JAKARTA-Konflik lahan eks HGU PTPN 2 yang belum juga usai membuat Wakil Presiden Boediono turun tangan. Tim untuk kasus tersebut pun dibentuk Kantor Sekretariat Wakil Presiden (Setwapres).
Tim ini melibatkan unsur Pemprovsu, BPN, PTPN 2, Kementerian BUMN, dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).
Iwan Nurdin, Deputi Sekjen KPA, yang terlibat dalam tim itu, menjelaskan, tim dibentuk Setwapres pada 12 Februari 2012. Tim ini fokus berusaha menyelesaikan masalah pada areal-areal PTPN 2 yang hingga saat ini belum diperpanjang HGU-nya oleh BPN.
“Pada Maret 2012, Setwapres juga telah memanggil Pemda Sumut dan PTPN 2 untuk mendengarkan pandangan-pandangan mereka,” ujar Iwan Nurdin kepada Sumut Pos di Jakarta, Selasa (29/5).
Dijelaskan, untuk areal-areal yang hendak diselesaikan tersebut membutuhkan surat pelepasan aset dari menteri BUMN. Juga diperlukan tim untuk memeriksa kondisi lapangan usulan pelepasan aset secara benar untuk memastikan proses ini tepat sasaran. “Proses di Setwapres ini sampai sekarang masih terus berjalan,” imbuhnya.
Iwan tidak menyebut tenggat waktu kerja tim ini hingga menemukan solusi permanen. Iwan mengakui, persoalan ini cukup rumit. Dikatakan, upaya penyelesaian sebenarnya sudah sejak lama dilakukan. Dibeberkan, pada tahun 2000, PTPN 2 telah diberikan HGU oleh Kepala BPN berdasarkan SK.HGU No. 51/HGU/BPN/2000, No. 52/HGU/BPN/2000, 53/HGU/BPN/2000, 57/HGU/BPN/2000 dan No.58/HGU/BPN/2000 atas tanah seluruhnya 38.611,19 Ha yang terletak di Kabupaten Deliserdang dan Langkat.
Terkait dengan dengan penerbitan HGU tersebut, lanjut Iwan, BPN RI mengecualikan tanah seluas 17.062,1562 Ha dari pemberian HGU tersebut. Pengecualian tersebut berdasarkan pada Risalah Panitia B Plus yang memandang terdapat permasalahan pada tanah tersebut.
Permasalahan tersebut di antaranya, pertama, ada klaim dari masyarakat dan petani yang di atas tanah-tanah tersebut mempunyai hak yang setara dengan hak milik, yaitu surat suguhan, surat keterangan pembagian tanah, dan surat pembagian tanah berdasarkan land reform pada tahun 1960-an akhir.
Kedua, adanya klaim dari masyarakat adat yang mempunyai surat-surat bahwa tanah tersebut adalah tanah masyarakat yang disewa oleh perusahaan perkebunan Belanda sebelum dinasionalisasi menjadi PTPN.
Kepala BPN pada masa itu memerintahkan perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai data fisik dan data yuridisnya oleh Panitia Pemeriksa Tanah B Plus Sumatera Utara. “Setelah dilakukan pengecekan dan evaluasi terhadap tanah-tanah yang dikecualikan tersebut, sayangnya hasil evaluasi tersebut tidak dapat diakses publik secara baik. Sebab, akhirnya sebagian tanah yang disebut kepala BPN masa itu bermasalah, sekarang telah diterbitkan HGUnya oleh BPN dan sekitar 5000-an hektar belum bisa diterbitkan HGU-nya oleh BPN,” papar Iwan.
Iwan menjelaskan, hingga sekarang, pada areal-areal yang diperpanjang HGU-nya oleh BPN tersebut terdapat masalah, yakni di atas tanah-tanah yang telah diterbitkan HGU-nya tersebut terdapat surat-surat kepemilikan masyarakat yang belum pernah melepaskan haknya atau diberi ganti rugi.
“Sehingga setiap saat menyulut konflik, bahkan konflik horizontal antara karyawan dengan masyarakat,” cetus Iwan.
Menurutnya, belum ada upaya sungguh-sungguh dari BPN untuk memeriksa dokumen para pihak yang berkonflik tersebut atau lebih jauh merevisi dan mengevaluasi bersama proses terbitnya HGU tersebut. Juga belum ada upaya polisi dan jaksa untuk memeriksa bagaimana HGU tersebut bisa terbit di atas tanah hak masyarakat.
Sebagai anggota tim yang dibentuk Setwapres, Iwan menyodorkan tawaran solusi. Pertama, pelepasan aset dari kementerian BUMN hanya dibutuhkan pada areal-areal dimana HGU PTPN tidak diperpanjang namun masih ada tanaman PTPN, dan tidak ada bukti hukum masyarakat di atasnya yang sah dan diakui secara hukum seperti surat pembagian tanah, surat suguhan dan surat land reform yang dimiliki oleh rakyat.
“Biasanya lokasi ini adalah kampung-kampung eks karyawan, dan kampung masyarakat yang dibuat karena ketiadaan lahan masyarakat sehingga memasuki areal PTPN,” imbuhnya.
Namun, menurut Iwan, pada areal yang ada surat-surat hak kepemilikan rakyat, atau putusan pengadilan yang inkracht BPN harus segera menindaklanjutinya dengan segera memperkuat hak-hak warga negara dengan sertifikat tanah yang sah.
Secara khusus, Iwan menanggapi pernyataan Deputi Bidang Usaha Industri Primer Kementerian BUMN, Muhammad Zamkani yang menyebut usulan tim pemetaan yang dibentuk Plt Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho merugikan PTPN 2.
Iwan tidak berani menyebut bahwa memang ada yang salah pada hasil pemetaan tim tersebut. Iwan hanya mengatakan, tidak adanya korban konflik yang dilibatkan dalam tim tersebut bisa menjadi penyebab hasil kerja tim tidak obyektif. Malah, keanggotaan tim ini menurut Iwan didominasi pihak PTPN 2. “Meskipun dengan SK Pemda Sumut,” ujarnya.
“Dukungan Pemda juga lemah dengan tidak didukung anggaran, sehingga mengundang terjadinya pembiayaan oleh perusahaan yang bermasalah. Dengan demikian, rekomendasi penyelesaian menjadi sangat memihak kepada perusahaan,” terang Iwan.
Pemprovsu tak Terima Dianggap Salah Memetakan Lahan
Pernyataan Zamkami juga mendapat tanggapan pihak Pemprovsu. Bahkan, Pemprovsu langsung berang karena dituding tidak becus terkait persoalan pelepasan sejumlah lahan eks HGU PTPN 2 di Sumut.
“Orang BUMN yang tidak tahu menahu masalah ini, jangan asal sembarangan ngomong. Tim yang ada dari semua pihak yang berkompeten. Dari BUMN ada PTPN 2, ada BPN Sumut dan pemerintah. Sejauh ini kalau dibilang salah, itu tidak benar. Kalau ada kendala, ya memang ada kendala. Ada masyarakat yang tidak terima, unjuk rasa dan melakukan penentangan. Tapi tim terus bekerja,” tegas Sekretaris Daerah (Sekda) Provsu, Nurdin Lubis ketika dimintai tanggapannya oleh Sumut Pos, Selasa (29/5).
Lanjutnya, kinerja dari tim tanah setiap hari memberikan dampak positif. Dan akan dilakukan evaluasi atas hasil yang dikerjakan, pada awal Juni mendatang.
“Berapa persen yang sudah dipetakan, saya lupa detilnya. Tapi ada prospek yang baik dari kinerja tim pemetaan tanah itu. Hasilnya, akan segera kita evaluasi pada awal Juni nanti. Pemetaan ini sudah diperpanjang dua kali. Dan proyeksinya akan selesai sampai akhir Mei ini,” terangnya.
Sertikat Tanah di Lahan Eks HGU Beredar
Sementara itu di Binjai, konflik mulai memanas lagi. Pasalnya beredar sertifikat tanah di lahan eks PTPN2 Sei Seamayang yang dikeluarkan BPN Binjai.
Dalam lembaran surat sertifikat tanah yang diperoleh Sumut Pos, Selasa (29/5), terdapat beberapa lembar surat, seperti, surat pernyataan pemilik sertifikat, surat perintah setor (SPS) dan sertifikat tanah seluas 6.322 meter persegi.
Sertifikat yang diperoleh atas nama Djamaludin (66) warga Jalan P Diponegoro Lingkungan VIII, Kelurahan Mencirim Binjai Timur. Dalam Surat Pernyataan disebutkan, berdasarkan UUPA No.5 Tahun 1960, PP No 24 tahun 1997, Peraturan Menteri Negara / Kepala BPN Pusat No 3 tahun 1997, menyatakan dengan sesungguhnya telah menguasai tanah sebelum tanggl 24 Setember 1960, sesuai sertifikat tanah hak milik No 107 seluas 6.322 meter persegi di Kelurahan Mencirim, Kecamatan Binjai Timur, Kodya Binjai (dulunya termasuk di wilayah Ka mpung Nangka Kecamatan Sunggal, Deliserdang) atau sekarang berada di Lingkungan IX, Kelurahan Mencirim, Kecamatan Binjai Timur, tepat berada di lahan eks PTPN2 Sei Semayang.
Selanjutnya, dalam surat penyataan itu menerangkan, tanah tersebut telah dikuasai sejak 1952 sampai 1977 oleh Djamaludin yang selanjutnya digusur secara paksa oleh PTP IX (sekarang PTPN2) pada 1977. Tanah tersebut juga dijadikan objek Landerfrom pada 1965 dengan surat No.580/PLR/II/1965 taanggal 1 Mei 1965, selanjutnya diberikan Sk Gubernur No 10/HM/LR/1969 dengan status tanah hak milik dan kemudian diterbitkan sertifikat hak miliknya.
Surat pernyataan itu, disaksikan oleh M Sofyan selaku warga Lingkungan IX, Kelurahan Mencirim, Kecamatan Binjai Timur dan M Sawiwi, selaku Kepala Lingkungan VII, Kelurahan Mencirim, Binjai Timur serta diketahui Sekretaris Kelurahan Mencirim Sudarmen. Surat penyataan itu dibuat pada tahun 2000 di atas materai 6000.
Kemudian, atas dasar surat pernyataan tersebut, diduga munculah sertifikat tanah yang dikeluarkan BPN Binjai atas nama Djamaludin. Sertifikat itu bernomor seri AU 6259 27 sesuai sertifikat hak milik No 107. Sertifikat tersebut, langsung ditandatangani Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Binjai Imam Zulfikar SH. Sertifikat tersebut dikeluarkan pada 31 Agustus 2005.
Namun, yang aneh dari sertifikat ini, meski luas areal sama (6.322 meter persegi), tapi tak ada petunjuk yang menentukan antara perbatasan di tiap-tiap sudutnya. Parahnya lagi, sertifikat ini kerab dijadikan ajang bisnis oleh kelompok tertentu untuk menguasai lahan eks PTPN2 di Kelurahan Mencirim, Binjai Timur. Bahkan, sertifikat tersebut digunakan untuk mengkapling-kapling lahan eks PTPN2. Selain sertifikat yang diterima Sumut Pos, ada beberapa sertifikat lain yang beredar atas nama Kemis.
Menyikapi hal itu, Kepala BPN Binjai Ir Fuad Efendi MM, melalui Kepala Seksi (Kasi) Sengketa Lahan, Cipto SH mengaku, pihaknya tidak pernah mengeluarkan sertifikat di lahan sengketa tersebut. “Tahun berapa? Setahu saya, sampai sekarang kami tidak pernah menerbitkan sertifikat tanah di lahan sengketa tersebut,” bantahnya. (sam/ari/ndi)