Eksekutif Imparsial, Poengky Indarti.

Hingga pertengahan tahun 2010 sebanyak 17.983 pucuk senjata api berizin untuk bela diri, 11.869 pucuk digunakan polisi khusus, 6.551 pucuk diperuntukan olahraga dan 699 pucuk untuk instansi keamanan.

“Imparsial mencatat kurang lebih terdapat 46 kasus penyalahgunaan senjata api baik yang dilakukan oleh aparat keamanan maupun masyarakat dari 2005 hingga 2012. Sementara menurut Polri, sepanjang tahun 2009 hingga tahun 2011 kepolisian telah menangani 453 kasus penggunaan senjata api ilegal,” papar Poengky.

Imparsial juga menilai, dari beberapa kasus terdapat beberapa pola terkait penyalahgunaan senjata api. Pertama, penyalahgunaan oleh aparat negara di luar tugas demi tujuan tertentu. Kedua, penyalahgunaan ketika aparat negara menjalankan tugas secara berlebihan dan tidak proporsional. “Beberapa kasus bisa dilihat dalam kasus salah tembak dan penanganan unjuk rasa,” ujarnya.

Ketiga, penyalahgunaan senpi oleh masyarakat bersifat legal demi tujuan tertentu semisal aksi kriminalitas. Keempat, penyalahgunaan yang kepemilikannya bersifat ilegal demi tujuan tertentu seperti tindakan kriminalitas.

Penyalahgunaan senpi baik oleh aparat keamanan atau sipil disebabkan beberapa faktor. Antara lain, lemahnya pengaturan kepemilikan senpi, kontrol dan pengawasan peredaran dan penggunaan senpi lemah, rendahnya profesionalisme aparat keamanan, bisnis peredaran senpi menggiurkan, hukuman bagi penyalahgunaan senjata api masih lunak, serta lemahnya penegakan hukum dan kontrol perbatasan.

Karena itu, Imparsial mendesak parlemen dan pemerintah untuk membentuk undang-undang yang mengatur kontrol senjata api dan bahan peledak. Kedua, membatasi penggunaan senjata oleh sipil kecuali untuk kepentingan olahraga namun tetap tak boleh dibawa pulang.

Ketiga, penggunaan senjata oleh aparat diberikan ketika menjalankan tugas. Keempat, memperkuat pengawasan, pengendalian perizinan melalui satu pintu, yakni kepolisian. Kelima, mengaudit semua pemilikan senjata oleh masyarakat sipil. Keenam, menghentikan sementara perizinan kepemilikan senjata oleh sipil terkecuali. Ketujuh, penguatan kontrol perbatasan dan imigrasi.

Pada bagian lain, legislatif juga mendesak Polri untuk merevisi Surat Keputusan (Skep) Kapolri 82/II/2004 yang mengatur kepemilikan senpi oleh masyarakat sipil.

Anggota DPR dari Komisi III, Didi Irawadi Syamsuddin mengatakan, setelah direvisi semua izin senpi kalangan sipil harus dicabut dan dibekukan tanpa terkecuali.

“Berbagai kasus kejahatan, baik pembunuhan, pencurian dengan kekerasan (perampokan), maupun penganiyaan ternyata menggunakan senjata api, terutama pistol,” katanya di Jakarta, Senin (7/5).

Rentetan kekerasan, ancaman dan teror menggunakan pistol belakangan, menurutnya, merupakan momentum untuk merevisi secara total dan mendasar menyangkut beleid/regulasi tentang kepemilikan/penggunaan senpi. “Warga sipil termasuk pejabat, baik lingkungan pemerintah (eksekutif), legislatif, yudikatif, maupun di kalangan swasta, termasuk pengusaha, profesi pengacara, dokter, ataupun profesi lainnya,” imbuh Didi.

Data peredaran senpi di Sumut dikemukakan oleh Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane secara khusus kepada Sumut Pos di Jakarta. Diperkirakan Pane, 15.000 pucuk senjata api ilegal memang beredar di Sumut. Besarnya angka peredaran senpi ilegal ini, salah satunya disumbang oleh kebijakan Mabes Polri pada 2000 hingga 2002 lalu. Untuk Sumut, setidaknya izin pemberian senpi dikeluarkan mencapai 3.000 lebih.

“Tapi meski kemudian saat era Kapolri Sutanto memerintahkan agar senpi-senpi ini ditarik kembali, tidak ada seorang pun yang mengembalikan,” katanya.

Senjata-senjata api yang memperoleh izin ini, dipastikan kemudian menjadi ilegal. Karena izinnya tidak lagi diperpanjang dan diperkirakan dipegang oleh sejumlah pengusaha, terutama pengusaha perkebunan yang cukup banyak di Sumut atau bahkan telah berpindah tangan.

Parahnya lagi, ternyata setelah era Sutanto berakhir, secara diam-diam Mabes Polri justru mengeluarkan kebijakan dengan menjadikan pendapatan dari pajak senpi masuk dalam Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). “Itu sampai Rp1,5 juta per senjata api per tahunnya,” tambahnya.

Akibatnya, menurut Neta, dapat dipastikan angka peredaran senpi semakin tidak terbendung. Terutama di Sumut, karena IPW meyakini senjata-senjata ilegal dari sisa-sisa konflik di Aceh, juga masuk ke Sumut. Demikian juga senpi selundupan dari negara-negara tetangga seperti dari Filipina Selatan dan Kamboja. “Karena secara geografis, Sumut bersebelahan dengan negara tetangga. Nah senjata selundupan ini masuk ke Indonesia lewat Malaysia,”ungkap Neta yang meyakini senpi ilegal juga berasal dari senjata para purnawirawan dan senjata rakitan.

Besarnya angka 15.000 senpi ilegal yang beredar di Sumut ini menurut Neta kemudian, diperoleh karena secara teori, angka 3.000 di kali lima celah-celah masuknya senpi ilegal ke Sumut. Sementara ketika bicara secara nasional, angkanya benar-benar sangat luar biasa. Karena selain izin yang dikeluarkan Mabes Polri tahun 2000 hingga 2002 lalu yang mencapai 17.000 pucuk senpi bagi sipil, masih dikali lima sumber-sumber senpi ilegal lainnya. Sehingga jumlahnya mencapai 85.000 pucuk. Dan itu belum termasuk izin-izin yang baru. Untuk itu Neta meminta Kapolda Sumut, harus segera berani mengambil tindakan nyata.

“Saya yakin kalau ada kemauan dari Kapolda, pasti bisa. Contohnya di Jawa Tengah, itu gencar dilakukan operasi penertiban senjata api. Karena kalau dibiarkan, ini sangat berbahaya. Di DKI Jakarta saja, itu dipastikan rata-rata tiap minggu satu aksi kejahatan menggunakan senjata api. Nah di Sumut sendiri angka ini saya kira tidak jauh berbeda,” jelasnya. Untuk itu Neta berharap pemerintah dalam hal ini kepolisian harus bertindak cepat mengatasi ini. “Apapun alasannya, sipil tidak boleh memegang senjata. Jadi harus tegas dan harus segera menarik kembali senjata-senjata ini. Kalau orang yang dimaksud tidak mau mengembalikan, dia dapat dikenakan masuk Daftar Pencarian Orang (DPO), karena melanggar UU Darurat. Itu ancamannya sampai 15 tahun penjara,” tambahnya.

Kepemilikan senjata api di kalangan sipil mulai banyak disalahgunakan, padahal ada persyaratan tertentu yang ditetapkan oleh kepolisian untuk kepemilikannya. Pihak Mabes Polri menjelaskan bahwa sesuai dengan Peraturan Kapolri Nomor 82 Tahun 2004, orang-orang yang bisa diberikan izin memiliki senjata api untuk bela diri diantaranya pejabat DPR/MPR/Legislatif, pejabat eksekutif, pejabat pemerintah, pejabat swasta, pengusaha, direktur utama, komisaris, pengacara, dan dokter.

Kemudian syarat untuk mendapatkannya, kata Rikwanto, harus berusia 24- 65 tahun, minimal punya keterampilan menembak selama 3 tahun, lulus tes psikologi, lulus tes kesehatan, dilengkapi surat keterangan dari instansi atau kantor dari orang yang ingin mendapatkan izin memiliki senjata api. Misalnya dokter maka harus ada surat dari Ikatan Dokter Indonesia. Selain itu, pemilik juga harus lulus uji keterampilan mengamankan dan merawat senjata api dan digunakan apabila dalam situasi dan kondisi yang mengganggu keselamatan jiwanya.

Sejak tahun 2006 hingga saat ini, ada 5.000 senjata api yang dulu memiliki izin atau legal beredar. Tapi sejak aturan baru dikeluarkan dan mengharuskan senjata-senjata itu ditarik, polisi baru dapat 3.500 pucuk untuk digudangkan. Sementara, sisanya masih beredar di masyarakat dan tidak jelas siapa pemiliknya.

“Misalnya, pengguna senjata sudah tidak menjabat lagi seperti direktur atau tidak memperpanjang batas tempo surat izin kepemilikan senjata api bela diri setiap tahunnya,” jelas Rikwanto.

Dia menambahkan, sekitar 70 persen senjata api yang dimiliki oleh orang-orang yang telah mendapat izin tersebut kebanyakan senpi jenis peluru karet, 25 persen peluru hampa, dan 5 persen lagi peluru tajam. Sedangkan untuk senjata api yang diperuntukkan olahraga seperti yakni senjata air softgun, senjata berburu.

“Senjata api untuk olahraga ini digunakan apabila pengguna ingin memakainya. Setelah dipakai, senjata api tersebut disimpan ke gudang di Perbakin dan tidak boleh dibawa setiap hari,” kata Rikwanto. (val/sam/jpnn)

Audit Senpi Berizin

REFLEKS kita terhadap kekerasan dengan senjata api sungguh sengit. Setiap insiden yang melibatkan senjata api, seperti pistol, terlebih lagi senapan, akan ”dikeroyok” ramai-ramai. Suara penolakan itu begitu kencang, seolah-olah mengisyaratkan ketakutan bawah sadar kita akan senjata api. Itu refleks yang baik, yang pantas disyukuri. Jangan sampai insiden kekerasan yang kerap terjadi di masyarakat bertambah fatal dengan senjata yang bisa ditembakkan dari jauh tersebut.

Korban senjata api di Indonesia sebenarnya jauh lebih rendah daripada, misalnya, korban kecelakaan lalu lintas. Tetapi, korban penggunaan senjata api selalu disorot lebih banyak dan lebih tajam. Jangankan sudah meletuskan senjata untuk menewaskan orang, baru mencabut pistol untuk menakut-nakuti pun sudah dikecam ramai-ramai.

Hakulyakin, pelaku yang dinilai arogan dengan menongolkan senjatanya itu pasti menyesal setengah mati. Apalagi, belakangan ini semua orang bicara mengecam penggunaan senjata api serta meminta siapa pun orang sipil, termasuk para legislator, yang mengantongi senjata api dievaluasi lagi. Kita juga terkejut, ternyata sebagian wakil rakyat, wakil kita, suka juga mengantongi senjata api. Heran juga, kenapa mereka merasa punya banyak musuh.

Kita memang harus tetap mengembangkan kewaspadaan terhadap senjata api. Indonesia merupakan negara yang kontrol senjatanya cukup baik. Juga, sungguh menakjubkan, kita menggunakan instrumen undangundang darurat yang keras untuk mengontrol peredaran senjata api (dan amunisi, juga senjata tajam) itu. Undang-Undang Darurat  Nomor 12/Drt/1951 tetap berlaku hingga sekarang. Secara bawah sadar, kita sebenarnya berada dalam ”kedaruratan” soal senjata api.

Tapi, kita terkesan nyaman dengan perlindungan UU yang berusia 61 tahun itu. Buktinya, tak pernah ada tuntutan UU enam pasal tersebut direvisi atau diperbarui. UU itu sungguh draconian alias sangat keras, ancaman maksimalnya hukuman mati! Meski belum ada yang dihukum mati karena membawa atau menyimpan senjata, tak ada yang merasa terganggu dengan ancaman hukuman yang keras itu.

Praktik pelaksanaan hukuman atas UU darurat tersebut juga cukup tegas. Biasanya, tersangkanya ditahan, seperti Iswahyudi Ashari itu.Demi menjaga agar gun control kita tetap kuat, perlu ditinjau lagi peraturan, misalnya di Polri, yang ternyata mempermudah kepemilikan senjata api oleh orang sipil. Bahkan, biaya resmi administrasinya hanya Rp 1 juta. Meskipun, konon, izin kepemilikan senjata api tersebut sangat ketat, itu sinyal bahaya. Apalagi, kita tahu, apa sih sistem di Indonesia yang tak bisa disiasati. Melihat refleks masyarakat yang begitu sengit terhadap insiden senjata api, tak layak izin persenjataapian diberi celah.

DPR harus melaporkan siapa di antara anggotanya yang menyimpan senjata api. Jangan sampai muncul insiden, baru ribut. Citra DPR yang sudah terseok-seok jangan sampai diperparah dengan berkeliarannya para ”koboi” di Senayan. Kalau DPR meminta rakyat memercayai aparat keamanan, mereka harus memberi contoh dengan membiarkan aparatlah yang ”memonopoli” pemakaian senjata api.

DPR juga bisa minta audit Polri tentang izin senjata api alias senpi. Sangat mengejutkan, kemarin Mabes Polri menyebut 18.030 senpi berizin dikeluarkan sampai 2012. Disebutkan pula, di 2010-2011 Polri mencatat 45.269 izin pucuk senjata dikeluarkan untuk keperluan di luar TNI/Polri. Alangkah banyak? Kepemilikan senjata di kalangan sipil terlalu banyak, harus dipangkas. Jangan sampai kita membiakkan orang-orang arogan karena menenteng senjata dan menebar ketakutan. Ingat, senjata punya “setan”-nya tersendiri . (*)

Ada Polisi di Balik Pajak  Senpi

Indonesia Police Watch (IPW) menyebut bahwa Kepolisian diduga bermain pajak melalui peredaran senjata api ke tangan sipil.
“Pajaknya sampai Rp 1,5 juta per senjata api per tahunnya,” kata Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane di Jakarta, Senin (7/5).
Padahal, ujarnya, hal tersebut bertentangan denagn hukum. Secara tegas, undang-undang mengatur bahwa keberadaan senjata api liar merupakan pelanggaran aturan.

Ia menjelaskan, pada 2000-2002, Polri memang memperbolehkan sipil menggunakan senjata api. Namun, pada era Kapolri Sutanto tahun 2005, kebijakan itu dibatalkan.

Akibatnya, senjata api yang tidak dikembalikan menjadi habis masa izinnya, karena tidak diperpanjang. Namun setelah era Sutanto, kebijakan pemilikan senjata api kembali digulirkan. Polri kemudian diam-diam menarik pajak atas Senpi yang habis masa izinnya. Caranya dengan menarik pajak saat perpanjangan izin pemakaian.

Pendapatan dari pajak senjata api masuk dalam Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). “PNBP itu bukan untuk pajak senjata ilegal. Tapi untuk senjata legal, satu senjata 1,5 juta per tahun. Tapi setelah mendapat senjata legal banyak pihak yang tidak memperpanjang izinnya. Ironisnya, polisi tidak menyita senjata itu. Sehingga, senjata itu menjadi ilegal karena sudah tidak memiliki ijin,” ungkap Neta.

Menurut Neta, kebijakan itulah yang memperbanyak jumlah senjata api liar di tangan masyarakat. Diperkirakan jumlah Senpi yang beredar saat ini mencapai 85 ribu.

Ia berharap, pemerintah dan kepolisian bertindak cepat mengatasi peredaran senjata api liar tersebut. Apapun alasannya, sipil tidak boleh memegang senjata. Kepolisian harus tegas dan harus segera menarik kembali senjata-senjata ini.

“Kalau orang yang dimaksud tidak mau mengembalikan, dia dapat dikenakan masuk Daftar Pencarian Orang (DPO), karena melanggar UU Darurat. Itu ancamannya sampai 15 tahun penjara,” ujarnya.  Sebagian pengamat memandang perlu pemeriksaan rutin kejiwaan bagi setiap pemilik senjata api (senpi), baik kalangan militer, polisi, maupun sipil. Pemeriksaan kejiwaan bisa dilakukan rutin antara enam bulan hingga satu tahun sekali.

“Pemeriksaan rutin, sebaiknya diketatkan kepada anggota di institusi TNI dan Polri. Untuk jajaran TNI, semua anggota mulai dari tamtama, bintara hingga perwira harus dilakukan pemeriksaan rutin,” kata pemerhati persoalan pertahanan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Ikrar Nusa Bakti, di Jakarta, Senin (7/5).

Pemeriksaan ini juga dilakukan untuk kalangan kepolisian, mulai dari anggota berpangkat rendah hingga tinggi. “Review kesehatan jiwa harus rutin dilakukan,” ujarnya.

Ketika ada penyalahgunaan yang dilakukan anggota, Ikrar berharap yang bersangkutan mendapatkan sanksi berat. Seperti mencabut izin kepemilikan senjata hingga mendapatkan sanksi penurunan pangkat. “Itu harus dilakukan agar mereka tak merasa lebih superior,” ujarnya.

Ikrar menambahkan, penarikan senjata api di kalangan sipil tak akan efektif mengurangi penyalahgunaan pemakaian senjata. Peredaran senjata di masyarakat justru masih sangat sedikit. Kalaupun ada penyalahgunaan, lebih banyak dilakukan oleh kalangan militer dan polisi.

“Selama terdaftar dan pemiliknya tak memiliki sakit jiwa, saya kira tak menjadi soal masyarakat sipil memilikinya,” kata Ikrar.
Kepemilikan senjata api di masyarakat ini, tambah dia, menunjukkan kepolisian belum optimal memberikan rasa aman bagi warganya. Jadi, wajar ketika masyarakat berusaha mendapatkan senjata, baik legal maupun ilegal.

Persoalan serupa juga terjadi di Amerika dan negara lainnya. Ikrar mengatakan, banyak orang membeli senjata baik secara resmi dan ilegal untuk sekadar mempertahankan diri.

“Jadi kalau polisi sudah mampu menunjukkan bahwa mereka bisa memberikan rasa aman kepada umum, khususnya warga negara tertentu, persoalan kepemilikan senjata sudah tak akan ada masalah. Biarpun harus ditarik semua,” katanya.

Persoalan senjata kembali mencuat pasca adanya dua kejadian beruntun yang melibatkan kepemilikan senjata. Pertama, beredarnya video Youtube yang kemudian dilabeli “Koboi Palmerah”. Dalam rekaman yang terlihat seorang oknum anggota TNI tengah menyalahgunakan senjatanya.
Kemudian, kasus senjata yang dikeluarkan Iswahyudi Ashari, seorang pengusaha, yang dalam rekaman CCTV terlihat mengacungkan senjata kepada penjaga cafe.

Secara terpisah, Ketua Setara Institute, Hendardi mengatakan Kepolisian diminta menarik seluruh senjata api (senpi) yang masih beredar di masyarakat sipil, termasuk yang dimiliki anggota DPR.

Langkah ini diperlukan guna menghilangkan teror bagi masyarakat lemah dan menjaga ketertiban.
“Kami minta tarik seluruh peredaran senjata api di kalangan masyarakat sipil tanpa terkecuali yang dimiliki anggota DPR. Peristiwa lain yang tidak terekspos jauh lebih banyak,” katanya.

Dia menegaskan, peredaran senjata api nyata-nyata hanya menebarkan teror bagi mereka yang lemah. Yang terjadi kemudian, senjata api bukan digunakan melindungi diri, tetapi untuk menunjukkan bahwa dirinya digdaya dibanding yang lain.

Menurutnya, perilaku semacam ini bukan hanya tak pantas bagi para pengusaha dan pribadi yang memiliki izin, tapi juga tidak pantas bagi anggota DPR yang beberapa di antaranya merasa gagah dengan menenteng senjata api.

Hendardi mengungkapkan, pada 2007 silam pernah dilakukan kebijakan penarikan senjata api dari masyarakat sipil. Akan tetapi, langkah tersebut dianggap hanya seremonial yang tidak pernah tuntas.

“Faktanya, masih sekitar 1700 senjata api beredar di tengah masyarakat dengan alasan masa izin yang belum habis,” tandasnya. (net/jpnn)

Mereka yang Boleh Bersenpi:

1. Pejabat Pemerintah

  • Menteri/DPR/MPR RI
  • Sekjen/Irjen/Dirjen/Sekretaris Kabinet
  • Gubernur/wakil Gubernur/Sekwilda/Irwilprop/DPRD Provinsi
  • Walikota/Bupati
  • Instansi pemerintah golongan IV-B

2. Pejabat Swasta

  • Komisaris
  • Presiden Komisaris
  • Presiden Direktur
  • Direktur/Direktur Utama
  • Direktur Keuangan

3. Pejabat TNI/Polri

  • Perwira Tinggi
  • Perwira Menengah (Pamen) serendah-rendahnya bepangkat Mayor/Kompol

4. Purnawirawan TNI/Polri

  • Perwira Tinggi
  • Perwira Menengah (Pamen) serendah-rendahnya bepangkat Mayor/Kompol

5. Profesi

  • Pengacara senior sengan Skep Menteri Kehakiman/Peradilan
  • Dokter Praktek dengan Skep Menkes atau Kemenkes.

Sumber:  SKEP Kapolri bernomor 82/II/2004

Syarat Sipil Boleh Punya Senpi sesuai Skep Kapolri No 82/II/2004

  1. Memiliki kemampuan atau keterampilam menembak minimal klas III yang dibuktikan dengan sertifikat yang dikeluarkan oleh institusi pelatihan menembak yang sudah mendapat izin dari Polri. Sertifikat tersebut disahkan oleh Polri (Pejabat Polri yang ditunjuk) Mabes Polri atau Polda.
  2. Memiliki keterampilan dalam merawat, menyimpan dan mengamankannya sehingga terhindar dari penyalahgunaan.
  3. Memenuhi persyaratan mediam psikologis dan persyaratan lain meliputi:
  • Syarat medis: sehat jasmani, tidak cacat fisik yang dapat mengurangi keterampilan membawa dan menggunakan senjata api, penglihatan normal dan syarat-syarat lain yang ditetapkan dokter RS Polri/Polda.
  • Syarat psikologis : tidak cepat gugup dan panik, tidak emosional atau tidak cepat marah, tidak psikopat dan syarat-syarat medis lainnya yang dibuktikan dengan hasil psikotes yang dilaksanakan oleh tim yang ditunjuk Biro Psikologi Polri/polda.
  • Syarat umur minimal 24 tahun dan maksimal 65 tahun.
  • Syarat menembak: mempunyai kecakapan menembak dan telah lulus tes menembak yang dilakukan oleh Polri.
  • SIUP besar atau Akta pendirian perusahaan PT, CV, PD (CV dan PD sebagai pemilik perusahaan atau ketua organisasi).
  • Surat keterangan jabatan atau surat keputusan pimpinan.
  • Tidak/belum pernah terlibat dalam suatu kasus pidana)
  • Tidak memiliki crime record yang dibuktikan dengan SKCK.
  • Lulus screening yang dilaksanakan oleh Direktorat Intelkam Polda.

Faktor Pemicu Penyalahgunaan Senpi

  1. Pengaturan senpi yang tidak ketat dan tumpang tindih
  2. Pengawasan yang lemah atas peredaran dan penggunaan senpi
  3. Rendahnya profesionalisme aparat keamanan
  4. Bisnis peredaran senpi menggiurkan
  5. Rendahnya hukuman bagi pelaku penyalahgunaan senpi
  6. Lemahnya penegakan hukum dan kontrol perbatasan wilayah

Pola Penyalahgunaan Senjata Api

  1. Penyalahgunaan senjata api oleh aparat negara di luar tugas demi tujuan tertentu.
  2. Penyalahgunaan senjata api ketika aparat negara menjalankan tugas secara berlebihan dan tidak proporsional.
  3. Penyalahgunaan senjata api yang kepemilikannya oleh masyarakat bersifat legal demi tujuan tertentu, misalnya aksi kriminalitas.
  4. Penyalahgunaan senjata api yang kepemilikannya bersifat ilegal demi tujuan tertentu seperti tindakan kriminalitas.

Sumber: Imparsial

 

Komplotan perampok bersenjata api (senpi) berhasil dibekuk pihak Poldasu. Seorang anggota mereka ditangkap di Labuhanbatu, Minggu (6/5) lalu. Kejadian ini seakan menegaskan penggunaan senpi ilegal begitu marak. Dan, hal ini sesuai dengan data yang menyatakan ada 15.000 senpi ilegal di wilayah Sumut.

SAAT ini peredaran dan penyalahgunaan senpi mulai meningkatkan rasa tidak aman. Bukan hanya itu senpi acapkali digunakan aparat untuk menakut-nakuti masyarakat atau sebaliknya sebagai alat perlawanan terhadap penegak hukum. Lembaga monitor hak asasi manusia, Imparsial mengkhawatirkan maraknya aksi penembakan dengan senjata api belakangan ini. Pelaku bukan saja aparat tapi juga warga sipil yang memanfaatkannya untuk berbuat kriminal.

“Imparsial memandang merebaknya kasus-kasus penyalahgunaan senjata api baik oleh aparat keamanan ataupun warga sipil pada dasarnya bukan hal baru dan sudah mencapai taraf yang sangat mengkhawatirkan,” kata Direktur Eksekutif Imparsial, Poengky Indarti.

Hingga pertengahan tahun 2010 sebanyak 17.983 pucuk senjata api berizin untuk bela diri, 11.869 pucuk digunakan polisi khusus, 6.551 pucuk diperuntukan olahraga dan 699 pucuk untuk instansi keamanan.

“Imparsial mencatat kurang lebih terdapat 46 kasus penyalahgunaan senjata api baik yang dilakukan oleh aparat keamanan maupun masyarakat dari 2005 hingga 2012. Sementara menurut Polri, sepanjang tahun 2009 hingga tahun 2011 kepolisian telah menangani 453 kasus penggunaan senjata api ilegal,” papar Poengky.

Imparsial juga menilai, dari beberapa kasus terdapat beberapa pola terkait penyalahgunaan senjata api. Pertama, penyalahgunaan oleh aparat negara di luar tugas demi tujuan tertentu. Kedua, penyalahgunaan ketika aparat negara menjalankan tugas secara berlebihan dan tidak proporsional. “Beberapa kasus bisa dilihat dalam kasus salah tembak dan penanganan unjuk rasa,” ujarnya.

Ketiga, penyalahgunaan senpi oleh masyarakat bersifat legal demi tujuan tertentu semisal aksi kriminalitas. Keempat, penyalahgunaan yang kepemilikannya bersifat ilegal demi tujuan tertentu seperti tindakan kriminalitas.

Penyalahgunaan senpi baik oleh aparat keamanan atau sipil disebabkan beberapa faktor. Antara lain, lemahnya pengaturan kepemilikan senpi, kontrol dan pengawasan peredaran dan penggunaan senpi lemah, rendahnya profesionalisme aparat keamanan, bisnis peredaran senpi menggiurkan, hukuman bagi penyalahgunaan senjata api masih lunak, serta lemahnya penegakan hukum dan kontrol perbatasan.

Karena itu, Imparsial mendesak parlemen dan pemerintah untuk membentuk undang-undang yang mengatur kontrol senjata api dan bahan peledak. Kedua, membatasi penggunaan senjata oleh sipil kecuali untuk kepentingan olahraga namun tetap tak boleh dibawa pulang.

Ketiga, penggunaan senjata oleh aparat diberikan ketika menjalankan tugas. Keempat, memperkuat pengawasan, pengendalian perizinan melalui satu pintu, yakni kepolisian. Kelima, mengaudit semua pemilikan senjata oleh masyarakat sipil. Keenam, menghentikan sementara perizinan kepemilikan senjata oleh sipil terkecuali. Ketujuh, penguatan kontrol perbatasan dan imigrasi.

Pada bagian lain, legislatif juga mendesak Polri untuk merevisi Surat Keputusan (Skep) Kapolri 82/II/2004 yang mengatur kepemilikan senpi oleh masyarakat sipil.

Anggota DPR dari Komisi III, Didi Irawadi Syamsuddin mengatakan, setelah direvisi semua izin senpi kalangan sipil harus dicabut dan dibekukan tanpa terkecuali.

“Berbagai kasus kejahatan, baik pembunuhan, pencurian dengan kekerasan (perampokan), maupun penganiyaan ternyata menggunakan senjata api, terutama pistol,” katanya di Jakarta, Senin (7/5).

Rentetan kekerasan, ancaman dan teror menggunakan pistol belakangan, menurutnya, merupakan momentum untuk merevisi secara total dan mendasar menyangkut beleid/regulasi tentang kepemilikan/penggunaan senpi. “Warga sipil termasuk pejabat, baik lingkungan pemerintah (eksekutif), legislatif, yudikatif, maupun di kalangan swasta, termasuk pengusaha, profesi pengacara, dokter, ataupun profesi lainnya,” imbuh Didi.

Data peredaran senpi di Sumut dikemukakan oleh Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane secara khusus kepada Sumut Pos di Jakarta. Diperkirakan Pane, 15.000 pucuk senjata api ilegal memang beredar di Sumut. Besarnya angka peredaran senpi ilegal ini, salah satunya disumbang oleh kebijakan Mabes Polri pada 2000 hingga 2002 lalu. Untuk Sumut, setidaknya izin pemberian senpi dikeluarkan mencapai 3.000 lebih.

“Tapi meski kemudian saat era Kapolri Sutanto memerintahkan agar senpi-senpi ini ditarik kembali, tidak ada seorang pun yang mengembalikan,” katanya.

Senjata-senjata api yang memperoleh izin ini, dipastikan kemudian menjadi ilegal. Karena izinnya tidak lagi diperpanjang dan diperkirakan dipegang oleh sejumlah pengusaha, terutama pengusaha perkebunan yang cukup banyak di Sumut atau bahkan telah berpindah tangan.

Parahnya lagi, ternyata setelah era Sutanto berakhir, secara diam-diam Mabes Polri justru mengeluarkan kebijakan dengan menjadikan pendapatan dari pajak senpi masuk dalam Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). “Itu sampai Rp1,5 juta per senjata api per tahunnya,” tambahnya.

Akibatnya, menurut Neta, dapat dipastikan angka peredaran senpi semakin tidak terbendung. Terutama di Sumut, karena IPW meyakini senjata-senjata ilegal dari sisa-sisa konflik di Aceh, juga masuk ke Sumut. Demikian juga senpi selundupan dari negara-negara tetangga seperti dari Filipina Selatan dan Kamboja. “Karena secara geografis, Sumut bersebelahan dengan negara tetangga. Nah senjata selundupan ini masuk ke Indonesia lewat Malaysia,”ungkap Neta yang meyakini senpi ilegal juga berasal dari senjata para purnawirawan dan senjata rakitan.

Besarnya angka 15.000 senpi ilegal yang beredar di Sumut ini menurut Neta kemudian, diperoleh karena secara teori, angka 3.000 di kali lima celah-celah masuknya senpi ilegal ke Sumut. Sementara ketika bicara secara nasional, angkanya benar-benar sangat luar biasa. Karena selain izin yang dikeluarkan Mabes Polri tahun 2000 hingga 2002 lalu yang mencapai 17.000 pucuk senpi bagi sipil, masih dikali lima sumber-sumber senpi ilegal lainnya. Sehingga jumlahnya mencapai 85.000 pucuk. Dan itu belum termasuk izin-izin yang baru. Untuk itu Neta meminta Kapolda Sumut, harus segera berani mengambil tindakan nyata.

“Saya yakin kalau ada kemauan dari Kapolda, pasti bisa. Contohnya di Jawa Tengah, itu gencar dilakukan operasi penertiban senjata api. Karena kalau dibiarkan, ini sangat berbahaya. Di DKI Jakarta saja, itu dipastikan rata-rata tiap minggu satu aksi kejahatan menggunakan senjata api. Nah di Sumut sendiri angka ini saya kira tidak jauh berbeda,” jelasnya. Untuk itu Neta berharap pemerintah dalam hal ini kepolisian harus bertindak cepat mengatasi ini. “Apapun alasannya, sipil tidak boleh memegang senjata. Jadi harus tegas dan harus segera menarik kembali senjata-senjata ini. Kalau orang yang dimaksud tidak mau mengembalikan, dia dapat dikenakan masuk Daftar Pencarian Orang (DPO), karena melanggar UU Darurat. Itu ancamannya sampai 15 tahun penjara,” tambahnya.

Kepemilikan senjata api di kalangan sipil mulai banyak disalahgunakan, padahal ada persyaratan tertentu yang ditetapkan oleh kepolisian untuk kepemilikannya. Pihak Mabes Polri menjelaskan bahwa sesuai dengan Peraturan Kapolri Nomor 82 Tahun 2004, orang-orang yang bisa diberikan izin memiliki senjata api untuk bela diri diantaranya pejabat DPR/MPR/Legislatif, pejabat eksekutif, pejabat pemerintah, pejabat swasta, pengusaha, direktur utama, komisaris, pengacara, dan dokter.

Kemudian syarat untuk mendapatkannya, kata Rikwanto, harus berusia 24- 65 tahun, minimal punya keterampilan menembak selama 3 tahun, lulus tes psikologi, lulus tes kesehatan, dilengkapi surat keterangan dari instansi atau kantor dari orang yang ingin mendapatkan izin memiliki senjata api. Misalnya dokter maka harus ada surat dari Ikatan Dokter Indonesia. Selain itu, pemilik juga harus lulus uji keterampilan mengamankan dan merawat senjata api dan digunakan apabila dalam situasi dan kondisi yang mengganggu keselamatan jiwanya.

Sejak tahun 2006 hingga saat ini, ada 5.000 senjata api yang dulu memiliki izin atau legal beredar. Tapi sejak aturan baru dikeluarkan dan mengharuskan senjata-senjata itu ditarik, polisi baru dapat 3.500 pucuk untuk digudangkan. Sementara, sisanya masih beredar di masyarakat dan tidak jelas siapa pemiliknya.

“Misalnya, pengguna senjata sudah tidak menjabat lagi seperti direktur atau tidak memperpanjang batas tempo surat izin kepemilikan senjata api bela diri setiap tahunnya,” jelas Rikwanto.

Dia menambahkan, sekitar 70 persen senjata api yang dimiliki oleh orang-orang yang telah mendapat izin tersebut kebanyakan senpi jenis peluru karet, 25 persen peluru hampa, dan 5 persen lagi peluru tajam. Sedangkan untuk senjata api yang diperuntukkan olahraga seperti yakni senjata air softgun, senjata berburu.

“Senjata api untuk olahraga ini digunakan apabila pengguna ingin memakainya. Setelah dipakai, senjata api tersebut disimpan ke gudang di Perbakin dan tidak boleh dibawa setiap hari,” kata Rikwanto. (val/sam/jpnn)

Audit Senpi Berizin

REFLEKS kita terhadap kekerasan dengan senjata api sungguh sengit. Setiap insiden yang melibatkan senjata api, seperti pistol, terlebih lagi senapan, akan ”dikeroyok” ramai-ramai. Suara penolakan itu begitu kencang, seolah-olah mengisyaratkan ketakutan bawah sadar kita akan senjata api. Itu refleks yang baik, yang pantas disyukuri. Jangan sampai insiden kekerasan yang kerap terjadi di masyarakat bertambah fatal dengan senjata yang bisa ditembakkan dari jauh tersebut.

Korban senjata api di Indonesia sebenarnya jauh lebih rendah daripada, misalnya, korban kecelakaan lalu lintas. Tetapi, korban penggunaan senjata api selalu disorot lebih banyak dan lebih tajam. Jangankan sudah meletuskan senjata untuk menewaskan orang, baru mencabut pistol untuk menakut-nakuti pun sudah dikecam ramai-ramai.

Hakulyakin, pelaku yang dinilai arogan dengan menongolkan senjatanya itu pasti menyesal setengah mati. Apalagi, belakangan ini semua orang bicara mengecam penggunaan senjata api serta meminta siapa pun orang sipil, termasuk para legislator, yang mengantongi senjata api dievaluasi lagi. Kita juga terkejut, ternyata sebagian wakil rakyat, wakil kita, suka juga mengantongi senjata api. Heran juga, kenapa mereka merasa punya banyak musuh.

Kita memang harus tetap mengembangkan kewaspadaan terhadap senjata api. Indonesia merupakan negara yang kontrol senjatanya cukup baik. Juga, sungguh menakjubkan, kita menggunakan instrumen undangundang darurat yang keras untuk mengontrol peredaran senjata api (dan amunisi, juga senjata tajam) itu. Undang-Undang Darurat  Nomor 12/Drt/1951 tetap berlaku hingga sekarang. Secara bawah sadar, kita sebenarnya berada dalam ”kedaruratan” soal senjata api.

Tapi, kita terkesan nyaman dengan perlindungan UU yang berusia 61 tahun itu. Buktinya, tak pernah ada tuntutan UU enam pasal tersebut direvisi atau diperbarui. UU itu sungguh draconian alias sangat keras, ancaman maksimalnya hukuman mati! Meski belum ada yang dihukum mati karena membawa atau menyimpan senjata, tak ada yang merasa terganggu dengan ancaman hukuman yang keras itu.

Praktik pelaksanaan hukuman atas UU darurat tersebut juga cukup tegas. Biasanya, tersangkanya ditahan, seperti Iswahyudi Ashari itu.Demi menjaga agar gun control kita tetap kuat, perlu ditinjau lagi peraturan, misalnya di Polri, yang ternyata mempermudah kepemilikan senjata api oleh orang sipil. Bahkan, biaya resmi administrasinya hanya Rp 1 juta. Meskipun, konon, izin kepemilikan senjata api tersebut sangat ketat, itu sinyal bahaya. Apalagi, kita tahu, apa sih sistem di Indonesia yang tak bisa disiasati. Melihat refleks masyarakat yang begitu sengit terhadap insiden senjata api, tak layak izin persenjataapian diberi celah.

DPR harus melaporkan siapa di antara anggotanya yang menyimpan senjata api. Jangan sampai muncul insiden, baru ribut. Citra DPR yang sudah terseok-seok jangan sampai diperparah dengan berkeliarannya para ”koboi” di Senayan. Kalau DPR meminta rakyat memercayai aparat keamanan, mereka harus memberi contoh dengan membiarkan aparatlah yang ”memonopoli” pemakaian senjata api.

DPR juga bisa minta audit Polri tentang izin senjata api alias senpi. Sangat mengejutkan, kemarin Mabes Polri menyebut 18.030 senpi berizin dikeluarkan sampai 2012. Disebutkan pula, di 2010-2011 Polri mencatat 45.269 izin pucuk senjata dikeluarkan untuk keperluan di luar TNI/Polri. Alangkah banyak? Kepemilikan senjata di kalangan sipil terlalu banyak, harus dipangkas. Jangan sampai kita membiakkan orang-orang arogan karena menenteng senjata dan menebar ketakutan. Ingat, senjata punya “setan”-nya tersendiri . (*)

Ada Polisi di Balik Pajak  Senpi

Indonesia Police Watch (IPW) menyebut bahwa Kepolisian diduga bermain pajak melalui peredaran senjata api ke tangan sipil.
“Pajaknya sampai Rp 1,5 juta per senjata api per tahunnya,” kata Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane di Jakarta, Senin (7/5).
Padahal, ujarnya, hal tersebut bertentangan denagn hukum. Secara tegas, undang-undang mengatur bahwa keberadaan senjata api liar merupakan pelanggaran aturan.

Ia menjelaskan, pada 2000-2002, Polri memang memperbolehkan sipil menggunakan senjata api. Namun, pada era Kapolri Sutanto tahun 2005, kebijakan itu dibatalkan.

Akibatnya, senjata api yang tidak dikembalikan menjadi habis masa izinnya, karena tidak diperpanjang. Namun setelah era Sutanto, kebijakan pemilikan senjata api kembali digulirkan. Polri kemudian diam-diam menarik pajak atas Senpi yang habis masa izinnya. Caranya dengan menarik pajak saat perpanjangan izin pemakaian.

Pendapatan dari pajak senjata api masuk dalam Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). “PNBP itu bukan untuk pajak senjata ilegal. Tapi untuk senjata legal, satu senjata 1,5 juta per tahun. Tapi setelah mendapat senjata legal banyak pihak yang tidak memperpanjang izinnya. Ironisnya, polisi tidak menyita senjata itu. Sehingga, senjata itu menjadi ilegal karena sudah tidak memiliki ijin,” ungkap Neta.

Menurut Neta, kebijakan itulah yang memperbanyak jumlah senjata api liar di tangan masyarakat. Diperkirakan jumlah Senpi yang beredar saat ini mencapai 85 ribu.

Ia berharap, pemerintah dan kepolisian bertindak cepat mengatasi peredaran senjata api liar tersebut. Apapun alasannya, sipil tidak boleh memegang senjata. Kepolisian harus tegas dan harus segera menarik kembali senjata-senjata ini.

“Kalau orang yang dimaksud tidak mau mengembalikan, dia dapat dikenakan masuk Daftar Pencarian Orang (DPO), karena melanggar UU Darurat. Itu ancamannya sampai 15 tahun penjara,” ujarnya.  Sebagian pengamat memandang perlu pemeriksaan rutin kejiwaan bagi setiap pemilik senjata api (senpi), baik kalangan militer, polisi, maupun sipil. Pemeriksaan kejiwaan bisa dilakukan rutin antara enam bulan hingga satu tahun sekali.

“Pemeriksaan rutin, sebaiknya diketatkan kepada anggota di institusi TNI dan Polri. Untuk jajaran TNI, semua anggota mulai dari tamtama, bintara hingga perwira harus dilakukan pemeriksaan rutin,” kata pemerhati persoalan pertahanan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Ikrar Nusa Bakti, di Jakarta, Senin (7/5).

Pemeriksaan ini juga dilakukan untuk kalangan kepolisian, mulai dari anggota berpangkat rendah hingga tinggi. “Review kesehatan jiwa harus rutin dilakukan,” ujarnya.

Ketika ada penyalahgunaan yang dilakukan anggota, Ikrar berharap yang bersangkutan mendapatkan sanksi berat. Seperti mencabut izin kepemilikan senjata hingga mendapatkan sanksi penurunan pangkat. “Itu harus dilakukan agar mereka tak merasa lebih superior,” ujarnya.

Ikrar menambahkan, penarikan senjata api di kalangan sipil tak akan efektif mengurangi penyalahgunaan pemakaian senjata. Peredaran senjata di masyarakat justru masih sangat sedikit. Kalaupun ada penyalahgunaan, lebih banyak dilakukan oleh kalangan militer dan polisi.

“Selama terdaftar dan pemiliknya tak memiliki sakit jiwa, saya kira tak menjadi soal masyarakat sipil memilikinya,” kata Ikrar.
Kepemilikan senjata api di masyarakat ini, tambah dia, menunjukkan kepolisian belum optimal memberikan rasa aman bagi warganya. Jadi, wajar ketika masyarakat berusaha mendapatkan senjata, baik legal maupun ilegal.

Persoalan serupa juga terjadi di Amerika dan negara lainnya. Ikrar mengatakan, banyak orang membeli senjata baik secara resmi dan ilegal untuk sekadar mempertahankan diri.

“Jadi kalau polisi sudah mampu menunjukkan bahwa mereka bisa memberikan rasa aman kepada umum, khususnya warga negara tertentu, persoalan kepemilikan senjata sudah tak akan ada masalah. Biarpun harus ditarik semua,” katanya.

Persoalan senjata kembali mencuat pasca adanya dua kejadian beruntun yang melibatkan kepemilikan senjata. Pertama, beredarnya video Youtube yang kemudian dilabeli “Koboi Palmerah”. Dalam rekaman yang terlihat seorang oknum anggota TNI tengah menyalahgunakan senjatanya.
Kemudian, kasus senjata yang dikeluarkan Iswahyudi Ashari, seorang pengusaha, yang dalam rekaman CCTV terlihat mengacungkan senjata kepada penjaga cafe.

Secara terpisah, Ketua Setara Institute, Hendardi mengatakan Kepolisian diminta menarik seluruh senjata api (senpi) yang masih beredar di masyarakat sipil, termasuk yang dimiliki anggota DPR.

Langkah ini diperlukan guna menghilangkan teror bagi masyarakat lemah dan menjaga ketertiban.
“Kami minta tarik seluruh peredaran senjata api di kalangan masyarakat sipil tanpa terkecuali yang dimiliki anggota DPR. Peristiwa lain yang tidak terekspos jauh lebih banyak,” katanya.

Dia menegaskan, peredaran senjata api nyata-nyata hanya menebarkan teror bagi mereka yang lemah. Yang terjadi kemudian, senjata api bukan digunakan melindungi diri, tetapi untuk menunjukkan bahwa dirinya digdaya dibanding yang lain.

Menurutnya, perilaku semacam ini bukan hanya tak pantas bagi para pengusaha dan pribadi yang memiliki izin, tapi juga tidak pantas bagi anggota DPR yang beberapa di antaranya merasa gagah dengan menenteng senjata api.

Hendardi mengungkapkan, pada 2007 silam pernah dilakukan kebijakan penarikan senjata api dari masyarakat sipil. Akan tetapi, langkah tersebut dianggap hanya seremonial yang tidak pernah tuntas.

“Faktanya, masih sekitar 1700 senjata api beredar di tengah masyarakat dengan alasan masa izin yang belum habis,” tandasnya. (net/jpnn)

Mereka yang Boleh Bersenpi:

1. Pejabat Pemerintah

  • Menteri/DPR/MPR RI
  • Sekjen/Irjen/Dirjen/Sekretaris Kabinet
  • Gubernur/wakil Gubernur/Sekwilda/Irwilprop/DPRD Provinsi
  • Walikota/Bupati
  • Instansi pemerintah golongan IV-B

2. Pejabat Swasta

  • Komisaris
  • Presiden Komisaris
  • Presiden Direktur
  • Direktur/Direktur Utama
  • Direktur Keuangan

3. Pejabat TNI/Polri

  • Perwira Tinggi
  • Perwira Menengah (Pamen) serendah-rendahnya bepangkat Mayor/Kompol

4. Purnawirawan TNI/Polri

  • Perwira Tinggi
  • Perwira Menengah (Pamen) serendah-rendahnya bepangkat Mayor/Kompol

5. Profesi

  • Pengacara senior sengan Skep Menteri Kehakiman/Peradilan
  • Dokter Praktek dengan Skep Menkes atau Kemenkes.

Sumber:  SKEP Kapolri bernomor 82/II/2004

Syarat Sipil Boleh Punya Senpi sesuai Skep Kapolri No 82/II/2004

  1. Memiliki kemampuan atau keterampilam menembak minimal klas III yang dibuktikan dengan sertifikat yang dikeluarkan oleh institusi pelatihan menembak yang sudah mendapat izin dari Polri. Sertifikat tersebut disahkan oleh Polri (Pejabat Polri yang ditunjuk) Mabes Polri atau Polda.
  2. Memiliki keterampilan dalam merawat, menyimpan dan mengamankannya sehingga terhindar dari penyalahgunaan.
  3. Memenuhi persyaratan mediam psikologis dan persyaratan lain meliputi:
  • Syarat medis: sehat jasmani, tidak cacat fisik yang dapat mengurangi keterampilan membawa dan menggunakan senjata api, penglihatan normal dan syarat-syarat lain yang ditetapkan dokter RS Polri/Polda.
  • Syarat psikologis : tidak cepat gugup dan panik, tidak emosional atau tidak cepat marah, tidak psikopat dan syarat-syarat medis lainnya yang dibuktikan dengan hasil psikotes yang dilaksanakan oleh tim yang ditunjuk Biro Psikologi Polri/polda.
  • Syarat umur minimal 24 tahun dan maksimal 65 tahun.
  • Syarat menembak: mempunyai kecakapan menembak dan telah lulus tes menembak yang dilakukan oleh Polri.
  • SIUP besar atau Akta pendirian perusahaan PT, CV, PD (CV dan PD sebagai pemilik perusahaan atau ketua organisasi).
  • Surat keterangan jabatan atau surat keputusan pimpinan.
  • Tidak/belum pernah terlibat dalam suatu kasus pidana)
  • Tidak memiliki crime record yang dibuktikan dengan SKCK.
  • Lulus screening yang dilaksanakan oleh Direktorat Intelkam Polda.

Faktor Pemicu Penyalahgunaan Senpi

  1. Pengaturan senpi yang tidak ketat dan tumpang tindih
  2. Pengawasan yang lemah atas peredaran dan penggunaan senpi
  3. Rendahnya profesionalisme aparat keamanan
  4. Bisnis peredaran senpi menggiurkan
  5. Rendahnya hukuman bagi pelaku penyalahgunaan senpi
  6. Lemahnya penegakan hukum dan kontrol perbatasan wilayah

Pola Penyalahgunaan Senjata Api

  1. Penyalahgunaan senjata api oleh aparat negara di luar tugas demi tujuan tertentu.
  2. Penyalahgunaan senjata api ketika aparat negara menjalankan tugas secara berlebihan dan tidak proporsional.
  3. Penyalahgunaan senjata api yang kepemilikannya oleh masyarakat bersifat legal demi tujuan tertentu, misalnya aksi kriminalitas.
  4. Penyalahgunaan senjata api yang kepemilikannya bersifat ilegal demi tujuan tertentu seperti tindakan kriminalitas.

Sumber: Imparsial

 

Artikel Terkait

Rekening Gendut Akil dari Sumut?

Pedagang Emas Kian Ketar-ketir

Selalu Menghargai Sesama

Dahlan Iskan & Langkanya Daging Sapi

Terpopuler

Artikel Terbaru

/